/
Tampilkan postingan dengan label Narasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Narasi. Tampilkan semua postingan

SekolahMurabbi.com - Judul di atas terkesan vulgar. Tapi percayalah, beberapa orang kerap melontarkan kata ‘gatal’ kepada mereka yang memutuskan untuk segera menikah di usia muda. Seolah-olah tak sanggup menjaga nafsu. Seolah-olah tiada lagi benteng iman di dalam dada mereka.


Tidak benar seseorang dikatakan pemuda tangguh bila dalam waktu yang sangat lama ia sanggup hidup sendiri. Itu bukan prestasi. Dan tak layak dinikmati. Allah tak sedang bercanda dengan firmannya, ‘Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu... (24:32)’. Rasul pun tak sedang asal ajak para pemuda untuk segera menikah. Terkait hal ini, hadits yang berhubungan dengan anjuran menikah dan larangan membujang tidak sedikit jumlahnya.

Tak pantas siapapun melontarkan kata gatal untuk mereka yang berusaha untuk menikah diusia muda. Tidak pantas! Meski dengan bahasa yang lebih halus. Tak jarang bahkan sumbunya adalah dari orang-orang yang telah berhasil melewati masa muda yang getir. Alih-alih merespon positif saat mendengar ada yang berucap ingin menikah, kita malah mematahkan semangat dan membiarkan para pemuda hidup hampa dalam waktu lama. Hati-hati dengan komentar!

Ya, kita memang harus realistis mengatakan bahwa berumah tangga tidaklah semudah dan senikmat yang dibayangkan. Tetapi, tidak menjadi elok juga bila pada akhirnya terjadi akumulasi kengerian bertengger di benak seseorang hingga membuatnya menunda apalagi berhenti melangkah. Penyebabnya, komentar-komentar yang tak sedap, ‘Ngapain cepat-cepat nikah. Gatal kali kamu. Kalau ngerti agama harusnya bisa tahan nafsu. Puasa. Kamu pikir kehidupan berumah tangga gampang, susah tau! Belum lagi ngurus ini ngurus itu bla bla bla...’

Lihatlah bagaimana rasul utarakan motivasi menikah kepada segenap pemuda dalam tutur kalimat yang bijak, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kelompok pemuda yang tidak mempunyai apa-apa.” Beliau bersabda, , “Wahai para pemuda, barangsiapa sudah memiliki kemampuan, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat meredam keliaran pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah sebaik-baik benteng diri.” (HR. Bukhari-Muslim) Bandingkan dengan komentar sebelumnya. Pilihlah kata-kata.

Para sahabat Nabi saat kali pertama mereka mendengar perkataan Rasulullah langsung berupaya memenuhinya. Tersebutlah sahabat Abdullah bin Amru bin Ash, Abu Usaid As-Sa’di, Jabir bin Abdillah bin Amru bin Haram, Usahamah bin Zaid, Umar bin Abi Salamah, Abdullah bin Abi Hadrad. Para pemuda tersebut segera menunaikan wasiat Rasulullah, betapapun kondisi sulit yang tengah mereka hadapi. Kitab-kita sirah menceritakan untuk kita contoh-contoh pernikahan dini mereka.

Karena dunia sudah dipenuhi keliaran yang menginjak-injak norma dan etika. Dimana orang baik-baik bahkan terseret dan tak bisa terbebas dari perilaku zina. Sulit sekali rasanya. Maka, kepada mereka yang berusaha meredam gejolak syahwatnya lewat jalan menikah dengan segera. Ucapkanlah selamat! Jangan bibir menjadi gatal berbicara entah apa-apa.

'Gatal' Menikah


SekolahMurabbi.com - “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan debatilah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl : 125)
 
Salah satu cara mengajak orang kepada kebaikan adalah dengan perdebatan. Sayyid Quthb dalam tafsirnya, Fi Zhilalil Quran, menjelaskan bahwa cara yang baik dalam berdebat adalah tidak menzalimi, meremehkan dan mencela orang dan pendapat yang berseberangan. Sebab hakikatnya, mendebat bukan untuk membenarkan diri dan mengalahkan orang lain tapi untuk menyampaikan kebenaran yang hakiki.

Ahmad Deedat dan muridnya, Zakir Naik, mungkin adalah dua dari sekian banyak penyeru kebaikan yang memilih jalan ini. Keduanya, kita tahu, berhasil memperkenalkan Islam kepada jutaan orang hingga tak sedikit yang hadir di seminar mereka memutuskan untuk menjadi muslim. Mengapa Ahmad Deedat dan Zakir Naik begitu sukses di dakwah jidal? Jawabannya adalah allati hiya ahsan, menggunakan cara atau metode yang baik.

Dalam video Dr. Zakir Naik yang disebar viral di YouTube, kita tak menemukan sekalipun ia marah terhadap berbagai argumen kacau yang ditujukan nonmuslim tentang Islam. Malah, Naik lebih sering tersenyum dan memuji pertanyaan audiennya. Naik pernah mengakui ketertarikannya berdiskusi dengan seorang atheis. “Sebab kalian paling mirip dengan Islam dibanding agama lain. Kalian mengakui tidak ada tuhan. Jika bersedia menambahkan ‘selain Allah’, maka kalian sudah menjadi orang Islam,” katanya disambut gemuruh tawa tangan hadirin.

Itulah ahsan. Sekalipun ada di pihak yang benar, kita tak perlu mencak-mencak. Kebenaran akan lebih menawan apabila diikuti oleh sikap ramah dan lemah-lembut.

Tapi cukupkah itu? Dari Zakir Naik kita belajar setidaknya ahsan itu adalah ramah sikapnya, santun bahasanya, jelas kalimatnya, terang analoginya, dan kuat argumennya.

Lalu apa hubungannya dengan kalimat di awal tulisan? Ini yang hendak saya sampaikan.

Nasihat adalah ekspresi cinta seorang muslim terhadap muslim lainnya. Sebab sejatinya, menasihati berarti peduli sedangkan peduli adalah tanda cinta. Dalam prakteknya, ada kaidah yang harus diperhatikan agar nasihat sebagai wujud cinta tak diterima dengan penuh benci; agar nasihat yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati juga.

Saudaraku, jika berdebat saja Allah perintahkan untuk menggunakan cara-cara yang baik, mengapa kita tak menggunakan cara-cara yang lebih baik ketika bernasihat? Janganlah maksud mulia menasehati malah melukai karena disampaikan dengan cara-cara yang menyakitkan.

Apa saja cara yang tidak baik itu? Di antaranya adalah merasa benar, tidak berhati-hati memilih kata dan menasehati di tengah keramaian.
 
Sikap merasa benar tidak pernah melahirkan nasihat yang tulus. Ia hanyalah wajah lain dari penyakit suka menghakimi. Penasihat yang tidak berhati-hati memilih kata mungkin saja memiliki niat yang tulus tapi yang dinasihati akan mudah tersinggung. Akibatnya, nasihat diberikan tapi tak pernah diterima.
Sedang mengenai keramaian, Imam Syafi’i pernah berpesan, “Nasihati aku di kala sendiri sebab nasihat di keramaian seperti hinaan yang melukai hati.”

Harap dicatat, keramaian di zaman ini tidak mesti sekumpulan orang yang duduk di satu tempat dalam satu waktu. Di media sosial, keramaian bisa berupa grup obrolan, beranda Facebook, kolom komentar dan berbagai fitur yang memungkinkan banyak orang yang tak berkepentingan bisa mengaksesnya.

Kita tutup tulisan ini dengan sebuah kisah indah. Suatu malam, Imam Ahmad ibn Hanbal mengetuk pintu rumah salah satu muridnya, Harun ibn ‘Abdillah Al-Baghdadi. Begitu masuk, Imam Ahmad berjalan menjinjit hingga tak terdengar langkah kakinya. Harun terheran-heran mengapa gurunya mendatanginya tengah malam.

“Ada urusan penting apa sehingga tuan guru berkenan mengunjungiku tengah malam ini?” tanyanya penasaran.

Imam Ahmad tersenyum lalu menjawab, “Maafkan aku duhai Harun. Aku tahu kebiasaanmu tengah malam terjaga untuk menghafal hadits, karenanya aku mendatangimu.” Suara beliau pelan sekali seakan tak ingin didengar oleh selain Harun.

“Ada yang mengganjal ketika aku melihat majelismu tadi siang. Saat kau menerangkan hadits kepada murid-muridmu, mereka duduk di bawah terik sementara engkau bernaung di bawah pohon. Lain kali, jangan begitu. Duduklah sebagaimana muridmu duduk.”

Setelah memberi nasihat itu, Imam Ahmad pamit pulang dengan tetap berjingkat. Masya Allah, seorang guru yang ingin menasihati muridnya memilih waktu tengah malam agar tak seorangpun tahu. Betapa indahnya menasihati seperti ini.

Semoga Allah memperbagus akhlak kita. Semoga Allah senantiasa menghidayahi kita untuk saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran agar tak tergolong ke dalam orang-orang yang merugi.(yf)
By.

Menasi-hati

Senad Hadzick, pria Bosnia yang berjalan kaki ke Mekkah sejauh 7.500 km (Sumber gambar: kabarmakkah.com)

SekolahMurabbi.com - Ketika jiwa-jiwa terpanggil, kadang suasananya terlihat aneh. Bahkan bagi mereka yang tak merasa terpanggil, ini lebih tepat dikatakan konyol.

Lihatlah Hanzhalah, pengantin baru yang baru saja menikmati malam pertamanya. Ia bahkan tak sempat menyucikan diri dari janabah ketika panggilan untuk bertempur di Uhud datang. Perang!

Lihatlah mereka yang meninggalkan hangatnya selimut dan menerobos dinginnya malam untuk bermesra dengan Rabb mereka. Sekejap saja, mereka sudah larut dalam ayat demi ayat, doa demi doa dan bulir demi bulir air mata.

Lihatlah hujaj, mereka yang berbondong-bondong menunaikan rukun Islam yang kelima. Ada banyak pengorbanan yang mereka tempuh demi memenuhi panggilan ini. Ada pemulung yang rela menabung bertahun-tahun. Di negara kita, jamaah rela mengantri sampai 10 tahun lebih sebab kuota yang terbatas. Masya Allah!

Di antara sekian banyak kisah menakjubkan seputar haji, mari kita ambil satu saja. Muhammad Zafar Quadri namanya. Ia menyedot perhatian dunia pada 2001 lalu ketika menempuh perjalanan sejauh 18.000 km untuk menunaikan haji. Lelaki tua itu melakukannya dengan berjalan kaki selama hampir dua tahun!

Betapa aneh fenomena ini. Betapa yang dilakukan oleh jiwa-jiwa yang memenuhi panggilan itu tidak logis, pilihan yang—mungkin terlihat—bodoh dan merugi. Hanzhalah bin Abu Amir melepaskan dekapan istri yang hangat untuk menyambut kematian di medan perang. Zafar Quadri menghabiskan 4.000 dolar Amerika, bertarung dengan garangnya gurun, liarnya hutan, dan galaknya petugas perbatasan negara untuk sekedar menunaikan haji—dan setelah itu ‘tidak’ mendapat apa-apa. Mereka yang “lambungnya jauh dari tempat tidur” rela memutus mimpi dan tidur yang nikmat untuk kemudian ‘hanya’ bermunajat di atas selembar sajadah.

Betapa membingungkan apa yang mereka lakukan!

Tapi mari menengok ke sisi lain dari dunia ini. Kita sering menemukan pendaki-pendaki gunung yang menghabiskan banyak energi dan waktu demi berhasil menaklukkan puncak gunung. Everest, puncak tertinggi Himalaya, telah lama menjadi destinasi favorit para pendaki. Tak sedikit yang mengorbankan nyawa untuk itu.

Atau para miliarder yang rela menawar sebuah lukisan antik dengan harga tertinggi. Atau pesta kembang api pembuka tahun yang meriah menghabiskan dana yang tak sedikit. Dan banyak lagi.

Apa yang dicapai setelah itu? Kepuasan yang susah digambarkan dengan kata-kata.

Setelah membandingkan kejadian-kejadian di atas dengan tiga fenomena di awal tulisan, maka seakan kita menemukan secuil jawabannya. Secuil saja sebab motivasi spiritual yang menggerakkan jiwa-jiwa mukmin jauh lebih dahsyat. Ada kepuasan yang lebih tak tergambarkan, kepuasan yang jauh melampaui kata-kata, daripada sekedar berdiri di puncak gunung, menatap lukisan seni antik nan estetis atau menikmati gemerlapnya letusan kembang api di udara. Percayalah! (yf)
By.

Melampaui Kata-kata

Sumber gambar: sastralangit.wordpress.com
SekolahMurabbi.com - Mari menepi sejenak dari dunia yang hiruk-pikuk. Sebab rasanya tak ada yang lebih menyedihkan selain usia kita yang kian menua sementara iman di dada tak bertambah-tambah. Dan ajal yang kian menjelang sedang kita tak pernah siap menyambutnya.
 
Mari berhenti sejenak dari rutinitas kesibukan yang seakan tiada habisnya. Mari menutup mata kepala yang melihat dunia untuk membuka mata hati yang menatap jauh ke dalam jiwa. Kepadanya, mari kita bertanya.
Sebenarnya apa yang kita kejar di dunia ini? Pertanyaan ini selalu layak kita letakkan di urutan teratas pada setiap kali kontemplasi. Mungkin salah satu alasannya adalah karena keterbatasan waktu luang kita sementara tugas demi tugas terus menumpuk seperti batu yang tak henti ditimpukkan di atas kepala kita.

Ya, apa yang kita kejar? Karir yang cemerlang? Popularitas yang melambung? Tercukupkan segala kebutuhan materi? Atau kisah asmara nan penuh romantika?

Anggap saja kita berhasil. Apa yang kita kejar tercapai—meski sebenarnya selalu ada batas yang bias; secemerlang mana, sepopuler siapa, setercukupkan bagaimana, seromantis apa—lalu setelah itu apa? Apa lagi yang kita kejar?

Jika boleh jujur, ini pertanyaan yang pelik. Beruntungnya kita, sejarah menjawab pertanyaan ini melalui salah satu tokohnya yang cemerlang. ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz nama tokoh itu. Seorang pemuda tampan rupawan, cerdas dan bangsawan. Ketampanannya membuat para gadis Madinah tergila-gila. Tingkah, tutur dan tampilnya yang stylish menjadi model panutan. Kecerdasannya sudah tak diragukan lagi sebab ia diasuh langsung oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Khaththab, salah satu perawi hadits terbanyak. Kebangsawanannya adalah sebab ia putera ‘Abdul ‘Aziz ibn Marwan, adik dari khalifah ‘Abdul Malik ibn Marwan.

Tumbuh sebagai anak gubernur Madinah—jabatan paling bergengsi saat itu—membuat ‘Umar memiliki cita-cita yang unik. Di masa lajangnya, ia bercita-cita untuk bisa menaklukkan hati Fathimah binti ‘Abdul Malik, puteri jelita sang khalifah sekaligus sepupunya. ‘Umarpun berjuang mengejar cita-citanya. Kesungguhannya tak sia-sia. Setelah kematian ayahnya, khalifah ‘Abdul Malik memanggilnya ke Damaskus dan menikahkannya dengan Fathimah.

‘Umar memiliki cita-cita lain di bidang karir. Cita-cita yang tidak kalah berat dibanding cita-cita cintanya. Ia berkeinginan untuk menjadi gubernur Madinah. Oleh sebab itu, ‘Umar mempersiapkan diri secara moral dan keilmuan jauh-jauh hari. Usahanya itupun membuahkan hasil. Ketika khalifah ‘Abdul Malik, ayah mertuanya, meninggal dan digantikan oleh Al-Walid I, khalifah baru segera menunjuknya untuk menjadi gubernur Madinah.

Di Madinah, karirnya cemerlang. Ia membentuk dewan khusus yang membahas permasalahan provinsi sehingga keluhan-keluhan ke Damaskus, pusat pemerintahan Islam kala itu, berkurang. Ini membuat banyak orang tertarik untuk pindah ke sana, termasuk warga Irak yang kurang suka dengan pemimpin mereka, Al-Hajjaj ibn Yusuf Ats-Tsaqafi. Dampaknya, reputasi Ibnu ‘Abdul ‘Aziz semakin baik di mata masyarakat sekalipun kemudian khalifah memecatnya atas permintaan Al-Hajjaj yang tidak senang dengan perlakuan warganya.

Berhentikah ‘Umar? Tidak, cita-cita duniawi takkan pernah tercukupi. Begitulah, ia kemudian berkeinginan untuk menjadi khalifah. Lagi-lagi ambisi yang tidak gampang sebab ia sama sekali bukan keturunan ‘Abdul Malik. Tradisi kala itu, khalifah haruslah keturunan dari khalifah sebelumnya. Tapi ‘Umar lagi-lagi berhasil meraih cita-citanya, meski dalam kondisi ia sudah tak menginginkannya lagi. Allah menghidayahinya untuk meninggalkan kehidupan glamour duniawi dan kemudian memilih hidup zuhud berkesederhanaan.

Di sini, ketika ia memilih Allah dan akhirat sebagai orientasi, segala pretensi duniawinya menjadi tak berharga. Sebab cita-citanya jauh lebih mulia dan abadi. Tapi bukan berarti karirnya meredup dan sirna. Sejarah mencatat keajaiban sosial hanya pernah terjadi di masa pemerintahannya, di mana kala itu tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat sebab semuanya hidup berkecukupan. Tabarakallah, benarlah ketika manusia mengejar dunia, akhirat meninggalkannya. Tapi ketika orientasinya akhirat, dunia tak punya pilihan lain selain mengikutinya.

Semoga ada yang bisa kita pelajari dari cicit khalifah kedua kita ini. (yf)
By.

Apa Lagi Yang Kita Kejar?


SekolahMurabbi.comAkhir-akhir ini, kita kerap terpapar dengan singkatan di atas. Ya, secara tidak langsung kelompok LGBT telah menyebar diseluruh negeri mulai dari Indonesia bahkan pada beberapa negara di dunia. LGBT merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. LGBT adalah sebuah gangguan yang terdapat dalam DSM IV-TR (Diagnostic Statistical of Mental Disorder). Buku DSM ini adalah sebuah buku pedoman bagi para psikolog atau psikiater dalam mendiagnosa gangguan yang terjadi pada pasiennya.


Namun, dunia dengan cepat berubah. Teknologi juga mengalami pergeseran yang pasti. Kini, LGBT kian berkembang dan membentuk komunitas tersendiri. Bahkan, beberapa negara di dunia pun mendukungnya dengan tidak meletakkan LGBT pada DSM V (buku terbaru) sebagai sebuah gangguan atau kelainan yang menyimpang. Ini tandanya bahwa LGBT sudah dianggap prilaku yang wajar.

Tidak sama halnya dalam agama Islam. Indonesia sebagai mayoritas penduduk yang beragama Islam tentu memiliki pemahaman tersendiri terkait prilaku LGBT. Mari kembali melihat pada fitrahnya manusia pada ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia secara berpasang-pasangan.

Dari segi dunia psikologi, kita akan melihat munculnya prilaku seseorang dari berbagai aspek, termasuk sosial, keluarga, genetik dan sebagainya. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang memunculkan sebuah prilaku. Nah, untuk itu menarik jika terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan apa penyebab seseorang melakukan suatu tindakan/ perilaku. Untuk apa? Hal ini, membantu kita para praktisi kesehatan mental atau medis mencari akar permasalahan dan mencari solusi terbaik untuk menangani setiap kasus yang marak terjadi pada akhir zaman ini.

Tidak ada suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan izin Allah. Jika diibaratkan LGBT adalah sebuah penyakit, tentunya juga bisa disembuhkan/terapi. Ada beberapa ahli-ahli khusus yang menangani masalah-masalah ini, seperti psikolog, terapis, psikiater dan tentunya ahli agama. Penulis berharap akan ada terbentuknya sebuah sarana rehabilitasi bagi mereka yang ingin sembuh agar bisa kembali kepada fitrahnya manusia sejati. Layaknya pusat rehabilitasi narkoba, mereka juga akan diberikan terapi dan konseling khusus untuk diberikan penanganan-penanganan khusus sesuai dengan akar permasalahan yang mereka alami.

Akhir kata, setinggi apapun ilmu yang kita miliki, sehebat apapun gelar yang kita sandang, semua tak akan mampu menyaingi nilai-nilai agama yang kita anut. Percayalah, jika kita kembali pada pedoman dan kepercayaan yang kita anut, saya yakin tak ada satu agamapun yang membolehkan hubungan sesama jenis. Sebab, hakikat tertinggi adalah agama, yang membuat diri kita teratur dalam menjalankan hidup ini. Oleh karena itu, marilah kita sebagai individu yang mungkin berdekatan dengan mereka, membawa pola pikir mereka kepada hakikat dan fitrahnya manusia. Tidak menjauhi atau bahkan mencaci maki, meski kita menolak tegas prilakunya. Selanjutnya, kita ajak mereka kepada para ahli untuk proses penyembuhan. Penulis sadar, tidak ada sesuatu yang instan. Tapi, Insya Allah dengan terapi yang rutin disertai dengan penguatan agama yang baik, mereka akan segera sembuh dan kembali menjalani kehidupan seperti biasanya. Wallahu a’lam bish shawab.




Farah Febriani

Penulis bernama Farah Febriani. Mahasiswi jurusan Psikologi FK Unsyiah. Hobi membaca, menulis, MC dan traveling. Saat ini sedang merampungkan novel yang berjudul “Diantara Istikharah Cinta”. Beberapa cerpen dan puisi telah diterbitkan dalam buku antologi. Alumni sekolah murabbi angkatan ke-2.
By.

LGBT


SekolahMurabbi.com - Ketika kita mencoba mengait-ngaitkan batu dengan manusia, maka yang paling sering kita temukan adalah sejumlah konotasi negatif. Siapa yang tak hafal legenda Malin Kundang? Ia dikutuk oleh ibunda karena kedurhakaannya. Konon, Malin berubah menjadi batu.

Para sejarawan menggambarkan zaman batu sebagai zaman yang terbelakang. Mereka masih tinggal di gua-gua, belum mengenal pertanian dan berburu dengan senjata batu. Kala itu, sama sekali belum ada tulisan. Ketiadaan tulisan menjadi salah satu alasan kuat untuk mengambil kesimpulan: manusia yang hidup di zaman batu memiliki IQ yang sangat rendah.

Di kehidupan sehari-hari, kita menemukan istilah ‘kepala batu’ dialamatkan kepada orang yang tidak mau diatur, maunya buat aturan sendiri. Pemimpin yang masa bodoh dengan kesejahteraan rakyatnya dicap sebagai pemimpin ‘berhati batu’. Orang yang sangat pelit dijuluki ‘ketam batu’. Dan seterusnya. Tak sedikit pula nama penyakit yang dikaitkan dengan batu: batu karang, jerawat batu, pekak batu.

Di bagian awal Al-Baqarah, Allah mendeskripsikan kekerasan hati Bani Israil seperti batu atau bahkan lebi keras. Ini disebabkan tabiat mereka yang banyak tanya dan banyak minta. Nama surah Al-Baqarah sendiri diambil dari salah satu kisah banyak-tanya mereka ketika Nabi Musa as. menyuruh kaumnya itu menyembelih sapi betina.

"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras.”

***

Tapi mari kita lihat dua kisah yang mencengangkan ini. Keduanya masih dalam topik yang sama: batu dan manusia.

“Lalu apa yang kau masak itu?” tanya Amirul Mukminin.

“Itu hanya batu. Kulakukan untuk menenangkan hati anakku yang kelaparan.”

Ini kisah nyata. Terjadi ketika paceklik melanda kota di zaman pemerintahan ‘Umar ibn Khaththab ra. Waktu itu sang khalifah sedang ‘blusukan’, kebiasaannya yang dilakukan diam-diam di gelap malam. Ketika mendengar tangisan anak kecil yang kelaparan, beliau menyambangi rumah itu. Terjadilah percakapan di atas. Khalifah yang menyaru sebagai rakyat jelata bertanya kepada sang ibu, apa sebab anaknya menangis. Wanita itu menjawab bahwa ia tak lagi punya persediaan makanan untuk dimasak, karenanya anaknya kelaparan. Terpaksa ia mengibuli buah hatinya dengan menanak batu dalam periuk hingga anaknya tertidur.

Batu-batu itu seketika membuat ‘Umar ketakutan. Ia takut tak mampu mengemban amanah dengan baik. Ia takut Allah akan mengazabnya karena telah membiarkan seorang rakyatnya kelaparan. Malam itu juga, ‘Umar menunggang kudanya ke Baitul Mal, mengambil sejumlah cadangan makanan lalu mengantarnya sendiri ke kediaman wanita tadi.

Beberapa dasawarsa sebelumnya, Mekkah gaduh ketika Quraisy merenovasi Ka’bah. Setiap kabilah merasa paling berhak untuk memindahkan sebuah batu yang telah bergeser dari tempatnya semula. Ini berlanjut sampai empat-lima hari bahkan hampir terjadi pertumpahan darah karenanya. Hingga akhirnya Abu Umayyah ibn Al-Mughirah mengusulkan siapa yang pertama kali datang esok paginya ke tempat tersebut menjadi orang yang paling berhak untuk meletakkan batu ke posisinya.

Esoknya, ada seorang pemuda yang datang pertama kali ke situ. Sesuai perjanjian, dialah yang berhak memindahkan batu. Namun ia tak serta-merta melakukannya. Pemuda itu, yang memang terkenal dengan keindahan akhlaknya, merentangkan sehelai selendang lalu meletakkan batu di atasnya. Ia memanggil setiap pemuka kabilah untuk memegang di ujung selendang dan bersama-sama mengangkatnya ke dekat tempat semula. Pemuda itu lalu mengambil batu tersebut, Hajarul Aswad, dan meletakkannya di tempat semula. Nama pemuda itu adalah Muhammad saw.

Kisah pertama berbicara tentang tanggung jawab. ‘Umar yang bertemparen keras ternyata tak memiliki hati batu. Beliau paham betul arti amanah dan tanggung jawab. Hatinya dilanda takut kepada Allah. Lihatlah bagaimana ia menebus rasa bersalahnya karena telah ‘membiarkan’ anak kecil menangis kelaparan.

Kisah kedua, yang sudah tak asing lagi bagi kita, sepenuhnya pesona tentang akhlak. Rasulullah tak memilih memenangkan ego ‘batu’, mengangkat sendiri Hajarul Aswad, padahal beliau sangat mungkin dan boleh melakukannya. Apa yang beliau lakukan kemudian justru membuatnya semakin dikagumi umat manusia.

***

Cerita tentang batu tidak berhenti di situ. Di zaman modern ini, anak-anak Palestina masih terus menjadikan batu sebagai senjata untuk melawan penjajah Israel yang kepala dan hatinya terbuat dari batu.

Mungkin karena sejarah yang panjang, arus modernitaspun gagal membendung pesona batu di mata manusia. Sampai saat ini, masih saja ada manusia yang mengkeramatkan batu akik dan giok di jemarinya.

Tapi memang sudah demikian takdirnya. Batu akan terus mengiringi sejarah hidup manusia, terutama mereka yang ingkar kepada Tuhannya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
By.

Batu dan Sejarah Manusia


SekolahMurabbi.com - Assalamualaikum. ustadz afwan saya mau bertanya perihal banyaknya link group fb yang menyatakan Indonesia negara kafir, pancasila dan UUD 1945 adalah kitab kafir, demokrasi dianggap agama, nasionalis dianggap berhala, tolong penjelasannya ustad. bagaimana pandangan islam terkait hal ini? saya bingung mengapa mereka sangat keras pemahamannya bahkan sesama muslim dikafirkan, saya gak suka dengan cara mereka. suka mengkafirkan, merendahkan manusia, merasa paling benar sendiri. Kalo ditanya mengapa hidup dan mencari penghasilan di negeri ini? jawabanya kurang lebih ini buminya Allah, bukan bumi Indonesia, jd bebas dimana saya berada, justru anda itu yang tidak berhukum dg hukum Allah keluar dari bumi Allah. (dari Ismail)

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d

Masalah ini telah lama diperbincangkan banyak pakar, dan mereka -seperti yang akan kami paparkan nanti- memiliki pandangan yang berbeda dengan sebagian pemuda da’wah yang sangat ghirah terhadap Shahwah Islamiyah. Namun, sayangnya, tidak sedikit para pemuda yang tergelincir dan terjerembab dalam kubangan faham takfir, sebuah faham yang telah diwariskan oleh kaum khawarij, sebuah sekte tertua dalam sejarah Islam.

Mereka mudah sekali mengkafirkan pemerintah secara umum dari sebuah negeri muslim yang tidak menggunakan hukum Allah Ta’ala, tanpa melakukan perincian. Tanpa melakukan kajian dan studi analisis yang mendalam. Kenapa negeri-negeri itu tidak berhukum dengan hukum Allah? Apa alasannya? Apa latar belakang hidup mereka? Rincian-rincian ini menjadi penting, sebab masing-masing keadaan ada latar belakangnya, yang nantinya kita namakan ‘illat hukum.

Kadang para pemuda itu menisbatkan pemikirannya karena pengaruh pemikiran sosok yang mereka kagumi, semisal Syahidul Islam Sayyid Quthb, padahal ia berlepas diri dari itu semua. Sekali pun benar Sayyid Quthb seperti itu, beliau –rahimahullah- memiliki alasan yang bisa dimaklumi, karena siksaan, kezaliman, yang beliau alami hampir separuh usianya. Maka, tidak selalu identik antara Ustadz Sayyid Quthb dengan Quthbiyah, sebagaimana tidak selalu identik antara Imam Al ‘Asy’ari dengan golongan Asy ‘ariyah.

Adapun pemuda-pemuda ini, mereka hanya bermain pada persepsi dari bacaan dan buku yang mereka geluti, dan tentunya ditambah kegelisahan terhadap bungkamnya hampir seluruh umat Islam. Sehingga kecemburuan mereka bangkit, hingga akhirnya secara membabi buta mengkafirkan para penguasa muslim, bahkan rakyatnya, karena dianggap rakyatnya diam terhadap kezaliman penguasa. Mereka beralasan, sesuai kaidah: Man lam yukaffir al Kaafir faqad kafara (Barang siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia telah kafir juga). Namun perjalanan hidup para pemuda itu masih panjang -biidznillah, mereka masih ada waktu merenung, mengkaji, lalu menyadari hakikat sebenarnya. Matangnya usia, pengembaraan ilmiah, interaksi dengan masyarakat, termasuk ‘ilaj alami yang bisa mengikis faham takfir atau faham ‘cadas’ lainnya. Sudah banyak contoh  yang mengalami perubahan pemikiran seperti ini, dan tentunya para pemuda itu, masih kita harapkan termasuk di dalamnya.

Tafsir Sesungguhnya

Biasanya yang sering dijadikan alasan oleh para pemuda tersebut –tentu juga para tokoh panutannya- adalah surat Yusuf ayat 40 yang berbunyi Inil hukmu illa lillah (Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah). Ayat ini pernah digunakan oleh nenek moyang mereka (Khawarij klasik) ketika mengkafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah, beserta mereka yang terlibat dalam peristiwa tahkim seperti Amr bin al ‘Ash (utusan Mu’awiyah) dan Abu Musa al ‘Asy’ari (utusan ‘Ali). Dalil mereka oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu dibantah dengan ucapannya yang terkenal, “Kalimatul haq yuraadu bihal baathil.” (kalimat yang benar, namun ditempatkan untuk hal yang batil)

Maunya mereka, segala hukum harus Allah Ta’ala yang menentukan, sampai-sampai yang sifatnya rincian detilnya, termasuk perdamaian ketika perang shifin. Tak usahlah pakai akal manusia, tak usahlah mengirim utusan untuk berdiskusi seperti Amr bin al ‘Ash dan Abu Musa al ‘Asy’ari. Intinya, untuk menetapkan keputusan dari sebuah perkara yang diperselisihkan manusia, tak ada hak manusia untuk mendiskusikannya ...

Pemikiran mereka ini telah dibantah oleh Imamnya para mufassir, shahabiyun jalil, Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu. Ketika ia berdialog dengan kaum khawarij yang berdalil ayat di atas, Abdullah bin ‘Abbas  mematahkan argumen mereka dengan telak, ia membaca ayat:
   
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu ... “(QS. Al Maidah (5): 95)

Hujjah Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu  ini mampu menyadari ribuan kaum Khawarij, akhirnya mereka tobat menyadari kekeliruannya.

Betul dan tak ada keraguan di dalamnya bahwa hukum hanya milik Allah Ta’ala. Namun, manusia berdiskusi untuk membuat keputusan dan mencari solusi dari permasalahan yang belum dibahas secara khusus dalam Al Quran (al maskut ‘anhu), selama hasil keputusannya tidak melanggar syariat, maka itu hal yang dibenarkan pula sebagaimana surat Al Maidah ayat 95 di atas. Namun, jika hasil keputusan itu bertentangan dengan syariat walau sesuai dengan akal dan hawa nafsu manusia, maka wajib ditolak. Karena Syariat adalah panglima, akal dan hawa nafsu adalah prajurit yang harus tunduk di bawah kendali syariat.

Banyak sekali urusan manusia yang dilapangkan oleh syariat untuk mengaturnya sendiri sesuai kebutuhan mereka. Seperti undang-undang lalu-lintas, aturan hari libur nasional, seragam anak sekolah, peraturan perburuhan, dan masih banyak lainnya. Ini semua tak ada nash baik dari Al Quran dan As Sunnah tentang aturan mainnya. Karena itu apakah kafir manusia yang membuat peraturan itu semua, karena harus ada hukumnya dari Allah Ta’ala?

Rasulullah ‘Alaihi  Shallatu was Sallam bersabda:
 الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Halal adalah apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan dalam KitabNya, dan  Apa-apa yang didiamkan, maka itu dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1780,  Ibnu Majah No. 3367, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 19175. Dihasankan Oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3367)

Adapun tentang hal yang telah ada aturannya dari Allah dan RasulNya, baik perkara Ad Din dan dunia, maka tak ada kata tawar bagi seluruh umat Islam, dan tak boleh ada pilihan lainnya.

Menggunakan Hukum Allah Ta’ala adalah Wajib

Ketetapan ini adalah aksiomatik (baku). Sejak awal Islam hingga masa yang akan datang, bahwa menggunakan hukum Allah Ta’ala adalah wajib baik bagi individu, masyarakat, atau negara. Ketetapan ini ada dalam Al Quran, As Sunnah, Ijma’ sahabat dan kaum muslimin, serta sejarah umat ini. Tak ada satu pun aktifis Islam yang tidak merindukan hidup indah di bawah naungan syariah, namun sayangnya, kenyataan hari ini benar-benar membuat mereka harus bersabar dengan kesabaran yang luar biasa.

Kita lihat kelemahan para ulama dan pejuang Islam, tak lupa kebodohan umat menambah parah keadaan, sementara orang kafir terus menerus membuat makar, distorsi (tasywih), dan peragu-raguan (tasykik), terhadap perkara ini. Mereka sisipkan pemahaman sekulerisme ke dalam Islam dan berhasil mengelabui sebagian pemuda dan pemikir muslim. Selain itu mereka juga membendung arus kebangkitan Islam, termasuk dengan cara tangan besi kekuasaan dan kekerasan.

Dunia rela dengan lahirnya negeri Yahudi Israel, dunia ridha dengan lahir negeri katolik Vatikan, dunia diam dengan lahir negeri Hindu di India, bahkan mereka tak banyak bicara degan lahir negeri sosialis, komunis, dan kapitalis. Tetapi mereka bergerak cepat, mengatur barisan dan kekuatan, dan melupakan permusuhan di antara mereka secara tiba-tiba, ketika lahirnya negara Islam. Lihatlah kasus Sudan, ketika ia meresmikan negara berdasarkan undang-undang Islam, maka PBB mengembargo dan Amerika Serikat menyerang. Ketika HAMAS memenangkan pemilu legislatif di Palestina, tidak pakai tunggu lagi, Uni Eropa dan AS mencabut bantuan rutinnya. Itulah pelajaran ‘keadilan’ dan ‘demokrasi’ a la mereka. Memang, Islam tidak boleh menikmati hidup. Sementara negeri-negeri Arab diam, hanya bisa memberitakan dan menganalisa. Setelah itu, diam.  

Kewajiban Yang Pasti

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
 
“ .... Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah (5): 44)

“ ......Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah (5): 45)
 
“ ...... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah (5): 47)

Ayat ini, jelas-jelas menyebut gelar kafir, zalim, dan fasik, siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah Ta’ala turunkan, yakni Al Quran. Maka kewajibannya adalah qath’i (pasti). Namun, tidak sedikit yang memahami bahwa ayat-ayat hanya berlaku  untuk Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), bukan untuk Umat Islam, dengan alasan ayat-ayat ini turun disebabkan perilaku Ahli Kitab, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Asham:

وقال الأصم : الأول والثاني : في اليهود ، والثالث : في النصارى
Berkata Al Asham: “Yang awal dan kedua (Kafir dan zalim) adalah tentang Yahudi, dan yang ketiga (fasik) adalah tentang Nasrani.” (Imam Fakhruddin Ar Razi,  Mafatihul Ghaib, 6/72. Mawqi’ At Tafasir)

Berarti menurut mereka, hanya orang Yahudi dan Nasrani, yang layak disebut kafir, zalim dan fasik, jika mereka tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala. Sedangkan bagi orang Islam yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, maka tidak mengapa, karena ayat-ayat itu turun lantaran mereka.  Ini adalah pemahaman yang aneh dan lucu, dan tidak mengacu kaidah tafsir.

Para ulama telah menegaskan, al ‘Ibrah bi ‘umumil lafzhi laa bi khushusis sabab, yang jadi pertimbangan adalah umumnya lafaz bukan karena khususnya sebab nuzulnya ayat. Jadi, walau pun benar bahwa ayat itu turun tentang Yahudi dan Nasrani, namun nilai moral dan hukumnya juga berlaku untuk umat Islam, sebab Al Quran adalah pedomannya kaum muslimin.

Mudahnya adalah seperti ini. Jika ada orang memalsukan uang, lalu ia didenda dan di penjara. Maka, supaya tidak ada lagi orang yang memalsukan, dibuatlah peraturan, “Barang siapa yang secara sengaja memalsukan uang, maka ia akan dihukum denda sekian, dan hukum penjara sekian.”

Lihat, nuzulnya peraturan ini karena kasus ada orang yang memalsukan, namun peraturan itu juga berlaku untuk siapa saja yang berbuat hal yang sama dengan pelaku awal yang menyebabkan keluar peraturan tersebut.

Dalam kitab Ad Durul Mantsur-nya Imam As Suyuthi, bahwa Imam Ibnul Mundzir berkata, “Sebaik-baiknya kaum adalah kalian! Giliran yang enak-enak untuk kalian namun yang pahit-pahit untuk Ahli Kitab.”  Ini sindiran Imam Ibnul Mundzir bagi mereka yang menganggap ayat-ayat ini hanya berlaku bagi Ahli Kitab.

Dalam kitab yang sama disebutkan:

وأخرج عبد الرزاق عن سعيد بن المسيب قال : كتب ذلك على بني إسرائيل ، فهذه الآيات لنا ولهم
               
Ditakhrij oleh Abdur Razzaq, dari Said bin Al Musayyib, dia berkata: “Hal itu diwajibkan atas bani Israil, maka ayat-ayat ini berlaku bagi kita dan mereka.” (Imam As Suyuthi, Ad Durul Mantsur, 3/391. Mawqi’ At Tafasir)

Imam Asy Syaukani berkata dalam Fathul Qadir-nya, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dari Hudzaifah, bahwa ketika ayat Barangsiapa yang tidak berhukum ...dst dibacakan disisinya, ada seorang yang berkata: sesungguhnya ayat ini untuk Bani Israil. Maka berkatalah Hudzaifah:

فقال حذيفة: نعم الإخوة لكم بنو إسرائيل، إن كان لكم كل حلوة ولهم كل مرة كلا، والله لتسلكن طريقهم قد الشراك. وأخرج ابن المنذر نحوه عن ابن عباس.

Berkata Hudzaifah: “Sebaik-baiknya saudara bagi kalian adalah Bani Israil, jika ada yang manis-manis itu buat kalian, adapun bagi mereka yang pahit-pahit. Demi Allah, kalian benar-benar mengikuti jalan mereka maka kalian telah bersekutu dengan mereka.”  Ditakhrij oleh Ibnul Mundzir dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 2/315. Mawqi’ At Tafasir)
         
Maka, dengan uraian ini jelaslah kewajiban bagi setiap muslim untuk menjadikan apa yang Allah Ta’ala turunkan sebagai pedoman induk, inspirator,  dan tuntunan dalam menentukan aturan perundang-undangan, kecuali dalam perkara dunia yang memang Al Quran dan As Sunnah tidak membahasnya secara jelas dan rinci, di sini syariat memberikan keluasan manusia untuk berpikir sesuai kebutuhan dan kemaslahatan mereka. Itu pun tidak boleh keluar dari koridor Al Quran dan As Sunnah. Ini sudah kami jelaskan sebelumnya (lihat bagian: Tafsir Sesungguhnya)

Lalu, Apa Hukumnya bila tidak bertahkim  dengan Hukum Allah?

Dalam menjawab pertanyaan ini manusia terbelah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok mutasyaddid (keras) yang langsung mengkafirkan  secara umum orang yang tidak menggunakannya, baik individu, masyarakat, atau institusi negara. Tidak mau melihat apakah Tanpa mau melihat latar belakang, kenapa hukum Allah Ta’ala tidak ditegakkan? Dan tanpa mau melihat mawani’ (penghalang) yang ada pada mereka, baik karena mereka itu Al Jahl (bodoh), ikrah (terpaksa), atau melakukan ta’wil.  Ditambah lagi mereka tidak mau tahu kemampuan umat Islam yang terlanjur lahir di negeri muslim minus hukum Allah Ta’ala. Pokoknya kafir. Ini merupakan virus KGB (Khawarij Gaya Baru) yang melahirkan berbagai pemberontakan dan berbagai pemboman masa kini.

Kedua, kelompok yang  mutasahil (meremehkan) tergadap masalah ini. Bagi mereka, tidak mengapa sama sekali Umat Islam tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, sebab ayat-ayat yang memerintahkan berhukum dengan hukum Allah tersebut bukan untuk umat Islam, tetapi untuk Yahudi dan Nasrani saja. Inilah salah satu inspirator lahirnya murji’ah modern, serta sekulerisme di tubuh umat Islam, dan apatisme politik sebagian umat Islam.

Ketiga, kelompok yang mutawasith (pertengahan/moderat), inilah Ahlus Sunnah dan inilah yang kami tempuh, termasuk dalam berbagai masalah lainnya. Sebagaimana yang tertera dalam kitab Syarah al Aqidah al Wasithiyah Li Syaikhil Islam ibni Taimiyah, karya Dr. Said bin Ali Wahf al Qahthany, hal. 48:

الأمة الإسلامية وسط بين الملل كما قال تعالى (وكذالك جعلناكم أمة وسطا) , وأهل السنة وسط بين الفرق المنتسبة للإسلام.

“Umat Islam adalah pertengahan di antara milah-milah yang ada, sebagaimana firman Allah Ta’ala (Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat pertengahan), dan Ahlus Sunnah adalah pertengahan di antara kelompok-kelompok yang dinisbatkan kepada Islam.”

Bagi mereka (Ahlus Sunnah), merinci masalah ini sangat diperlukan. Jika tahkim itu diartikan penerapan hukum (tahkim bima’na tanfidz), maka ini adalah fasiq. Sedangkan jika tahkim diartikan pembuatan hukum (tahkim bima’na tasyri’), maka ini adalah kafir, sebab hak tasyri’ hanyalah milik Allah Ta’ala. Jadi,  keliru jika memukul rata secara membabi buta dan serampangan mengkafirkan seluruh umat Islam yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, sebagaimana yang dipahami kelompok mutasyaddid.  Padahal di antara mereka ada tukang becak, petani, nelayan, pelajar, mbok jamu, yang sangat awam dan tidak tahu masalah. Ada juga umat Islam yang ingin menjalankan syariat Allah Ta’ala, namun rezim tiranik membuatnya tidak berdaya, ada pula pemimpin yang ingin menggunakan hukum Allah, tetapi ia belum mampu menerapkan, karena khawatir adanya pemberontakan dari rakyatnya yang masih jahil. Ada pula pemimpin yang sudah paham dan mampu untuk menerapkan, tetapi ia tidak juga menerapkan. Nah, ini semua memiliki penilaiannya masing-masing.

Dan keliru pula kelompok yang mengatakan bahwa mereka bebas sama sekali, tak ada kewajiban sama sekali untuk menggunakan hukum Allah di muka bumi, sebagai mana pandangan kelompok mutasahil. Sebab hati seorang muslim, walau ada iman sekedar biji sawi, nuraninya tetap akan mengakui bahwa ia harus menjalankan syariat Islam.

Bersama para Salafus Shalih dan Para Imam

Tidak sedikit pemuda yang ghirahnya tinggi terhadap Islam mencoba menafsirkan sendiri ayat-ayat tentang tahkim, seperti Al Maidah ayat 44, 45, dan 47, di atas. Padahal sungguh berbahaya menafsiri Al Quran dengan akal pikiran sendiri, tanpa merujuk pandangan para ulama salaf (mutaqaddimin) atau pun khalaf (muta’akhirin), yang mu’tabar. Bukannya kita melarang-larang umat ini menafsiri kitab suci mereka, namun setiap bidang ada ahlinya. Potensi tergelincir lebih besar dibanding mendapatkan kebenaran. Setiap kita memang berhak menafsirkan Al Qur’an, namun tidak setiap kita memiliki  kemampuan untuk menafsirkan secara sehat. Setiap kita berhak kuliah di ITB, UI, atau kampus ternama lainnya, tetapi tidak semuanya memiliki kemampun akademis untuk lulus kuliah ke sana bukan?  

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


من قال فى القران برأيه فليتبوأ مقعده من النار (رواه الترمذى وقال حسن)
“Barangsiapa yang menafsiri Al Quran dengan akal pikirannya semata, maka disediakan baginya kursi di neraka.” (HR. At Tirmidzi, katanya ‘hasan’ no. 4023, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya dalam tahqiqnya terhadap tafsir At Thabari)

Nah kita lihat apa kata para Salafus Shalih tentang Tafsir Surat Al Maidah ayat 44, 45, dan 47.


Pertama akan kami kutip dari tafsir Imam Ibnu Katsir.

Berkata Abdur Razzaq, telah mengabarkan kami Ma’mar dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, ia berkata: ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah Ta’ala (Barangsiapa yang tidak berhukum ...dst) dia menjawab: “Dengannya dia kufur.” Ibnu Thawus berkata: “Bukanlah seperti orang yang kafir kepada Allah, kafir kepada malaikat, kafir kepada kitab-kitabnya, kafir kepada RasulNya.”  Berkata Ats tsauri dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, bahwa dia (‘Atha) berkata: “Kekafiran di bawah kekafiran (kufrun duna kufrin), kezhaliman di bawah kezhaliman (zhulmun duna zhulmin), dan fasik di bawah kefasikan (fisqun  duna fisqin),” diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Berkata Waqi’ dari Sa’id al Makky, dari Thawus tentang ayat (barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir) dia (Thawus) berkata: “Bukan kekafiran yang membuat pindah dari agama.” Berkata Ibnu Abi Hatim, bercerita kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Yazid al Muqri, bercerita kepadaku Sufyan bin ‘Uyainah dari Hisyam bin Hujair, dari Thawus, dari Ibnu ‘Abbas, tentang firmanNya: (barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir) dia (Ibnu ‘Abbas) berkata: “Bukanlah kekafiran yang kalian tuju.”  Ini diriwayatkan oleh Al Hakim  dalam Mustadrak-nya dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah. Dia berkata ‘Shahih’ menurut syarat shahihain, tetapi mereka berdua tidak meriwayatkannya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, Juz II, hal. 61. Darul Kutub al Mishriyah)

DarI kutipan di atas jelaslah, bahwa para salafus shalih seperti Ibnu ‘Abbas, Thawus dan anaknya, ‘Atha, dan lain-lain menyebutkan bahwa kekafiran mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, bukanlah kekafiran yang membuat murtad, atau kekafiran di bawah kekafiran. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah sebagai kafir ‘amali. Namun demikian hal itu termasuk dosa besar.

Kedua, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath Thabari,   Berikut ini adalah perkataannya:

 إن الله تعالى عَمَّ بالخبر بذلك عن قومٍ كانوا بحكم الله الذي حكم به في كتابه جاحدين، فأخبر عنهم أنهم بتركهم الحكمَ، على سبيل ما تركوه، كافرون. وكذلك القولُ في كل من لم يحكم بما أنزل الله جاحدًا به، هو بالله كافر، كما قال ابن عباس، لأنه بجحوده حكم الله بعدَ علمه أنه أنزله في كتابه، نظير جحوده نبوّة نبيّه بعد علمه أنه نبيٌّ.

“Sesungguhanya Allah menyampaikan pengabaran secara umum tentang kaum  yang mengingkari hukum Allah yang disebutkan di dalam kitabNya. Lalu Allah mengabarkan tentang mereka bahwa dengan meninggalkan hukum itu mereka pun menjadi kafir. Maka demikian pula hal ini berlaku bagi siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan dengan alasan ingkar (juhud), itu adalah kafir kepada Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, kekafirannya ini dikarenakan pengingkaran (juhud) mereka terhadap hukum Allah setelah mengetahui bahwa itulah yang diturunkan di dalam kitabNya. Sama halnya dengan pengingkaran terhadap kenabian nabiNya, setelah dia mengetahui bahwa beliau adalah seorang nabi.” Sampai di sini. (Jami’ Al Bayan, 10/358. Muasasah Ar Risalah)

Dari uraian Imam Ibnu Jarir ini bisa kita ketahui bahwa kafirnya mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala adalah jika mereka melakukannya karena juhud (pengingkaran atau penolakan), padahal tahu itu dari sisi Allah Ta’ala.

Ketiga, Tafsir Imam Asy Syaukani, yakni Fathul Qadir:

. وأخرج الفريابي وسعيد بن منصور وابن المنذر وابن أبي حاتم والحاكم وصححه والبيهقي في سننه عن ابن عباس في قوله: "ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون" قال: إنه ليس بالكفر الذي يذهبون إليه وإنه ليس كفر ينقل من الملة بل دون كفره .وأخرج عبد بن حميد وابن المنذر عن عطاء بن أبي رباح في قوله: "ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون"، "هم الظالمون"، "هم الفاسقون" قال: كفر دون كفر وظلم دون ظلم، وفسق دون فسق.

“Ditakhrij oleh Al Faryabi, Sa’id bin Manshur, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al Hakim –dan dia menshahihkannya- dan Al Baihaqi dalam Sunan-nya, dari Ibnu ‘Abbas tentang firmanNya: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka merekalah orang kafir.”  Dia (Ibnu ‘Abbas) berkata, “Itu bukanlah kekafiran yang ia tuju kepadanya, dan bukan pula kekafiran yang memindahkan pelakunya dari millah, tetapi di bawah kekafirannya. Ditakhrij oleh Abdu bin Humaid dan Ibnul Mundzir dari ‘Atha bin Abi Rabah tentang firmanNya “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka merekalah orang-orang kafir, zhalim, dan fasik.” Dia (‘Atha) berkata: “Kekafiran di bawah kekafiran, kezhaliman di bawah kezhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan.” (Fathul Qadir, 2/315. Mawqi’ At Tafasir)

Apa yang diuraikan Imam As Syaukani ini mirip dengan yang paparkan oleh Imam Ibnu Katsir.

Keempat, Tafsir Imam Al Baidhawi:

فكفرهم لإِنكاره ، وظلمهم بالحكم على خلافه ، وفسقهم بالخروج عنه
           
“Kekafiran mereka karena sikap pengingkarannya, kezaliman mereka karena mereka dalam berhukum menyelisihiNya, kefasikan mereka karena mereka keluar dari hukumnya.” (Imam Al Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 2/80. Mawqi’ At Tafasir)

Jadi menurut Imam Al Baidhawi, kekafiran mereka karena sikap mereka yang mengingkari kebenaran  hukum Allah Ta’ala.

Kelima, Tafsir Imam Ar Razi:

وقال آخرون : الأوَّلُ في الْجَاحِدِ ، والثاني والثالث : في المُقِرِّ التاركِ
“Dan Berkatalah yang lainnya: yang pertama (kafir) dalam hal juhud (pengingkaran/penolakan), dan yang kedua (zalim) dan ketiga (fasik), dalam hal meninggalkan ketetapan.” (Imam Fakhruddin Ar Razi,  Mafatihul Ghaib, 6/72. Mawqi’ At Tafasir)
           
Keenam, Tafsir Ats Tsa’labi:

وقالتْ جماعة عظيمةٌ من أهل العلمِ : الآيةُ متناولة كلَّ مَنْ لم يحكُمْ بما أنزل اللَّه ، ولكنَّها في أمراء هذه الأمَّة كُفْرُ معصية؛ لا يخرجهم عن الإيمان ، وهذا تأويلٌ حسن

Segolongan besar Jamaah dari Ahli ilmu berkata: “Setiap ayat yang berisi tentang Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, tetapi dikaitkan dengan para pemimpin umat ini, maka artinya kufrun maksiat, tidak mengeluarkan mereka dari keimanan. Ta’wil ini bagus.” (Imam At Tsa’labi, Al Jawahir Al Hisan, 1/415. Mawqi’ At Tafasir)

Dikitab yang sama dikutip ucapan Al Fakhr:

قال الفَخْر : وتمسَّكت الخوارجُ بهذه الآية في التكْفِير بالذَّنْب
“Berkata Al Fakhr: Khawarij berpegang pada ayat ini dalam mengkafirkan orang yang berdosa.” (Ibid)

Jadi, memang khawarij atau yang seide dengan mereka yang selalu menjadikan ayat-ayat ini untuk mengkafirkan dan memurtadkan keadaan manusia hari ini, dari penguasa hingga orang awam, karena tidak menggunakan hukum Allah Ta’ala.

Kami kira cukuplah beberapa tafsir dari Para Imam Mufassir tentang makna surat Al Maidah ayat 44, 45, dan 47. Berikut adalah Fatwa-Fatwa Para Ulama Ahlus Sunnah tentang berhukum dengan bukan hukum Allah.

1.Fatwa Syaikh Al Albany. Beliau ditanya tentang kelakuan mantan para mujahidin Afghan, ketika pulang ke negerinya, mereka mengkafirkan penguasa di negaranya sendiri karena tidak menggunakan hukum Allah (Al Qur'an), ini terjadi karena mereka berinteraksi dengn berbagai pemikiran di sana.

Syaikh Al Albany menjawab:

Setelah menguraikan bahaya berpaling dari tafsir salaf dalam memahami Al-Qur'an dan as-Sunnah, beliau berkata :

“Sangat alami sekali bila mereka menyimpang dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari manhaj salaf shalih sebagaimana pendahulu mereka. Di antara mereka ini adalah : Kaum Khawarij dahulu maupun sekarang. Sebab pemikiran takfir (pengkafiran kaum muslimin) yang sering kami singgung sekarang ini berasal dari kesalahan memahami ayat yang sering mereka angkat, yaitu firman Allah.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" (QS. Al Maidah (5) : 44).

Salah satu kejahilan orang-orang yang berdalil dengan ayat ini adalah mereka tidak memperhatikan (minimal) sejumlah nash-nash yang tercantum di dalamnya kata 'kufur', mereka artikan keluar (murtad) dari agama dan menyamakan para pelaku kekufuran itu dengan orang-orang musyrik dari kalangan Yahudi dan Nasrani... Lalu mereka menerapkan pemahaman yang keliru ini terhadap orang-orang muslim yang tidak bersalah...".

Kemudian beliau berbicara tentang tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang oleh Muhammad Quthb dan pengikutnya berusaha dijadikan sebagai sifat khusus bagi para khalifah Bani Umayyah! Syaikh Al Albani berkata : "Sepertinya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mendengar persis seperti yang sering kita dengar sekarang ini bahwa ada beberapa oknum yang memahami ayat ini secara zhahir saja tanpa diperinci. Maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata : 'Bukan kekufuran yang kalian pahami itu! Maksudnya bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, namun maksudnya adalah 'kufrun duna kufrin' (yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama)'.


Kemudian beliau melanjutkan : 'Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan murid beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyah selalu memperingatkan pentingnya membedakan antara 'kufur i'tiqaadi' dengan 'kufur amali'. Kalau tidak, akibatnya seorang muslim dapat terperosok ke dalam kesesatan menyempal dari kaum muslimin tanpa ia sadari sebagaimana yang telah menimpa kaum Khawarij terdahulu dan cikal bakal mereka sekarang...".

Kemudian beliau menyebutkan sejumlah persoalan yang terjadi antara beliau dengan lawan dialog beliau, beliau berkata kepada mereka : "Pertama, kalian ini tidak dapat menghukumi setiap hakim (penguasa) yang memakai undang-undang Barat yang kafir itu atau sebagian dari udang-undang itu bahwa jika ia ditanya alasannya ia akan menjawab : Memakai undang-undang Barat itu bagus dan cocok pada zaman sekarang ini, atau ia akan menjawab : Tidak boleh menerapkan Hukum Islam !.

Sekiranya para Hakim itu ditanya alasannya maka kalian tidak dapat memastikan bahwa jawaban mereka adalah "Hukum Islam sekarang ini tidak layak diterapkan!". Kalau begitu jawabannya, mereka tentunya kafir tanpa diragukan lagi. Demikian pula jika kita tujukan pertanyaan serupa kepada masyarakat umum, di antara mereka terdapat para ulama, orang shalih dan lain-lain ...? Lalu bagaimana mungkin kalian dapat menjatuhkan vonis kafir terhadap mereka hanya karena melihat hidup di bawah naungan undang-undang tersebut sama seperti mereka. Hanya saja kalian menyatakan terang-terangan bahwa mereka semua itu kafir dan murtad....."

Kemudian Syaikh Al Albani berbicara seputar masalah berhukum dengan selain hukum Allah, beliau berkata : "Kalian tidak dapat menghukumi kafir hingga ia menyatakan apa yang ada dalam hatinya, yaitu menyatakan bahwa ia tidak bersedia memakai hukum yang diturunkan Allah. Jika demikian pengakuannya barulah kalian dapat menghukuminya kafir murtad dari agama....".

Kemudian, saya (Al Albani) selalu memperingatkan mereka tentang masalah pengkafiran penguasa kaum muslimin ini bahwa anggaplah penguasa itu benar-benar kafir murtad, lalu apakah yang bisa kalian perbuat ? Orang-orang kafir itu telah menguasai negeri-negeri Islam, sedang kita di sini menghadapi musibah dijarahnya tanah Palestina oleh orang-orang Yahudi! Lalu apa yang bisa kita lakukan terhadap mereka ? Apa yang dapat kalian lakukan hingga kalian dapat menyelesaikan masalah kalian dengan para penguasa yang kalian anggap kafir itu !? Tidaklah lebih baik kalian sisihkan dulu persoalan ini dan memulai kembali dengan peletakkan asas yang di atas asas itulah pemerintahan Islam akan tegak! Yaitu 'ittiba' (mengikuti) sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di atas sunnah itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membimbing sahabat-sahabat beliau! Itulah istilah yang sering kami sebutkan dalam berbagai kesempatan seperti ini yaitu setiap jama'ah Islam wajib berusaha sungguh-sungguh menegakkan kembali hukum Islam, bukan saja di negeri Islam bahkan di seluruh dunia. Dalam mewujudkan firman Allah :

"Artinya : Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS. Ash-Shaff  (61): 9]

Dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa ayat ini kelak akan terwujud. Bagaimanakah usaha kaum muslimin mewujudkan nash Al-Qur'an tersebut ? Apakah dengan cara mengkudeta para penguasa yang telah dianggap kafir dan murtad itu ? Lalu disamping anggapan mereka yang keliru itu mereka juga tidak sanggup berbuat sesuatu ?! Jadi, bagaimana caranya ? Manakah jalannya ? Tidak syak lagi jalannya adalah jalan yang sering disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau peringatkan kepada para sahabat di setiap khutbah : "Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam!".

Seluruh kaum muslimin, terlebih orang-orang yang ingin menegakkan kembali hukum Islam, wajib memulainya dari arah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memulainya. Itulah yang sering kita simpulkan dalam dua kalimat yang sederhana ini : "Tashfiyah (pemurnian) dan Tarbiyah (Pembinaan)!" Karena kami benar-benar mengetahui kelompok-kelompok ekstrim yang hanya terfokus pada masalah pengkafiran penguasa itu mengabaikan atau lebih tepatnya tidak mau peduli dengan kaidah Tashfiyah dan Tarbiyah ini. Kemudian setelah itu tidak ada apa-apanya !

Mereka akan terus menerus menyatakan vonis kafir terhadap penguasa, kemudian yang mereka timbulkan setelah itu hanyalah fitnah (kekacauan)! Peristiwa yang terjadi belakangan ini yang sama-sama mereka ketahui mulai dari peristiwa berdarah di tanah suci (al-Haram) Makkah (Persitiwa Juhaiman di awal tahun 1980-an), kekacauan di Mesir, terbunuhnya presiden Anwar Sadat, tertumpahnya sekian banyak jiwa kaum muslimin yang tidak bersalah akibat fitnah-fitnah tersebut. Kemudian terakhir di Suriah, di Mesir sekarang ini dan di Aljazair sungguh sangat disayangkan sekali .... Kejadian-kejadian itu disebabkan mereka banyak menyelisihi nash-nash Al-Qur'an dan as-Sunnah, yang paling penting diantaranya adalah ayat :

"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (QS. Al-Ahzab (33) : 21)

Bagaimanakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memulai perjuangan dakwahnya ? "Kalian tentu mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pertama kali menawarkan dakwahnya kepada orang-orang yang menurut harapan beliau siap menerima kebenaran yang beliau sampaikan. Lalu beberapa orang menyambut dakwah beliau sebagaimana yang sudah banyak diketahui dari Sirah Nabawiyah. Kemudian dera siksa dan azab yang diderita oleh kaum muslimin di Makkah. Kemudian turunlah perintah berhijrah yang pertama (ke Habasyah) dan yang kedua (ke Madinah) serta berbagai peristiwa yang disebutkan dalam buku-buku sirah ....... Hingga akhirnya Allah mengokohkan dienul Islam di Madinah al-Munawwarah. Di saat itulah mulai terjadi pertempuran, mulailah pecah peperangan antara kaum muslimin melawan orang-orang kafir di satu sisi dan melawan orang-orang Yahudi di sisi yang lain.


Demikianlah sejarah perjuangan nabi ..... Jadi, kita harus memulai dengan mengajarkan Islam ini kepada manusia sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memulainya. Akan tetapi sekarang ini kita tidak hanya memfokuskan diri kepada masalah Tarbiyah ini. Apalagi sekarang ini sudah banyak sekali perkara-perkara bid'ah yang disusupkan ke dalam Islam yang sebenarnya tidak termasuk ajaran Islam dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban para da'i sekarang ini adalah memulai dengan pemurnian kembali ajaran Islam yang sudah tercemari ini (tashfiyah)....Kemudian perkara kedua adalah proses Tasfiyah ini harus dibarengi dengan proses Tarbiyah, yaitu membina generasi muda muslim dibawah bimbingan Islam yang murni tadi.

Apabila kita pelajari jama'ah-jama'ah Islam yang ada sekarang ini yang didirikan hampir seabad yang lalu, niscaya kita dapati banyak diantara para pengikutnya tidak mendapatkan faedah apa-apa. Meskipun gaung dan gembar-gembornya mereka ingin mendirikan negara Islam. Mereka telah menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah dengan dalih tersebut tanpa mendapatkan faedah apa-apa darinya ! Sampai sekarang masih sering kita dengar banyak diantara mereka yang memiliki aqidah sesat, aqidah yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah serta amal-amal yang bertolak belakang dengan Al Qur'an dan As Sunnah ......

(Dikutip dari Tabloid "Al-Muslimun" 5/5/1416H edisi : 556 hal. 7. dan dari majalah "Al-Buhuts al-Islamiyah" 49/373-377)

2. fatwa Syaikh Ibnu Baz

Ketika mengomentari makalah di atas, Al’Allamah Abdul Aziz bin Baz berkata : "Sayat telah menelaah jawaban yang sarat faedah dan sangat berharga yang diutarakan oleh Shahibul Fadhilah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany wafaqahullah, diterbitkan oleh Tabloid Al-Muslimun berkenan dengan masalah pengkafiran orang yg berhukum dengan selain hukum Allah tanpa melihat perinciannya. Menurut penilaian saya jawaban tersebut sangat berharga dan sesuai dengan kebenaran serta sejalan dengan sabilil mukminin (manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah).

Dalam jawaban tersebut beliau menjelaskan bahwa siapapun tidak dibolehkan menjatuhkan vonis kafir atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah hanya sekedar perbuatan lahiriyahnya tanpa mengetahui isi hatinya apakah menghalalkan tindakannya atau tidak !? Beliau berdalil dengan tafsir Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu dan dari ulama-ulama Salaf lainnya ..." (Tabloid "Al-Muslimun" 12/5/1416H edisi : 557 hal. 7)

3. Fatwa mantan mufti Mesir, Imamul Akbar Ali ath Thanthawy rahimahullah, dalam kitabnya Fatawa Asy Syaikh Ali ath Thanthawi, Darul manarah, Jeddah. Saudi Arabia.

Ia ditanya oleh seorang alumni fakultas syariah, tentang apa hukumnya menggunakan hukum selain hukum Allah?

Jawab:

1. kata kufr terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah dipahami dengan dua makna: satu, makna 'keluar dari agama'. kedua, makna 'maksiat'.

"Jangan kalian kafir lagi setelahku, di mana sebagian kalian saling membunuh satu sama lain."


Apakah para sahabat menjadi kafir setelah kepulangan dari perang shifin dan jamal? Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa mencaci keturunan dan meratapi kematian adalah perilaku kufur. Ada lagi, demi Allah, tidak beriman seseorang bermalam dalam keadaan kenyang, sedang tetangganya kelaparan." Atau sabda lainnya: "Tidaklah beriman orang yang sedang berzina."

2. Semua lafal kufur dalam pengertian ini tidaklah mengeluarkan seseorang dari Islam kecuali menurut kalangan khawarij, walaupun itu semua termasuk perbuatan maksiat.

3. Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah, dan meyakini hukum itu lebih utama, lebih adil, dan lebih sempurna, dari pada hukum Allah, maka ia telah kafir dan keluar dari Islam. Begitupula ia jadi kafir dan keluar dari Islam jika berkeyakinan bahwa ia punya kebebasan memilih; antara pakai hukum Allah atau hukum selainNya.

4. Bila yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah, dan yakin Dialah Al Haq dan tidak bisa ditawar lagi, akan tetapi dia tidak mampu untuk mengikutinya dan lebih memilih posisi duniawinya padahal ia tahu itu berdosa, maka ia telah melakukan salah satu dari dosa-dosa besar. Bila ia mati dan belum taubat, maka ia mati dalam keadan masih punya iman, sedangkan perihal perbuatannya kita kembalikan kepada Allah; jika Allah kehendaki, Allah mengampuni karena keimanannya, jika Allah menghendaki juga,  Allah menyiksa sesuai kadar dosanya.

5. Masalah ini sudah ditulis dibanyak kitab. Yang paling bagus adalah apa yang ditulis oleh Imam Ibnul Qayyim, Madarijus Salikin juz I, hal. 336. Demikian Fatwa Syaikh Ali Ath Thanthawi. Wallahu a’lam

Semoga ini bermanfaat bagi siapa saja yang menghendaki kebaikan. Wa akhiru da’wana ‘anil hamdulillahir rabbil ‘alamin.

Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan

Apakah Indonesia Negara Kafir?

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com