oleh Rhenald Khasali
SekolahMurabbi.com - Seorang mahasiswi mengeluh. Dari SD hingga lulus S-1, ia selalu juara. Namun kini, di program S-2, ia begitu kesulitan menghadapi dosennya yang menyepelekannya. Judul tesisnya selalu ditolak tanpa alasan yang jelas. Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak oleh dosen, ia sulit menerimanya.
Sementara itu, teman-temannya,
yang cepat selesai, jago mencari celah. Ia menduga, teman-temannya yang tak
sepintar dirinya itu "ada main" dengan dosen-dosennya. "Karena
mereka tak sepintar aku," ujarnya.
Banyak orangtua yang belum
menyadari, di balik nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa
sekolah, mereka menyandang persoalan besar: kesombongan dan ketidakmampuan
menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja tak bisa diatasi, maka masa depan
ekonominya pun akan sulit.
Mungkin inilah yang perlu
dilakukan orangtua dan kaum muda: belajar menghadapi realitas dunia orang
dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan.
Hadiah Orangtua
Psikolog Stanford University,
Carol Dweck, yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New
Psychology of Success, menulis, "Hadiah terpenting dan terindah dari
orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan".
Ya, tantangan. Apakah itu
kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustrasi dalam memecahkan masalah, sampai
kegagalan "membuka pintu", jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda
dengan pandangan banyak orangtua yang cepat-cepat ingin mengambil masalah yang
dihadapi anak-anaknya.
Kesulitan belajar mereka
biasanya kita atasi dengan mendatangkan guru-guru les, atau bahkan menyuap
sekolah dan guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit pejabat mengambil alih tanggung
jawab anak-anaknya ketika menghadapi proses hukum karena kelalaian mereka di
jalan raya. Kesalahan mereka membuat kita resah. Masalah mereka adalah masalah
kita, bukan milik mereka.
Termasuk di dalamnya adalah
rasa bangga orangtua yang berlebihan ketika anak-anaknya mengalami kemudahan
dalam belajar dibandingkan rekan-rekannya di sekolah.
Berkebalikan dengan pujian yang
dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orangtua untuk mengucapkan kalimat
seperti ini: "Maafkan Ibu telah membuat segala sesuatu terlalu gampang
untukmu, Nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba yang lebih
menantang?"
Jadi, dari kecil, saran Dweck,
anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal
gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya
selalu mudah.
Saya teringat masa-masa muda
dan kanak-kanak saya yang hampir setiap saat menghadapi kesulitan dan
tantangan. Kata reporter sebuah majalah, saya ini termasuk "bengal".
Namun ibu saya bilang, saya kreatif. Kakak-kakak saya bilang saya bandel.
Namun, otak saya bilang "selalu ada jalan keluar dari setiap
kesulitan".
Begitu memasuki dunia dewasa,
seorang anak akan melihat dunia yang jauh berbeda dengan masa kanak-kanak.
Dunia orang dewasa, sejatinya, banyak keanehannya, tipu-tipunya. Hal gampang
bisa dibuat menjadi sulit. Namun, otak saya selalu ingin membalikkannya.
Demikianlah, hal-hal sepele
sering dibuat orang menjadi masalah besar. Banyak ilmuwan pintar, tetapi
reaktif dan cepat tersinggung. Demikian pula kalau orang sudah senang, apa pun
yang kita inginkan selalu bisa diberikan.
Panggung Orang Dewasa
Dunia orang dewasa itu adalah
sebuah panggung besar dengan unfair treatment yang menyakitkan bagi mereka yang
dibesarkan dalam kemudahan dan alam yang protektif.
Kemudahan-kemudahan yang
didapat pada usia muda akan hilang begitu seseorang tamat SMU. Di dunia kerja,
keadaan yang lebih menyakitkan akan mungkin lebih banyak lagi ditemui.
Fakta-fakta akan sangat mudah
Anda temui bahwa tak semua orang, yang secara akademis hebat, mampu menjadi
pejabat atau CEO. Jawabannya hanya satu: hidup seperti ini sungguh menantang.
Tantangan-tantangan itu tak
boleh membuat seseorang cepat menyerah atau secara defensif menyatakan para
pemenang itu "bodoh", tidak logis, tidak mengerti, dan lain
sebagainya.
Berkata bahwa hanya kitalah
orang yang pintar, yang paling mengerti, hanya akan menunjukkan
ketidakberdayaan belaka. Dan pernyataan ini hanya keluar dari orang pintar yang
miskin perspektif, dan kurang menghadapi ujian yang sesungguhnya.
Dalam banyak kesempatan, kita
menyaksikan banyak orang-orang pintar menjadi tampak bodoh karena ia memang
bodoh mengelola kesulitan. Ia hanya pandai berkelit atau ngoceh-ngoceh di
belakang panggung, bersungut-sungut karena kini tak ada lagi orang dewasa yang
mengambil alih kesulitan yang ia hadapi.
Di Universitas Indonesia, saya
membentuk mahasiswa-mahasiswa saya agar berani menghadapi tantangan dengan cara
satu orang pergi ke satu negara tanpa ditemani satu orang pun agar berani
menghadapi kesulitan, kesasar, ketinggalan pesawat, atau kehabisan uang.
Namun lagi-lagi orangtua sering
mengintervensi mereka dengan mencarikan travel agent, memberikan paket tur,
uang jajan dalam jumlah besar, menitipkan perjalanan pada teman di luar negeri,
menyediakan penginapan yang aman, dan lain sebagainya. Padahal, anak-anak itu
hanya butuh satu kesempatan: bagaimana menghadapi kesulitan dengan caranya
sendiri.
Hidup yang indah adalah hidup
dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh tantangan. Dan inilah esensi
perekonomian abad ke-21: bergejolak, ketidakpastian, dan membuat manusia
menghadapi ambiguitas. Namun dalam kondisi seperti itulah sesungguhnya manusia
berpikir. Dan ketika kita berpikir, tampaklah pintu-pintu baru terbuka, saat
pintu-pintu hafalan kita tertutup. Jadi inilah yang mengakibatkan banyak sekali
orang pintar sulit dalam menghadapi kesulitan.