Oleh: Farid Nu'man Hasan
Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:
Ilmu pengetahuan modern sampai hari ini belum menyimpulkan apa-apa tentang asal-usul manusia, kecuali terjadinya diskontinuitas. Semua penemuan bagian tulang belulang, baik itu tengkorak, rahang, dan lainnya, tidak pernah utuh, hanya bagian-bagian kecil tertentu yang terpisah di tempat yang jauh, lalu di reka-reka dan rekonstruksikan sebagai manusia puba bernama A, B, C, dan seterusnya. Beragam teori tentang asal usul manusia sudah banyak yang mengemukakan, ada yang saling menguatkan, ada yang saling menegasikan. Tetapi, semua berujuang pada: ketidakpastian.
Sependek yang saya ketahui, tidak ada satu pun ahli yang benar-benar yakin bahwa temuan mereka, beserta teori yang mereka bangun, merupakan finalisasi perdebatan panjang tentang siapa manusia pertama yang pernah ada. Sebagai orang yang berakal, kita mengapresiasi segala jerih payah para ilmuwan untuk menguak misteri ini secara scientific. Semoga saja semua penemuan ini tidak berujung pada keputusasaan sehingga mengatakan keberadaan pencipta pun bisa diteorikan! Bagaimana mungkin bisa, padahal tentang asal usul dirinya saja mereka kebingungan?
Kemudian, di sisi lain, sebagai orang beriman, kita juga memiliki wahyu yang kebenarannya laa syakka wa laa rayba. Semuanya adalah haq dari Allah ﷻ,hukumnya haq, kisahnya haq, nasihatnya haq, tidak sedikit pun kesalahan baik atas, bawah, kanan, kiri, dan tengahnya.
Semuanya saling menguatkan dan menopang. Maka, ketika penemuan modern masih masuk dalam ranah zhanniyat (dugaan), belum keluar darinya sedikit pun, bahkan tidak ada clue (tanda) baru untuk keluar dari ranah itu, maka selama itu pula dia bukan pegangan, apalagi dijadikan aqidah yang mencapai derajat ilmul yaqin.
Maka, ketika terjadi ketidakserasian antara keduanya, yang satu masih berputar pada teori, mencari-cari data, mengumpulkan bukti, lalu saling bantah dan koreksi, apa yang mereka upayakan pun hanya menjadi konsumsi elitis sebagian ilmuwan dan kaum terpelajar, bahkan tidak pernah ada yang bisa memastikan kapan berakhirnya upaya ini ..., sementara Al Quran sudah menceritakannya, dengan penceritaan yang tidak sekali, lalu menjadi keyakinan milyaran manusia, baik cerdik cendikia, maupun awamnya, maka apa yang Allah ﷻsampaikan melalui firmanNya lebih kita ikuti.
Kita meyakini, dalam hal-hal yang pasti kebenarannya selamanya ayat suci tidak akan pernah berbenturan dengan teori modern yang haq, karena keduanya –pada hakikatnya- juga berasal dari ayat-ayatNya, yaitu ayat Qauliyah dan Kauniyah, keduanya berasal dari Allah ﷻ maka keduanya tidak mungkin dan tidak seharusnya berseberangan, justru saling mengkonfirmasi. Jika terjadi benturan keduanya, maka yang qath’i (pasti) lebih kita jadikan pedoman dibanding yang zhanni (dugaan). Justru yang zhanni itu mesti diarahkan kepada yang qath’i.
Nabi Adam ‘Alaihissalam Dalam Al Quran
Taruhlah kita tidak dapatkan ayat dengan kalimat lugas (manthuq/tersurat) menyebut Nabi Adam ‘Alaihissalam adalah manusia pertama, yang mengharuskan ada kata “manusia pertama” dalam ayat tersebut. Kita tidak akan menemuinya. Tetapi secara mafhum (tersirat) kita banyak mendapatkannya. Mereka-mereka yang menolak atau meragukan Nabi Adam ‘Alaihissalam sebagai manusia pertama, sangat-sangat tekstualist, mereka mensyaratkan mesti ada kata semisal “Adam adalah manusia pertama, “ atau “Aku ciptakan manusia pertama adalah Adam,” atau yang semakna dengan ini, yang tanpa perlu penjelasan lagi memang begitulah maknanya.
Sejenak kita perhatikan ayat-ayat berikut:
▶ Al Baqarah ayat 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Mereka yang menolak meyakini Nabi Adam‘Alaihissalam sebagai manusia pertama memahami bahwa ayat ini menunjukkan ada orang lain sebelum Nabi Adam ‘Alaihisalam. Sebab, bagaimana para malaikat bisa tahu sebelum Nabi Adam sudah ada pertumpahan darah di muka bumi? Pastilah sebelumnya sudah ada manusia lain.
Betulkah seperti itu? Betulkah sebelum Nabi Adam ‘Alaihissalam sudah ada manusia di muka bumi yang saling menumpahkan darah? Ataukah itu makhluk lain selain manusia?
Kita lihat penjelasan dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, imamnya para imam ahli tafsir, yang dijuluki Turjumanul Quran (penafsir Al Quran), Al Bahr (samudera), Hibru hadzihil ummah (tintanya umat ini), dan telah didoakan oleh Nabi ﷺ : “Ya Allah ajarkanlah dia ta’wil Al Quran, dan fahamkanlah dia ilmu agama.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6287, katanya:shahih. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 10587), dalam hadits lain: “Ya Allah ajarkanlah dia Al Kitab (Al Quran). (HR. Bukhari No. 75)
Beliau berkata:
أنه كان في الأرض الجِنُّ , فأفسدوا فيها , سفكوا الدماء , فأُهْلِكوا , فَجُعِل آدم وذريته بدلهم
Bahwasanya dahulu di muka bumi ada jin, mereka membuat kerusakan di dalamnya, dan menumpahkan darah dan mereka pun binasa, lalu diciptakanlah Adam dan keturunannya untuk menggantikan mereka. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 1/95. Lihat Imam Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan, 1/450)
Apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma ini sesuai dengan yang Allah ﷻfirmankan:
وَالْجَانَّ خَلَقْناهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نارِ السَّمُومِ
Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (QS. Al Hijr: 27)
Maka, keterangan Abdullah bin AbbasRadhiallahu ‘Anhuma, dan juga ayat yang menyatakan bahwa Jin lebih dahulu diciptakan sebelum Adam, merupakan koreksi yang menganulir pemahaman atau perkiraan bahwa sudah ada manusia sebelum Nabi Adam ‘Alaihissalam.
Sementara, para pakar yang lain mengatakan bahwa pengetahuan para malaikat adanya kerusakan dan pertumbahan darah bukan karena sebelumnya sudah ada manusia, bukan pula karena jin, tetapi itu merupakan pengabaran masa yang akan datang setelah diciptakannya Adam yang dilakukan oleh anak cucunya, baik itu merupakan terkaan malaikat terhadap yang ghaib, ada pula riwayat yang menyebutkan karena Allahﷻ juga telah mengabarkan itu kepada mereka. Bagi yang ingin memperluas masalah ini silahkan buka Tafsir Jami’ul Bayan-nya Imam Ibnu Jarir Ath Thabari Rahimahullah.
▶ Sebutan bagi manusia adalah “Bani Adam”
Al Quran dan As Sunnah menyebut manusia keseluruhan dengan Bani Adam (Keturunan Adam), atau jika satu orang disebut Ibnu Adam. Keduanya (baik Bani Adam dan Ibnu Adam) ada dalam teks-teks yang shahih lagi sharih (jelas). Penyebutan tersebut, secara mafhum muwafaqah menjadikan Adam ‘Alaihissalam sebagai porosnya menunjukkan dialah yang pertama, bukan selainnya. Jika memang ada selainnya, tentunya Allah ﷻ tidak akan menyebut (semua) manusia Bani Adam, dan tidak mungkin Allah ﷻ salah sebut. Maha Suci Allah dari hal itu. Allah ﷻ juga menyebut Bani Israel, karena Israel (Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam) adalah yang awal bagi anaknya yang 12 orang dan menjadi suku-suku sendiri di kemudian hari, lalu mereka pun disebut Bani Israel, bukan bani-bani yang lainnya. Jikalau sebelum Nabi Adam ‘Alaihissalam sudah ada manusia, taruhlah namanya X atau jenis X, tentulah Bani X panggilannya.
Masalah ini begitu penting sampai-sampai menyita perhatian milyaran manusia, bahkan ada disiplin ilmu khusus untuk mempelajarinya dan mereka menghabiskan usianya hanya untuk urusan ini. Apakah masalah sepenting ini luput begitu saja dari Al Quran? Ketika Al Quran telah membahasnya bahwa jenis “manusia” adalah Bani Adam, maka itulah finalnya dari masalah penting ini, dan itulah jawaban dan perhatian Al Quran terhadap misteri ini.
Tenanglah jadinya hati kita bahwa Adam ‘Alaihissalam memang manusia pertama sebagaimana tersirat dalam beberapa ayat Al Quran.
Terakhir, ada baiknya kita renungkan perkataan bagus berikut ini. Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:
وقد يتناول كل من النظر الشرعي والنظر العقلي ما لا يدخل في دائرة الآخر , ولكنهما لن يختلفا في القطعي , فلن تصطدم حقيقة علمية صحيحة بقاعدة شرعية ثابتة ، ويؤول الظني منهما ليتفق مع القطعي , فإن كانا ظنيين فالنظر الشرعي أولى بالإتباع حتى يثبت العقلي أو ينهار .
Pandangan teori agama dan pandangan akal masing-masing punya domain, dan tidak boleh dicampuradukkan, keduanya tidak akan pernah berselisih dalam masalah yang pasti kebenarannya. Maka, selamanya hakikat teori ilmiah yang shahih tidak akan bertentangan dengan kaidah syar’i yang pasti. Jika salah satu di antara keduanya ada yang bersifat zhanni, dan yang lainnya adalah qath’i maka yang zhanni mesti ditarik agar sesuai dengan yang qath’i, jika keduanya sama-sama zhanni maka pandangan agama lebih utama diikuti, sehingga akal mendapatkan legalitasnya atau gugur sama sekali. (Ushul ‘Isyrin, No. 19)
Wallahu A’lam
- Grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM 🌼
- Twitter: @GrupMANIS