Sudah pernah dengar novel "Di Bawah Langit Madani"? Jika belum, wajar saja sebab novel ini baru akan terbit beberapa bulan ke depan. Sebagai informasi, novel ini memenangkan Kompetisi Tulis Nusantara tahun lalu yang digelar oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Sambil menunggu penerbitannya oleh Penerbit Grasindo, berikut ini adalah cuplikan novel yang menceritakan perjuangan lima orang remaja mewujudkan cita-cita itu.
===================================================
Pagi itu, kami baru terbangun ketika
Pak Hamzah menggedor-gedor pintu kamar. Bak pasukan yang sudah dikepung musuh
dari segala penjuru, kami gabuk, tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Aku
bahkan tak memperhatikan lagi siapa saja yang telah kembali dari alam mimpi dan
siapa saja yang masih terbuai lelap. Kepanikan itu kian menjadi-jadi setelah
Iman memprovokasi lewat satu kata seru menegangkan dan satu kalimat panik yang
refleks meluncur dari mulutnya begitu ia melihat jam dinding.
“Hah! Jam enam?” pekiknya.
Kini sadarlah kami bahwa harapan untuk
mengejar Shubuh berjamaah telah sirna. Bahkan untuk sekedar menjadi masbuq[1].
Aku, Sandi dan Teuku tak bergerak dengan kain sarung masih di tangan. Sementara
hening, dari depan pintu terdengar suara,
“Segera ke mesjid, saya tunggu lima
menit.”
Kami saling pandang. Seolah tayangan
yang sedang di-pause, nyaris tidak ada yang bergerak selain jarum merah
yang berdetak teratur di dinding. Aku, Sandi dan Teuku masih dalam posisi tadi.
Iman masih duduk di tepi kasurnya, ternganga mulutnya, terbelalak matanya
menatap jam di dinding kamar. Keadaan ini bertahan beberapa detik sampai satu
suara yang tidak asing lagi merusak suasana.
“Sudah Shubuh, ya?” Rido yang masih
tergolek di ranjang mengucek-ngucek matanya.
Meski galau memikirkan sanksi yang akan
diterima, tawa kami meletus juga melihat tingkah Rido. Sementara yang
ditertawai melongo bingung sebelum wajahnya berubah tegang begitu Iman
menunjuk-nunjuk jam dinding. Telat momentum!
***
Shubuh itu bisa dibilang berantakan
bagi kami. Bak grup band yang akan manggung, semua mata langsung
tertuju ke arah kami begitu muncul di pintu mushalla. Kondisi yang terus
berlanjut hingga Pak Hamzah menyuruh kami untuk shalat berjamaah. Teuku
ditunjuk jadi imam. Mungkin karena resah memikirkan sanksi atau mungkin juga
karena baru kali ini shalat dengan ditonton oleh banyak orang, bacaan surat
Alkafirun-nya berulang-dua kali di ayat empat dan lima.
“Lakum dinukum wa liya din,” Rido
mengoreksi.
Barulah Teuku mengakhiri bacaannya.
Seusai shalat, kami dibariskan di
halaman mushalla. Diberi sanksi itu biasa, begitu kami menguatkan diri
masing-masing. Tapi tetap saja ada bagian paling tidak enak dalam setiap
hukuman. Kali ini, bagian itu bernama ‘ditonton oleh seluruh penghuni asrama’.
Aku melihat-lihat ke sekeliling. Alamak! Asma ternyata juga ada di sana. Sorot
mata kami saling bertemu beberapa detik.
“Kalian tahu kesalahan apa yang telah
kalian perbuat pagi ini?” tanya Pak Hamzah.
“Tahu, Pak. Pelanggaran peraturan
kedua, tidak shalat berjamaah,” jawabku segera dengan muka tertunduk. Aku ingin
kejadian ini cepat berlalu dan cepat dilupakan.
“Itu saja?” tanya beliau lagi.
Kami diam. Semuanya sibuk dengan
pikiran masing-masing,mencoba mengingat-ingat kesalahan lain yang telah
diperbuat.
“Apa yang kalian lakukan tadi malam
hingga tidak bisa shalat Shubuh berjamaah?”
Pertanyaan ini sulit untuk segera
dijawab. Bukan karena tidak menemukan jawaban tapi karena kami sadar bahwa
penyebab pelanggaran ini adalah disengaja.
“Siapa ketua asrama?” pertanyaan yang
membuat darahku berdesir.
Aku mengangkat tangan. Sementara
wajahku kian tertunduk. Sepertinya akan ada sanksi tambahan.
“Baik, ketua asrama adalah orang yang
pertama bertanggung jawab atas kejadian ini. Sebagai bentuk tanggung jawab,
maka sanksimu adalah dua kali lipat,” demikian putusan Pak Hamzah.
Kecut mukaku mendengarnya. Belum dua
puluh empat jam menjabat, aku sudah merasakan betapa beratnya beban yang
kupikul. Kulirik Rido di sampingku, raut wajahnya seperti menahan tawa.
“Siapa yang bertugas azan Shubuh ini?”
tanya beliau lagi.
Rido mendadak pucat pasi. Kali ini,
justru aku yang menahan tawa demi melihat ekspresi wajahnya. Ia mengangkat tangannya
namun kepalanya tetap menunduk.
“Sanksi kalian berdua sama. Dua kali
lipat.”
“Sekarang, silahkan ambil bantal guling
masing-masing di kamar. Saya tunggu lima menit,” perintah Pak Hamzah.
Meski bingung, kami segera berlarian ke
kamar. Apakah ada hubungannya antara bantal guling dengan hukuman? Jika ada,
hukuman apa yang menggunakan bantal guling dan dilakukan di lapangan? Begitulah
pertanyaan-pertanyaan bermunculan di benak. Tiga menit kemudian, kami sudah
kembali berada di tempat semula.
“Oke, hukuman ini bernama jihad.
Letakkan senjata kalian di pundak masing-masing dan silahkan berlari dari sini
sampai ke pintu gerbang lima kali. Perangi setan-setan yang telah mengencingi
telinga kalian hingga tidak mendengar azan Shubuh!”
Alamak! Ini gerangan sanksinya.
Terjawab sudah hubungan antara bantal guling dengan hukuman. Rupanya yang
dimaksud dengan senjata oleh Pak Hamzah adalah bantal guling yang ada di tangan
kami.
“Khusus untuk ketua asrama dan petugas
azan, sepuluh kali. Silahkan dimulai!”
Dengan
muka memerah, kami menjalankan sanksi yang maha memalukan itu. Jarak mushalla
ke pintu gerbang lebih kurang dua ratus meter. Itu artinya empat ratus meter
baru dihitung satu kali. Teman-teman harus berlari sejauh lima kali empat ratus
meter. Dua kilometer! Khusus aku dan Rido, empat kilometer! Jadilah kami
sebagai pelari maraton. Jadi jugalah kami pagi itu sebagai mujahid,
orang-orang yang berjihad. Tapi sayangnya, ini jihad paling memalukan dengan
menenteng senjata paling mengerikan sepanjang sejarah: bantal guling. Ditambah
lagi, aksi kami itu ditonton oleh gadis-gadis belia. Memalukan sekaligus
melecut semangat. Memalukan karena, sudah jelas, ini adalah sanksi dan kami
adalah pelanggar peraturan. Melecut semangat karena tidak ada dari kami yang
menunjukkan tanda-tanda kelelahan, setidaknya hingga lintasan ketiga. Sebab di
lintasan keempat, itu artinya kami sudah berlari lebih dari satu kilometer,
Rido yang gemuk tak bisa menyembunyikan lagi kecapaiannya. Teuku menjadi yang
pertama selesai, Iman di posisi runner-up sementara aku, meskipun
dihukum dua kali lipat, finish di posisi tiga. Sandi ada di belakangku
dan Rido yang harus menanggung derita sejak lintasan keempat tuntas paling
akhir. Tapi yang jelas sejak pagi itu, gelar baru dinobatkan untuk kami. Gelar
nan prestisius itu berjudul mujahid bantal guling!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar