/
Artikel Terbaru
Artikel Terbaru ...

Di Bawah Langit Madani: Kejujuran Lebih Mahal Dari Prestasi

Published On: 15.45.00 By : Unknown In : ,

Sudah pernah dengar novel "Di Bawah Langit Madani"? Jika belum, wajar saja sebab novel ini baru akan terbit beberapa bulan ke depan. Sebagai informasi, novel ini memenangkan Kompetisi Tulis Nusantara tahun lalu yang digelar oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Sambil menunggu penerbitannya oleh Penerbit Grasindo, berikut ini adalah cuplikan novel yang menceritakan perjuangan lima orang remaja mewujudkan cita-cita itu.

===================================================


Pagi itu, kami baru terbangun ketika Pak Hamzah menggedor-gedor pintu kamar. Bak pasukan yang sudah dikepung musuh dari segala penjuru, kami gabuk, tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Aku bahkan tak memperhatikan lagi siapa saja yang telah kembali dari alam mimpi dan siapa saja yang masih terbuai lelap. Kepanikan itu kian menjadi-jadi setelah Iman memprovokasi lewat satu kata seru menegangkan dan satu kalimat panik yang refleks meluncur dari mulutnya begitu ia melihat jam dinding.
“Hah! Jam enam?” pekiknya.
Kini sadarlah kami bahwa harapan untuk mengejar Shubuh berjamaah telah sirna. Bahkan untuk sekedar menjadi masbuq[1]. Aku, Sandi dan Teuku tak bergerak dengan kain sarung masih di tangan. Sementara hening, dari depan pintu terdengar suara,
“Segera ke mesjid, saya tunggu lima menit.”
Kami saling pandang. Seolah tayangan yang sedang di-pause, nyaris tidak ada yang bergerak selain jarum merah yang berdetak teratur di dinding. Aku, Sandi dan Teuku masih dalam posisi tadi. Iman masih duduk di tepi kasurnya, ternganga mulutnya, terbelalak matanya menatap jam di dinding kamar. Keadaan ini bertahan beberapa detik sampai satu suara yang tidak asing lagi merusak suasana.
“Sudah Shubuh, ya?” Rido yang masih tergolek di ranjang mengucek-ngucek matanya.
Meski galau memikirkan sanksi yang akan diterima, tawa kami meletus juga melihat tingkah Rido. Sementara yang ditertawai melongo bingung sebelum wajahnya berubah tegang begitu Iman menunjuk-nunjuk jam dinding. Telat momentum!
***
Shubuh itu bisa dibilang berantakan bagi kami. Bak grup band yang akan manggung, semua mata langsung tertuju ke arah kami begitu muncul di pintu mushalla. Kondisi yang terus berlanjut hingga Pak Hamzah menyuruh kami untuk shalat berjamaah. Teuku ditunjuk jadi imam. Mungkin karena resah memikirkan sanksi atau mungkin juga karena baru kali ini shalat dengan ditonton oleh banyak orang, bacaan surat Alkafirun-nya berulang-dua kali di ayat empat dan lima.
“Lakum dinukum wa liya din,” Rido mengoreksi.
Barulah Teuku mengakhiri bacaannya.
Seusai shalat, kami dibariskan di halaman mushalla. Diberi sanksi itu biasa, begitu kami menguatkan diri masing-masing. Tapi tetap saja ada bagian paling tidak enak dalam setiap hukuman. Kali ini, bagian itu bernama ‘ditonton oleh seluruh penghuni asrama’. Aku melihat-lihat ke sekeliling. Alamak! Asma ternyata juga ada di sana. Sorot mata kami saling bertemu beberapa detik.
“Kalian tahu kesalahan apa yang telah kalian perbuat pagi ini?” tanya Pak Hamzah.
“Tahu, Pak. Pelanggaran peraturan kedua, tidak shalat berjamaah,” jawabku segera dengan muka tertunduk. Aku ingin kejadian ini cepat berlalu dan cepat dilupakan.
“Itu saja?” tanya beliau lagi.
Kami diam. Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing,mencoba mengingat-ingat kesalahan lain yang telah diperbuat.
“Apa yang kalian lakukan tadi malam hingga tidak bisa shalat Shubuh berjamaah?”
Pertanyaan ini sulit untuk segera dijawab. Bukan karena tidak menemukan jawaban tapi karena kami sadar bahwa penyebab pelanggaran ini adalah disengaja.
“Siapa ketua asrama?” pertanyaan yang membuat darahku berdesir.
Aku mengangkat tangan. Sementara wajahku kian tertunduk. Sepertinya akan ada sanksi tambahan.
“Baik, ketua asrama adalah orang yang pertama bertanggung jawab atas kejadian ini. Sebagai bentuk tanggung jawab, maka sanksimu adalah dua kali lipat,” demikian putusan Pak Hamzah.
Kecut mukaku mendengarnya. Belum dua puluh empat jam menjabat, aku sudah merasakan betapa beratnya beban yang kupikul. Kulirik Rido di sampingku, raut wajahnya seperti menahan tawa.
“Siapa yang bertugas azan Shubuh ini?” tanya beliau lagi.
Rido mendadak pucat pasi. Kali ini, justru aku yang menahan tawa demi melihat ekspresi wajahnya. Ia mengangkat tangannya namun kepalanya tetap menunduk.
“Sanksi kalian berdua sama. Dua kali lipat.”
“Sekarang, silahkan ambil bantal guling masing-masing di kamar. Saya tunggu lima menit,” perintah Pak Hamzah.
Meski bingung, kami segera berlarian ke kamar. Apakah ada hubungannya antara bantal guling dengan hukuman? Jika ada, hukuman apa yang menggunakan bantal guling dan dilakukan di lapangan? Begitulah pertanyaan-pertanyaan bermunculan di benak. Tiga menit kemudian, kami sudah kembali berada di tempat semula.
“Oke, hukuman ini bernama jihad. Letakkan senjata kalian di pundak masing-masing dan silahkan berlari dari sini sampai ke pintu gerbang lima kali. Perangi setan-setan yang telah mengencingi telinga kalian hingga tidak mendengar azan Shubuh!”
Alamak! Ini gerangan sanksinya. Terjawab sudah hubungan antara bantal guling dengan hukuman. Rupanya yang dimaksud dengan senjata oleh Pak Hamzah adalah bantal guling yang ada di tangan kami.
“Khusus untuk ketua asrama dan petugas azan, sepuluh kali. Silahkan dimulai!”
Dengan muka memerah, kami menjalankan sanksi yang maha memalukan itu. Jarak mushalla ke pintu gerbang lebih kurang dua ratus meter. Itu artinya empat ratus meter baru dihitung satu kali. Teman-teman harus berlari sejauh lima kali empat ratus meter. Dua kilometer! Khusus aku dan Rido, empat kilometer! Jadilah kami sebagai pelari maraton. Jadi jugalah kami pagi itu sebagai mujahid, orang-orang yang berjihad. Tapi sayangnya, ini jihad paling memalukan dengan menenteng senjata paling mengerikan sepanjang sejarah: bantal guling. Ditambah lagi, aksi kami itu ditonton oleh gadis-gadis belia. Memalukan sekaligus melecut semangat. Memalukan karena, sudah jelas, ini adalah sanksi dan kami adalah pelanggar peraturan. Melecut semangat karena tidak ada dari kami yang menunjukkan tanda-tanda kelelahan, setidaknya hingga lintasan ketiga. Sebab di lintasan keempat, itu artinya kami sudah berlari lebih dari satu kilometer, Rido yang gemuk tak bisa menyembunyikan lagi kecapaiannya. Teuku menjadi yang pertama selesai, Iman di posisi runner-up sementara aku, meskipun dihukum dua kali lipat, finish di posisi tiga. Sandi ada di belakangku dan Rido yang harus menanggung derita sejak lintasan keempat tuntas paling akhir. Tapi yang jelas sejak pagi itu, gelar baru dinobatkan untuk kami. Gelar nan prestisius itu berjudul mujahid bantal guling!


[1] Makmum yang tertinggal rakaatnya dari imam.

Tentang Penulis

Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com