SekolahMurabbi.com - Golongan Non
Muslim itu terbagi menjadi dua: Golongan non muslim yang harus dilindungi, dan
golongan non muslim yang harus diperangi. Marilah kita kenali mereka agar kita
dapat bersikap adil dan proporsional.
Non Muslim yang Harus Dilindungi
Pertama, Mu’aahad. Siapakah mereka?
هُمُ
الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ ، وَيُسَمَّى الْهُدْنَةَ وَالْمُهَادَنَةَ وَالْمُعَاهَدَةَ وَالْمُسَالَمَةَ وَالْمُوَادَعَةَ
“Mereka
adalah orang-orang yang berdamai dengan imam kaum muslimin untuk tidak
berperang dalam waktu yang telah diketahui (disepakati) untuk kemasalahatan.
‘Al Mu’ahad’ diambil dari kata ‘Al ‘Ahdu’ (janji) yaitu shulhu (perjanjian
damai) yang telah ditentukan, dan dinamakan hudnah (gencatan
senjata), juga dinamakan Al Muhaadanah, Al Mu’aahadah (agreement), Al Musaalamah (perdamaian),
dan Al Muwaada’ah.
(Fathul Qadir, 4/293. Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181. Al Kharasyi, 3/175. Fathul
‘Ali, 1/333. Asy Syarhul Ad Dardir, 2/190. Al Qawaanin Al Fiqhiyah, Hal. 154.
Mughni Al Muhtaj, 4/260. Al Umm, 4/110. Nihayah Al Muhtaj, 7/235, Kasysyaf Al
Qina’, 3/103. Al Mughni, 4/459-461. Zaadul Ma’ad, 2/76. Al Muharrar fil Fiqhil
Hambaliy, 2/182. Al Ikhtiyarat, Hal. 188)
Syaikh Ibnu
Al ‘Utsaimin mengatakan:
والمعاهد: من كان بيننا وبينه عهد، كما جرى بين النبي صلى الله عليه وسلم وقريش في الحديبية.
“Al Mu’ahad
adalah siapa saja yang antara kita dan dia ada perjanjian, sebagaimana yang berlangsung
antara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
kaum Quraisy di Hudaibiyah.” (Syaikh Al ‘Utsaimin, Syarhul Arbain An Nawawiyah,
Hal. 159. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Kedua, Ahli Dzimmah. Siapakah mereka?
أَهْل
الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ الإْسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإْسْلاَمِ فِيهِمْ
“Ahlu Az
Dzimmah adalah orang-orang kafir yang menetapkan kekafirannya di Negara Islam
dengan menjalankan kewajiban membayar jizyah dan dilaksanakannya syariat Islam
pada mereka.” (Jawahirul Iklil, 1/105. Kasysyaf Al Qina’, 1/704)
Ketiga, Musta’man. Siapakah mereka?
الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأْصْل : الطَّالِبُ لِلأْمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
“Al
Musta’man pada dasarnya: orang yang meminta keamanan, yaitu orang kafir yang
masuk ke Negara Islam dengan aman, atau seorang muslim jika masuk ke nagara
kafir dengan aman.” (Durar Al Hikam, 1/262. Hasyiah Abi Su’ud, 3/440. Ad Durul
Mukhtar, 3/247)
Nah, ketiga
kelompok non muslim inilah yang terlindungi darahnya, selama status mereka
belum berubah. Kapankah status mereka berubah? Para ulama mengatakan:
يُصْبِحُ الذِّمِّيُّ وَالْمُعَاهَدُ وَالْمُسْتَأْمَنُ فِي حُكْمِ الْحَرْبِيِّ بِاللَّحَاقِ بِاخْتِيَارِهِ بِدَارِ الْحَرْبِ مُقِيمًا فِيهَا ، أَوْ إِذَا نَقَضَ عَهْدَ ذِمَّتِهِ فَيَحِل دَمُهُ وَمَالُهُ
“Kafir
Dzimmi, Mu’aahad, dan Musta’man akan dihukumi menjadi kafir harbi, saat dia
memiliih bermukim di negara perang (darul harbi), atau jika dia membatalkan
perjanjiannya maka halal darah dan hartanya.” (Ad Durul Mukhtar, 3/275, 303.
Asy Syarhush Shagir, 2/316. Mughni Al Muhtaj, 258-262. Al Mughni, 8/458)
Non Muslim yang Harus Diperangi
Pertama, Ahlul Harbi.
هُمْ
غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
“Mereka
adalah non muslim yang tidak termasuk dalam perjanjian dzimmah (jaminan
keamanan) dan tidak memanfaatkan keamanan kaum muslimin dan tidak pula adanya
perjanjian dengan mereka.” (Fathul Qadir, 4/278, 284. Al Fatawa Al Hindiyah, 2/174.Al Mawahib Al Jalil, 3/346-350. Asy Syarhu Ash Shagir, 2/267. Nihayatul Muhtaj, 7/191. Mughni Al Muhtaj, 4/209. Mathaalib Ulin Nuha, 2/508. Kasysyaf Al Qina’, 3/28. Al Mughni, 8/352)
Kedua, Ahlul Baghyi.
هُمْ
فِرْقَةٌ خَرَجَتْ عَلَى إِمَامِ الْمُسْلِمِينَ لِمَنْعِ حَقٍّ ، أَوْ لِخَلْعِهِ ، وَهُمْ أَهْل مَنَعَةٍ
“Mereka
adalah kelompok yang keluar (memberontak) kepada Imam kaum muslimin dalam rangka
menolak kebenaran, atau melepaskannya, dan mereka adalah ahlu mana’ah (orang
yang menolak).” (Mawahib Al Jalil, 6/276. Asy Syarh Al Kabir, 4/300. Asy Syarh Ash Shaghir, 4/426. Al Qawanin Al Fiqhiyah, Hal. 363. Al Umm, 4/214. Mughni Al Muhtaj, 4/123. Al Mughni, 8/104)
Prinsip Hubungan Muslim dengan Non Muslim
Allah Ta’ala telah
menetapkan prinsip hubungan antara seorang Muslim dengan Non Muslim. Dan Dialah
sebaik-baik Penentu Kebijakan.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 8)
Dalam ayat
ini, Allah Ta’ala menerangkan
bahwa Dia tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan
hubungan persaudaraan, tolong-menolong dan hantu-membantu dengan orang-orang
kafir selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum muslimin,
tidak mengusir dari negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan
orang-orang yang hendak mengusir itu.
Ayat ini
merupakan ayat yang memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam
menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum
muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama
orang-orang kafir itu bersikap dan ingin bergaul baik terutama dengan kaum
muslimin.
Seandainya
dalam sejarah Islam terutama pada masa Rasulullah dan masa para sahabat,
terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum muslimin kepada
orang-orang kafir, maka tindakan itu semta-mata dilakukan untuk membela diri
dari kelaliman dan siksaan-siksaan orang-orang kafir.
Di Mekah,
Rasulullah dan para sahabat disiksa dan dianiaya oleh orang-orang kafir
Quraisy, sampai mereka terpaksa hijrah ke Madinah. Sesampai mereka di Madinah,
mereka pun dimusuhi oleh orang-orang Yahudi yang bersekutu dengan orang-orang
kafir Quraisy, sekalipun telah dibuat perjanjian damai antara mereka dengan
Rasulullah, sehingga terpaksa diambil tindakan kekerasan. Demikian pula di kala
kaum muslimin berhadapan dengan kerajaan Persia dan Romawi, orang-orang kafir
di sana telah memancing permusuhan sehingga terjadi peperangan.
Jadi ada satu
prinsip yang perlu diingat dalam hubungan orang Islam dengan orang-orang kafir,
yaitu: “Boleh mengadakan hubungan baik, selama pihak yang bukan Islam melakukan
yang demikian pula”. Hal ini hanya dapat dibuktikan dalam sikap dan perbuatan
kedua belah pihak.
Di Indonesia
prinsip ini dapat dilakukan, selama tidak ada pihak agama lain bermaksud
memurtadkan orang Islam atau menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Hal ini
ditegaskan oleh ayat selanjutnya.
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 9)
Dalam ayat
ini diterangkan bahwa Allah Ta’ala hanyalah
melarang kaum muslimin bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat
atau menghalangi manusia di jalan Allah, dan memurtadkan kaum muslimin sehingga
ia berpindah kepada agama lain, yang memerangi, mengusir dan membantu pengusir
kaum muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu Allah melarang
dengan sangat kaum muslimin berteman dengan mereka.
Pada akhir ayat ini Allah SWT mengancam kaum muslimin yang menjadikan
musuh-musuh mereka sebagai teman bertolong-tolongan dengan mereka, jika mereka
melanggar larangan Allah ini, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.
Wallahu
A’lam…
Maraji:
Syarah Hadits Arbain Keempat Belas, Farid Nu’man Hasan
Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Kemenag RI
Al-Intima