/
Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan

SekolahMurabbi.com - Assalamualaikum. ustadz afwan saya mau bertanya perihal banyaknya link group fb yang menyatakan Indonesia negara kafir, pancasila dan UUD 1945 adalah kitab kafir, demokrasi dianggap agama, nasionalis dianggap berhala, tolong penjelasannya ustad. bagaimana pandangan islam terkait hal ini? saya bingung mengapa mereka sangat keras pemahamannya bahkan sesama muslim dikafirkan, saya gak suka dengan cara mereka. suka mengkafirkan, merendahkan manusia, merasa paling benar sendiri. Kalo ditanya mengapa hidup dan mencari penghasilan di negeri ini? jawabanya kurang lebih ini buminya Allah, bukan bumi Indonesia, jd bebas dimana saya berada, justru anda itu yang tidak berhukum dg hukum Allah keluar dari bumi Allah. (dari Ismail)

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d

Masalah ini telah lama diperbincangkan banyak pakar, dan mereka -seperti yang akan kami paparkan nanti- memiliki pandangan yang berbeda dengan sebagian pemuda da’wah yang sangat ghirah terhadap Shahwah Islamiyah. Namun, sayangnya, tidak sedikit para pemuda yang tergelincir dan terjerembab dalam kubangan faham takfir, sebuah faham yang telah diwariskan oleh kaum khawarij, sebuah sekte tertua dalam sejarah Islam.

Mereka mudah sekali mengkafirkan pemerintah secara umum dari sebuah negeri muslim yang tidak menggunakan hukum Allah Ta’ala, tanpa melakukan perincian. Tanpa melakukan kajian dan studi analisis yang mendalam. Kenapa negeri-negeri itu tidak berhukum dengan hukum Allah? Apa alasannya? Apa latar belakang hidup mereka? Rincian-rincian ini menjadi penting, sebab masing-masing keadaan ada latar belakangnya, yang nantinya kita namakan ‘illat hukum.

Kadang para pemuda itu menisbatkan pemikirannya karena pengaruh pemikiran sosok yang mereka kagumi, semisal Syahidul Islam Sayyid Quthb, padahal ia berlepas diri dari itu semua. Sekali pun benar Sayyid Quthb seperti itu, beliau –rahimahullah- memiliki alasan yang bisa dimaklumi, karena siksaan, kezaliman, yang beliau alami hampir separuh usianya. Maka, tidak selalu identik antara Ustadz Sayyid Quthb dengan Quthbiyah, sebagaimana tidak selalu identik antara Imam Al ‘Asy’ari dengan golongan Asy ‘ariyah.

Adapun pemuda-pemuda ini, mereka hanya bermain pada persepsi dari bacaan dan buku yang mereka geluti, dan tentunya ditambah kegelisahan terhadap bungkamnya hampir seluruh umat Islam. Sehingga kecemburuan mereka bangkit, hingga akhirnya secara membabi buta mengkafirkan para penguasa muslim, bahkan rakyatnya, karena dianggap rakyatnya diam terhadap kezaliman penguasa. Mereka beralasan, sesuai kaidah: Man lam yukaffir al Kaafir faqad kafara (Barang siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia telah kafir juga). Namun perjalanan hidup para pemuda itu masih panjang -biidznillah, mereka masih ada waktu merenung, mengkaji, lalu menyadari hakikat sebenarnya. Matangnya usia, pengembaraan ilmiah, interaksi dengan masyarakat, termasuk ‘ilaj alami yang bisa mengikis faham takfir atau faham ‘cadas’ lainnya. Sudah banyak contoh  yang mengalami perubahan pemikiran seperti ini, dan tentunya para pemuda itu, masih kita harapkan termasuk di dalamnya.

Tafsir Sesungguhnya

Biasanya yang sering dijadikan alasan oleh para pemuda tersebut –tentu juga para tokoh panutannya- adalah surat Yusuf ayat 40 yang berbunyi Inil hukmu illa lillah (Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah). Ayat ini pernah digunakan oleh nenek moyang mereka (Khawarij klasik) ketika mengkafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah, beserta mereka yang terlibat dalam peristiwa tahkim seperti Amr bin al ‘Ash (utusan Mu’awiyah) dan Abu Musa al ‘Asy’ari (utusan ‘Ali). Dalil mereka oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu dibantah dengan ucapannya yang terkenal, “Kalimatul haq yuraadu bihal baathil.” (kalimat yang benar, namun ditempatkan untuk hal yang batil)

Maunya mereka, segala hukum harus Allah Ta’ala yang menentukan, sampai-sampai yang sifatnya rincian detilnya, termasuk perdamaian ketika perang shifin. Tak usahlah pakai akal manusia, tak usahlah mengirim utusan untuk berdiskusi seperti Amr bin al ‘Ash dan Abu Musa al ‘Asy’ari. Intinya, untuk menetapkan keputusan dari sebuah perkara yang diperselisihkan manusia, tak ada hak manusia untuk mendiskusikannya ...

Pemikiran mereka ini telah dibantah oleh Imamnya para mufassir, shahabiyun jalil, Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu. Ketika ia berdialog dengan kaum khawarij yang berdalil ayat di atas, Abdullah bin ‘Abbas  mematahkan argumen mereka dengan telak, ia membaca ayat:
   
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu ... “(QS. Al Maidah (5): 95)

Hujjah Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu  ini mampu menyadari ribuan kaum Khawarij, akhirnya mereka tobat menyadari kekeliruannya.

Betul dan tak ada keraguan di dalamnya bahwa hukum hanya milik Allah Ta’ala. Namun, manusia berdiskusi untuk membuat keputusan dan mencari solusi dari permasalahan yang belum dibahas secara khusus dalam Al Quran (al maskut ‘anhu), selama hasil keputusannya tidak melanggar syariat, maka itu hal yang dibenarkan pula sebagaimana surat Al Maidah ayat 95 di atas. Namun, jika hasil keputusan itu bertentangan dengan syariat walau sesuai dengan akal dan hawa nafsu manusia, maka wajib ditolak. Karena Syariat adalah panglima, akal dan hawa nafsu adalah prajurit yang harus tunduk di bawah kendali syariat.

Banyak sekali urusan manusia yang dilapangkan oleh syariat untuk mengaturnya sendiri sesuai kebutuhan mereka. Seperti undang-undang lalu-lintas, aturan hari libur nasional, seragam anak sekolah, peraturan perburuhan, dan masih banyak lainnya. Ini semua tak ada nash baik dari Al Quran dan As Sunnah tentang aturan mainnya. Karena itu apakah kafir manusia yang membuat peraturan itu semua, karena harus ada hukumnya dari Allah Ta’ala?

Rasulullah ‘Alaihi  Shallatu was Sallam bersabda:
 الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Halal adalah apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan dalam KitabNya, dan  Apa-apa yang didiamkan, maka itu dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1780,  Ibnu Majah No. 3367, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 19175. Dihasankan Oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3367)

Adapun tentang hal yang telah ada aturannya dari Allah dan RasulNya, baik perkara Ad Din dan dunia, maka tak ada kata tawar bagi seluruh umat Islam, dan tak boleh ada pilihan lainnya.

Menggunakan Hukum Allah Ta’ala adalah Wajib

Ketetapan ini adalah aksiomatik (baku). Sejak awal Islam hingga masa yang akan datang, bahwa menggunakan hukum Allah Ta’ala adalah wajib baik bagi individu, masyarakat, atau negara. Ketetapan ini ada dalam Al Quran, As Sunnah, Ijma’ sahabat dan kaum muslimin, serta sejarah umat ini. Tak ada satu pun aktifis Islam yang tidak merindukan hidup indah di bawah naungan syariah, namun sayangnya, kenyataan hari ini benar-benar membuat mereka harus bersabar dengan kesabaran yang luar biasa.

Kita lihat kelemahan para ulama dan pejuang Islam, tak lupa kebodohan umat menambah parah keadaan, sementara orang kafir terus menerus membuat makar, distorsi (tasywih), dan peragu-raguan (tasykik), terhadap perkara ini. Mereka sisipkan pemahaman sekulerisme ke dalam Islam dan berhasil mengelabui sebagian pemuda dan pemikir muslim. Selain itu mereka juga membendung arus kebangkitan Islam, termasuk dengan cara tangan besi kekuasaan dan kekerasan.

Dunia rela dengan lahirnya negeri Yahudi Israel, dunia ridha dengan lahir negeri katolik Vatikan, dunia diam dengan lahir negeri Hindu di India, bahkan mereka tak banyak bicara degan lahir negeri sosialis, komunis, dan kapitalis. Tetapi mereka bergerak cepat, mengatur barisan dan kekuatan, dan melupakan permusuhan di antara mereka secara tiba-tiba, ketika lahirnya negara Islam. Lihatlah kasus Sudan, ketika ia meresmikan negara berdasarkan undang-undang Islam, maka PBB mengembargo dan Amerika Serikat menyerang. Ketika HAMAS memenangkan pemilu legislatif di Palestina, tidak pakai tunggu lagi, Uni Eropa dan AS mencabut bantuan rutinnya. Itulah pelajaran ‘keadilan’ dan ‘demokrasi’ a la mereka. Memang, Islam tidak boleh menikmati hidup. Sementara negeri-negeri Arab diam, hanya bisa memberitakan dan menganalisa. Setelah itu, diam.  

Kewajiban Yang Pasti

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
 
“ .... Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah (5): 44)

“ ......Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah (5): 45)
 
“ ...... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah (5): 47)

Ayat ini, jelas-jelas menyebut gelar kafir, zalim, dan fasik, siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah Ta’ala turunkan, yakni Al Quran. Maka kewajibannya adalah qath’i (pasti). Namun, tidak sedikit yang memahami bahwa ayat-ayat hanya berlaku  untuk Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), bukan untuk Umat Islam, dengan alasan ayat-ayat ini turun disebabkan perilaku Ahli Kitab, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Asham:

وقال الأصم : الأول والثاني : في اليهود ، والثالث : في النصارى
Berkata Al Asham: “Yang awal dan kedua (Kafir dan zalim) adalah tentang Yahudi, dan yang ketiga (fasik) adalah tentang Nasrani.” (Imam Fakhruddin Ar Razi,  Mafatihul Ghaib, 6/72. Mawqi’ At Tafasir)

Berarti menurut mereka, hanya orang Yahudi dan Nasrani, yang layak disebut kafir, zalim dan fasik, jika mereka tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala. Sedangkan bagi orang Islam yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, maka tidak mengapa, karena ayat-ayat itu turun lantaran mereka.  Ini adalah pemahaman yang aneh dan lucu, dan tidak mengacu kaidah tafsir.

Para ulama telah menegaskan, al ‘Ibrah bi ‘umumil lafzhi laa bi khushusis sabab, yang jadi pertimbangan adalah umumnya lafaz bukan karena khususnya sebab nuzulnya ayat. Jadi, walau pun benar bahwa ayat itu turun tentang Yahudi dan Nasrani, namun nilai moral dan hukumnya juga berlaku untuk umat Islam, sebab Al Quran adalah pedomannya kaum muslimin.

Mudahnya adalah seperti ini. Jika ada orang memalsukan uang, lalu ia didenda dan di penjara. Maka, supaya tidak ada lagi orang yang memalsukan, dibuatlah peraturan, “Barang siapa yang secara sengaja memalsukan uang, maka ia akan dihukum denda sekian, dan hukum penjara sekian.”

Lihat, nuzulnya peraturan ini karena kasus ada orang yang memalsukan, namun peraturan itu juga berlaku untuk siapa saja yang berbuat hal yang sama dengan pelaku awal yang menyebabkan keluar peraturan tersebut.

Dalam kitab Ad Durul Mantsur-nya Imam As Suyuthi, bahwa Imam Ibnul Mundzir berkata, “Sebaik-baiknya kaum adalah kalian! Giliran yang enak-enak untuk kalian namun yang pahit-pahit untuk Ahli Kitab.”  Ini sindiran Imam Ibnul Mundzir bagi mereka yang menganggap ayat-ayat ini hanya berlaku bagi Ahli Kitab.

Dalam kitab yang sama disebutkan:

وأخرج عبد الرزاق عن سعيد بن المسيب قال : كتب ذلك على بني إسرائيل ، فهذه الآيات لنا ولهم
               
Ditakhrij oleh Abdur Razzaq, dari Said bin Al Musayyib, dia berkata: “Hal itu diwajibkan atas bani Israil, maka ayat-ayat ini berlaku bagi kita dan mereka.” (Imam As Suyuthi, Ad Durul Mantsur, 3/391. Mawqi’ At Tafasir)

Imam Asy Syaukani berkata dalam Fathul Qadir-nya, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dari Hudzaifah, bahwa ketika ayat Barangsiapa yang tidak berhukum ...dst dibacakan disisinya, ada seorang yang berkata: sesungguhnya ayat ini untuk Bani Israil. Maka berkatalah Hudzaifah:

فقال حذيفة: نعم الإخوة لكم بنو إسرائيل، إن كان لكم كل حلوة ولهم كل مرة كلا، والله لتسلكن طريقهم قد الشراك. وأخرج ابن المنذر نحوه عن ابن عباس.

Berkata Hudzaifah: “Sebaik-baiknya saudara bagi kalian adalah Bani Israil, jika ada yang manis-manis itu buat kalian, adapun bagi mereka yang pahit-pahit. Demi Allah, kalian benar-benar mengikuti jalan mereka maka kalian telah bersekutu dengan mereka.”  Ditakhrij oleh Ibnul Mundzir dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 2/315. Mawqi’ At Tafasir)
         
Maka, dengan uraian ini jelaslah kewajiban bagi setiap muslim untuk menjadikan apa yang Allah Ta’ala turunkan sebagai pedoman induk, inspirator,  dan tuntunan dalam menentukan aturan perundang-undangan, kecuali dalam perkara dunia yang memang Al Quran dan As Sunnah tidak membahasnya secara jelas dan rinci, di sini syariat memberikan keluasan manusia untuk berpikir sesuai kebutuhan dan kemaslahatan mereka. Itu pun tidak boleh keluar dari koridor Al Quran dan As Sunnah. Ini sudah kami jelaskan sebelumnya (lihat bagian: Tafsir Sesungguhnya)

Lalu, Apa Hukumnya bila tidak bertahkim  dengan Hukum Allah?

Dalam menjawab pertanyaan ini manusia terbelah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok mutasyaddid (keras) yang langsung mengkafirkan  secara umum orang yang tidak menggunakannya, baik individu, masyarakat, atau institusi negara. Tidak mau melihat apakah Tanpa mau melihat latar belakang, kenapa hukum Allah Ta’ala tidak ditegakkan? Dan tanpa mau melihat mawani’ (penghalang) yang ada pada mereka, baik karena mereka itu Al Jahl (bodoh), ikrah (terpaksa), atau melakukan ta’wil.  Ditambah lagi mereka tidak mau tahu kemampuan umat Islam yang terlanjur lahir di negeri muslim minus hukum Allah Ta’ala. Pokoknya kafir. Ini merupakan virus KGB (Khawarij Gaya Baru) yang melahirkan berbagai pemberontakan dan berbagai pemboman masa kini.

Kedua, kelompok yang  mutasahil (meremehkan) tergadap masalah ini. Bagi mereka, tidak mengapa sama sekali Umat Islam tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, sebab ayat-ayat yang memerintahkan berhukum dengan hukum Allah tersebut bukan untuk umat Islam, tetapi untuk Yahudi dan Nasrani saja. Inilah salah satu inspirator lahirnya murji’ah modern, serta sekulerisme di tubuh umat Islam, dan apatisme politik sebagian umat Islam.

Ketiga, kelompok yang mutawasith (pertengahan/moderat), inilah Ahlus Sunnah dan inilah yang kami tempuh, termasuk dalam berbagai masalah lainnya. Sebagaimana yang tertera dalam kitab Syarah al Aqidah al Wasithiyah Li Syaikhil Islam ibni Taimiyah, karya Dr. Said bin Ali Wahf al Qahthany, hal. 48:

الأمة الإسلامية وسط بين الملل كما قال تعالى (وكذالك جعلناكم أمة وسطا) , وأهل السنة وسط بين الفرق المنتسبة للإسلام.

“Umat Islam adalah pertengahan di antara milah-milah yang ada, sebagaimana firman Allah Ta’ala (Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat pertengahan), dan Ahlus Sunnah adalah pertengahan di antara kelompok-kelompok yang dinisbatkan kepada Islam.”

Bagi mereka (Ahlus Sunnah), merinci masalah ini sangat diperlukan. Jika tahkim itu diartikan penerapan hukum (tahkim bima’na tanfidz), maka ini adalah fasiq. Sedangkan jika tahkim diartikan pembuatan hukum (tahkim bima’na tasyri’), maka ini adalah kafir, sebab hak tasyri’ hanyalah milik Allah Ta’ala. Jadi,  keliru jika memukul rata secara membabi buta dan serampangan mengkafirkan seluruh umat Islam yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, sebagaimana yang dipahami kelompok mutasyaddid.  Padahal di antara mereka ada tukang becak, petani, nelayan, pelajar, mbok jamu, yang sangat awam dan tidak tahu masalah. Ada juga umat Islam yang ingin menjalankan syariat Allah Ta’ala, namun rezim tiranik membuatnya tidak berdaya, ada pula pemimpin yang ingin menggunakan hukum Allah, tetapi ia belum mampu menerapkan, karena khawatir adanya pemberontakan dari rakyatnya yang masih jahil. Ada pula pemimpin yang sudah paham dan mampu untuk menerapkan, tetapi ia tidak juga menerapkan. Nah, ini semua memiliki penilaiannya masing-masing.

Dan keliru pula kelompok yang mengatakan bahwa mereka bebas sama sekali, tak ada kewajiban sama sekali untuk menggunakan hukum Allah di muka bumi, sebagai mana pandangan kelompok mutasahil. Sebab hati seorang muslim, walau ada iman sekedar biji sawi, nuraninya tetap akan mengakui bahwa ia harus menjalankan syariat Islam.

Bersama para Salafus Shalih dan Para Imam

Tidak sedikit pemuda yang ghirahnya tinggi terhadap Islam mencoba menafsirkan sendiri ayat-ayat tentang tahkim, seperti Al Maidah ayat 44, 45, dan 47, di atas. Padahal sungguh berbahaya menafsiri Al Quran dengan akal pikiran sendiri, tanpa merujuk pandangan para ulama salaf (mutaqaddimin) atau pun khalaf (muta’akhirin), yang mu’tabar. Bukannya kita melarang-larang umat ini menafsiri kitab suci mereka, namun setiap bidang ada ahlinya. Potensi tergelincir lebih besar dibanding mendapatkan kebenaran. Setiap kita memang berhak menafsirkan Al Qur’an, namun tidak setiap kita memiliki  kemampuan untuk menafsirkan secara sehat. Setiap kita berhak kuliah di ITB, UI, atau kampus ternama lainnya, tetapi tidak semuanya memiliki kemampun akademis untuk lulus kuliah ke sana bukan?  

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


من قال فى القران برأيه فليتبوأ مقعده من النار (رواه الترمذى وقال حسن)
“Barangsiapa yang menafsiri Al Quran dengan akal pikirannya semata, maka disediakan baginya kursi di neraka.” (HR. At Tirmidzi, katanya ‘hasan’ no. 4023, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya dalam tahqiqnya terhadap tafsir At Thabari)

Nah kita lihat apa kata para Salafus Shalih tentang Tafsir Surat Al Maidah ayat 44, 45, dan 47.


Pertama akan kami kutip dari tafsir Imam Ibnu Katsir.

Berkata Abdur Razzaq, telah mengabarkan kami Ma’mar dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, ia berkata: ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah Ta’ala (Barangsiapa yang tidak berhukum ...dst) dia menjawab: “Dengannya dia kufur.” Ibnu Thawus berkata: “Bukanlah seperti orang yang kafir kepada Allah, kafir kepada malaikat, kafir kepada kitab-kitabnya, kafir kepada RasulNya.”  Berkata Ats tsauri dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, bahwa dia (‘Atha) berkata: “Kekafiran di bawah kekafiran (kufrun duna kufrin), kezhaliman di bawah kezhaliman (zhulmun duna zhulmin), dan fasik di bawah kefasikan (fisqun  duna fisqin),” diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Berkata Waqi’ dari Sa’id al Makky, dari Thawus tentang ayat (barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir) dia (Thawus) berkata: “Bukan kekafiran yang membuat pindah dari agama.” Berkata Ibnu Abi Hatim, bercerita kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Yazid al Muqri, bercerita kepadaku Sufyan bin ‘Uyainah dari Hisyam bin Hujair, dari Thawus, dari Ibnu ‘Abbas, tentang firmanNya: (barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir) dia (Ibnu ‘Abbas) berkata: “Bukanlah kekafiran yang kalian tuju.”  Ini diriwayatkan oleh Al Hakim  dalam Mustadrak-nya dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah. Dia berkata ‘Shahih’ menurut syarat shahihain, tetapi mereka berdua tidak meriwayatkannya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, Juz II, hal. 61. Darul Kutub al Mishriyah)

DarI kutipan di atas jelaslah, bahwa para salafus shalih seperti Ibnu ‘Abbas, Thawus dan anaknya, ‘Atha, dan lain-lain menyebutkan bahwa kekafiran mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, bukanlah kekafiran yang membuat murtad, atau kekafiran di bawah kekafiran. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah sebagai kafir ‘amali. Namun demikian hal itu termasuk dosa besar.

Kedua, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath Thabari,   Berikut ini adalah perkataannya:

 إن الله تعالى عَمَّ بالخبر بذلك عن قومٍ كانوا بحكم الله الذي حكم به في كتابه جاحدين، فأخبر عنهم أنهم بتركهم الحكمَ، على سبيل ما تركوه، كافرون. وكذلك القولُ في كل من لم يحكم بما أنزل الله جاحدًا به، هو بالله كافر، كما قال ابن عباس، لأنه بجحوده حكم الله بعدَ علمه أنه أنزله في كتابه، نظير جحوده نبوّة نبيّه بعد علمه أنه نبيٌّ.

“Sesungguhanya Allah menyampaikan pengabaran secara umum tentang kaum  yang mengingkari hukum Allah yang disebutkan di dalam kitabNya. Lalu Allah mengabarkan tentang mereka bahwa dengan meninggalkan hukum itu mereka pun menjadi kafir. Maka demikian pula hal ini berlaku bagi siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan dengan alasan ingkar (juhud), itu adalah kafir kepada Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, kekafirannya ini dikarenakan pengingkaran (juhud) mereka terhadap hukum Allah setelah mengetahui bahwa itulah yang diturunkan di dalam kitabNya. Sama halnya dengan pengingkaran terhadap kenabian nabiNya, setelah dia mengetahui bahwa beliau adalah seorang nabi.” Sampai di sini. (Jami’ Al Bayan, 10/358. Muasasah Ar Risalah)

Dari uraian Imam Ibnu Jarir ini bisa kita ketahui bahwa kafirnya mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala adalah jika mereka melakukannya karena juhud (pengingkaran atau penolakan), padahal tahu itu dari sisi Allah Ta’ala.

Ketiga, Tafsir Imam Asy Syaukani, yakni Fathul Qadir:

. وأخرج الفريابي وسعيد بن منصور وابن المنذر وابن أبي حاتم والحاكم وصححه والبيهقي في سننه عن ابن عباس في قوله: "ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون" قال: إنه ليس بالكفر الذي يذهبون إليه وإنه ليس كفر ينقل من الملة بل دون كفره .وأخرج عبد بن حميد وابن المنذر عن عطاء بن أبي رباح في قوله: "ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون"، "هم الظالمون"، "هم الفاسقون" قال: كفر دون كفر وظلم دون ظلم، وفسق دون فسق.

“Ditakhrij oleh Al Faryabi, Sa’id bin Manshur, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al Hakim –dan dia menshahihkannya- dan Al Baihaqi dalam Sunan-nya, dari Ibnu ‘Abbas tentang firmanNya: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka merekalah orang kafir.”  Dia (Ibnu ‘Abbas) berkata, “Itu bukanlah kekafiran yang ia tuju kepadanya, dan bukan pula kekafiran yang memindahkan pelakunya dari millah, tetapi di bawah kekafirannya. Ditakhrij oleh Abdu bin Humaid dan Ibnul Mundzir dari ‘Atha bin Abi Rabah tentang firmanNya “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka merekalah orang-orang kafir, zhalim, dan fasik.” Dia (‘Atha) berkata: “Kekafiran di bawah kekafiran, kezhaliman di bawah kezhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan.” (Fathul Qadir, 2/315. Mawqi’ At Tafasir)

Apa yang diuraikan Imam As Syaukani ini mirip dengan yang paparkan oleh Imam Ibnu Katsir.

Keempat, Tafsir Imam Al Baidhawi:

فكفرهم لإِنكاره ، وظلمهم بالحكم على خلافه ، وفسقهم بالخروج عنه
           
“Kekafiran mereka karena sikap pengingkarannya, kezaliman mereka karena mereka dalam berhukum menyelisihiNya, kefasikan mereka karena mereka keluar dari hukumnya.” (Imam Al Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 2/80. Mawqi’ At Tafasir)

Jadi menurut Imam Al Baidhawi, kekafiran mereka karena sikap mereka yang mengingkari kebenaran  hukum Allah Ta’ala.

Kelima, Tafsir Imam Ar Razi:

وقال آخرون : الأوَّلُ في الْجَاحِدِ ، والثاني والثالث : في المُقِرِّ التاركِ
“Dan Berkatalah yang lainnya: yang pertama (kafir) dalam hal juhud (pengingkaran/penolakan), dan yang kedua (zalim) dan ketiga (fasik), dalam hal meninggalkan ketetapan.” (Imam Fakhruddin Ar Razi,  Mafatihul Ghaib, 6/72. Mawqi’ At Tafasir)
           
Keenam, Tafsir Ats Tsa’labi:

وقالتْ جماعة عظيمةٌ من أهل العلمِ : الآيةُ متناولة كلَّ مَنْ لم يحكُمْ بما أنزل اللَّه ، ولكنَّها في أمراء هذه الأمَّة كُفْرُ معصية؛ لا يخرجهم عن الإيمان ، وهذا تأويلٌ حسن

Segolongan besar Jamaah dari Ahli ilmu berkata: “Setiap ayat yang berisi tentang Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, tetapi dikaitkan dengan para pemimpin umat ini, maka artinya kufrun maksiat, tidak mengeluarkan mereka dari keimanan. Ta’wil ini bagus.” (Imam At Tsa’labi, Al Jawahir Al Hisan, 1/415. Mawqi’ At Tafasir)

Dikitab yang sama dikutip ucapan Al Fakhr:

قال الفَخْر : وتمسَّكت الخوارجُ بهذه الآية في التكْفِير بالذَّنْب
“Berkata Al Fakhr: Khawarij berpegang pada ayat ini dalam mengkafirkan orang yang berdosa.” (Ibid)

Jadi, memang khawarij atau yang seide dengan mereka yang selalu menjadikan ayat-ayat ini untuk mengkafirkan dan memurtadkan keadaan manusia hari ini, dari penguasa hingga orang awam, karena tidak menggunakan hukum Allah Ta’ala.

Kami kira cukuplah beberapa tafsir dari Para Imam Mufassir tentang makna surat Al Maidah ayat 44, 45, dan 47. Berikut adalah Fatwa-Fatwa Para Ulama Ahlus Sunnah tentang berhukum dengan bukan hukum Allah.

1.Fatwa Syaikh Al Albany. Beliau ditanya tentang kelakuan mantan para mujahidin Afghan, ketika pulang ke negerinya, mereka mengkafirkan penguasa di negaranya sendiri karena tidak menggunakan hukum Allah (Al Qur'an), ini terjadi karena mereka berinteraksi dengn berbagai pemikiran di sana.

Syaikh Al Albany menjawab:

Setelah menguraikan bahaya berpaling dari tafsir salaf dalam memahami Al-Qur'an dan as-Sunnah, beliau berkata :

“Sangat alami sekali bila mereka menyimpang dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari manhaj salaf shalih sebagaimana pendahulu mereka. Di antara mereka ini adalah : Kaum Khawarij dahulu maupun sekarang. Sebab pemikiran takfir (pengkafiran kaum muslimin) yang sering kami singgung sekarang ini berasal dari kesalahan memahami ayat yang sering mereka angkat, yaitu firman Allah.

"Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" (QS. Al Maidah (5) : 44).

Salah satu kejahilan orang-orang yang berdalil dengan ayat ini adalah mereka tidak memperhatikan (minimal) sejumlah nash-nash yang tercantum di dalamnya kata 'kufur', mereka artikan keluar (murtad) dari agama dan menyamakan para pelaku kekufuran itu dengan orang-orang musyrik dari kalangan Yahudi dan Nasrani... Lalu mereka menerapkan pemahaman yang keliru ini terhadap orang-orang muslim yang tidak bersalah...".

Kemudian beliau berbicara tentang tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu yang oleh Muhammad Quthb dan pengikutnya berusaha dijadikan sebagai sifat khusus bagi para khalifah Bani Umayyah! Syaikh Al Albani berkata : "Sepertinya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mendengar persis seperti yang sering kita dengar sekarang ini bahwa ada beberapa oknum yang memahami ayat ini secara zhahir saja tanpa diperinci. Maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata : 'Bukan kekufuran yang kalian pahami itu! Maksudnya bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, namun maksudnya adalah 'kufrun duna kufrin' (yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama)'.


Kemudian beliau melanjutkan : 'Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan murid beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyah selalu memperingatkan pentingnya membedakan antara 'kufur i'tiqaadi' dengan 'kufur amali'. Kalau tidak, akibatnya seorang muslim dapat terperosok ke dalam kesesatan menyempal dari kaum muslimin tanpa ia sadari sebagaimana yang telah menimpa kaum Khawarij terdahulu dan cikal bakal mereka sekarang...".

Kemudian beliau menyebutkan sejumlah persoalan yang terjadi antara beliau dengan lawan dialog beliau, beliau berkata kepada mereka : "Pertama, kalian ini tidak dapat menghukumi setiap hakim (penguasa) yang memakai undang-undang Barat yang kafir itu atau sebagian dari udang-undang itu bahwa jika ia ditanya alasannya ia akan menjawab : Memakai undang-undang Barat itu bagus dan cocok pada zaman sekarang ini, atau ia akan menjawab : Tidak boleh menerapkan Hukum Islam !.

Sekiranya para Hakim itu ditanya alasannya maka kalian tidak dapat memastikan bahwa jawaban mereka adalah "Hukum Islam sekarang ini tidak layak diterapkan!". Kalau begitu jawabannya, mereka tentunya kafir tanpa diragukan lagi. Demikian pula jika kita tujukan pertanyaan serupa kepada masyarakat umum, di antara mereka terdapat para ulama, orang shalih dan lain-lain ...? Lalu bagaimana mungkin kalian dapat menjatuhkan vonis kafir terhadap mereka hanya karena melihat hidup di bawah naungan undang-undang tersebut sama seperti mereka. Hanya saja kalian menyatakan terang-terangan bahwa mereka semua itu kafir dan murtad....."

Kemudian Syaikh Al Albani berbicara seputar masalah berhukum dengan selain hukum Allah, beliau berkata : "Kalian tidak dapat menghukumi kafir hingga ia menyatakan apa yang ada dalam hatinya, yaitu menyatakan bahwa ia tidak bersedia memakai hukum yang diturunkan Allah. Jika demikian pengakuannya barulah kalian dapat menghukuminya kafir murtad dari agama....".

Kemudian, saya (Al Albani) selalu memperingatkan mereka tentang masalah pengkafiran penguasa kaum muslimin ini bahwa anggaplah penguasa itu benar-benar kafir murtad, lalu apakah yang bisa kalian perbuat ? Orang-orang kafir itu telah menguasai negeri-negeri Islam, sedang kita di sini menghadapi musibah dijarahnya tanah Palestina oleh orang-orang Yahudi! Lalu apa yang bisa kita lakukan terhadap mereka ? Apa yang dapat kalian lakukan hingga kalian dapat menyelesaikan masalah kalian dengan para penguasa yang kalian anggap kafir itu !? Tidaklah lebih baik kalian sisihkan dulu persoalan ini dan memulai kembali dengan peletakkan asas yang di atas asas itulah pemerintahan Islam akan tegak! Yaitu 'ittiba' (mengikuti) sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di atas sunnah itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membimbing sahabat-sahabat beliau! Itulah istilah yang sering kami sebutkan dalam berbagai kesempatan seperti ini yaitu setiap jama'ah Islam wajib berusaha sungguh-sungguh menegakkan kembali hukum Islam, bukan saja di negeri Islam bahkan di seluruh dunia. Dalam mewujudkan firman Allah :

"Artinya : Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS. Ash-Shaff  (61): 9]

Dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa ayat ini kelak akan terwujud. Bagaimanakah usaha kaum muslimin mewujudkan nash Al-Qur'an tersebut ? Apakah dengan cara mengkudeta para penguasa yang telah dianggap kafir dan murtad itu ? Lalu disamping anggapan mereka yang keliru itu mereka juga tidak sanggup berbuat sesuatu ?! Jadi, bagaimana caranya ? Manakah jalannya ? Tidak syak lagi jalannya adalah jalan yang sering disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau peringatkan kepada para sahabat di setiap khutbah : "Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam!".

Seluruh kaum muslimin, terlebih orang-orang yang ingin menegakkan kembali hukum Islam, wajib memulainya dari arah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memulainya. Itulah yang sering kita simpulkan dalam dua kalimat yang sederhana ini : "Tashfiyah (pemurnian) dan Tarbiyah (Pembinaan)!" Karena kami benar-benar mengetahui kelompok-kelompok ekstrim yang hanya terfokus pada masalah pengkafiran penguasa itu mengabaikan atau lebih tepatnya tidak mau peduli dengan kaidah Tashfiyah dan Tarbiyah ini. Kemudian setelah itu tidak ada apa-apanya !

Mereka akan terus menerus menyatakan vonis kafir terhadap penguasa, kemudian yang mereka timbulkan setelah itu hanyalah fitnah (kekacauan)! Peristiwa yang terjadi belakangan ini yang sama-sama mereka ketahui mulai dari peristiwa berdarah di tanah suci (al-Haram) Makkah (Persitiwa Juhaiman di awal tahun 1980-an), kekacauan di Mesir, terbunuhnya presiden Anwar Sadat, tertumpahnya sekian banyak jiwa kaum muslimin yang tidak bersalah akibat fitnah-fitnah tersebut. Kemudian terakhir di Suriah, di Mesir sekarang ini dan di Aljazair sungguh sangat disayangkan sekali .... Kejadian-kejadian itu disebabkan mereka banyak menyelisihi nash-nash Al-Qur'an dan as-Sunnah, yang paling penting diantaranya adalah ayat :

"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (QS. Al-Ahzab (33) : 21)

Bagaimanakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memulai perjuangan dakwahnya ? "Kalian tentu mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pertama kali menawarkan dakwahnya kepada orang-orang yang menurut harapan beliau siap menerima kebenaran yang beliau sampaikan. Lalu beberapa orang menyambut dakwah beliau sebagaimana yang sudah banyak diketahui dari Sirah Nabawiyah. Kemudian dera siksa dan azab yang diderita oleh kaum muslimin di Makkah. Kemudian turunlah perintah berhijrah yang pertama (ke Habasyah) dan yang kedua (ke Madinah) serta berbagai peristiwa yang disebutkan dalam buku-buku sirah ....... Hingga akhirnya Allah mengokohkan dienul Islam di Madinah al-Munawwarah. Di saat itulah mulai terjadi pertempuran, mulailah pecah peperangan antara kaum muslimin melawan orang-orang kafir di satu sisi dan melawan orang-orang Yahudi di sisi yang lain.


Demikianlah sejarah perjuangan nabi ..... Jadi, kita harus memulai dengan mengajarkan Islam ini kepada manusia sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memulainya. Akan tetapi sekarang ini kita tidak hanya memfokuskan diri kepada masalah Tarbiyah ini. Apalagi sekarang ini sudah banyak sekali perkara-perkara bid'ah yang disusupkan ke dalam Islam yang sebenarnya tidak termasuk ajaran Islam dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban para da'i sekarang ini adalah memulai dengan pemurnian kembali ajaran Islam yang sudah tercemari ini (tashfiyah)....Kemudian perkara kedua adalah proses Tasfiyah ini harus dibarengi dengan proses Tarbiyah, yaitu membina generasi muda muslim dibawah bimbingan Islam yang murni tadi.

Apabila kita pelajari jama'ah-jama'ah Islam yang ada sekarang ini yang didirikan hampir seabad yang lalu, niscaya kita dapati banyak diantara para pengikutnya tidak mendapatkan faedah apa-apa. Meskipun gaung dan gembar-gembornya mereka ingin mendirikan negara Islam. Mereka telah menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah dengan dalih tersebut tanpa mendapatkan faedah apa-apa darinya ! Sampai sekarang masih sering kita dengar banyak diantara mereka yang memiliki aqidah sesat, aqidah yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah serta amal-amal yang bertolak belakang dengan Al Qur'an dan As Sunnah ......

(Dikutip dari Tabloid "Al-Muslimun" 5/5/1416H edisi : 556 hal. 7. dan dari majalah "Al-Buhuts al-Islamiyah" 49/373-377)

2. fatwa Syaikh Ibnu Baz

Ketika mengomentari makalah di atas, Al’Allamah Abdul Aziz bin Baz berkata : "Sayat telah menelaah jawaban yang sarat faedah dan sangat berharga yang diutarakan oleh Shahibul Fadhilah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany wafaqahullah, diterbitkan oleh Tabloid Al-Muslimun berkenan dengan masalah pengkafiran orang yg berhukum dengan selain hukum Allah tanpa melihat perinciannya. Menurut penilaian saya jawaban tersebut sangat berharga dan sesuai dengan kebenaran serta sejalan dengan sabilil mukminin (manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah).

Dalam jawaban tersebut beliau menjelaskan bahwa siapapun tidak dibolehkan menjatuhkan vonis kafir atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah hanya sekedar perbuatan lahiriyahnya tanpa mengetahui isi hatinya apakah menghalalkan tindakannya atau tidak !? Beliau berdalil dengan tafsir Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu dan dari ulama-ulama Salaf lainnya ..." (Tabloid "Al-Muslimun" 12/5/1416H edisi : 557 hal. 7)

3. Fatwa mantan mufti Mesir, Imamul Akbar Ali ath Thanthawy rahimahullah, dalam kitabnya Fatawa Asy Syaikh Ali ath Thanthawi, Darul manarah, Jeddah. Saudi Arabia.

Ia ditanya oleh seorang alumni fakultas syariah, tentang apa hukumnya menggunakan hukum selain hukum Allah?

Jawab:

1. kata kufr terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah dipahami dengan dua makna: satu, makna 'keluar dari agama'. kedua, makna 'maksiat'.

"Jangan kalian kafir lagi setelahku, di mana sebagian kalian saling membunuh satu sama lain."


Apakah para sahabat menjadi kafir setelah kepulangan dari perang shifin dan jamal? Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa mencaci keturunan dan meratapi kematian adalah perilaku kufur. Ada lagi, demi Allah, tidak beriman seseorang bermalam dalam keadaan kenyang, sedang tetangganya kelaparan." Atau sabda lainnya: "Tidaklah beriman orang yang sedang berzina."

2. Semua lafal kufur dalam pengertian ini tidaklah mengeluarkan seseorang dari Islam kecuali menurut kalangan khawarij, walaupun itu semua termasuk perbuatan maksiat.

3. Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah, dan meyakini hukum itu lebih utama, lebih adil, dan lebih sempurna, dari pada hukum Allah, maka ia telah kafir dan keluar dari Islam. Begitupula ia jadi kafir dan keluar dari Islam jika berkeyakinan bahwa ia punya kebebasan memilih; antara pakai hukum Allah atau hukum selainNya.

4. Bila yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah, dan yakin Dialah Al Haq dan tidak bisa ditawar lagi, akan tetapi dia tidak mampu untuk mengikutinya dan lebih memilih posisi duniawinya padahal ia tahu itu berdosa, maka ia telah melakukan salah satu dari dosa-dosa besar. Bila ia mati dan belum taubat, maka ia mati dalam keadan masih punya iman, sedangkan perihal perbuatannya kita kembalikan kepada Allah; jika Allah kehendaki, Allah mengampuni karena keimanannya, jika Allah menghendaki juga,  Allah menyiksa sesuai kadar dosanya.

5. Masalah ini sudah ditulis dibanyak kitab. Yang paling bagus adalah apa yang ditulis oleh Imam Ibnul Qayyim, Madarijus Salikin juz I, hal. 336. Demikian Fatwa Syaikh Ali Ath Thanthawi. Wallahu a’lam

Semoga ini bermanfaat bagi siapa saja yang menghendaki kebaikan. Wa akhiru da’wana ‘anil hamdulillahir rabbil ‘alamin.

Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan

Apakah Indonesia Negara Kafir?


SekolahMurabbi.com - Iman Ahmad telah meriwayatkan dari Shuhaib, bahwa Rasullullah Saw bersabda .“ Di antara umat-umat sebelum kalian terdapat seorang raja yang yang memiliki seorang tukang sihir yang sudah tua. Tukang sihir tersebut berkata pada raja: ‘sesungguhnya usiaku semakin tua dan ajalku akan tiba, karena itu berikan seorang pemuda pada ku agar kuajarkan ilmu sihir.’ Maka raja itu pun menyerahkan seorang pemuda, kemudian dia diajari ilmu sihir. Di antara sang raja dan tukang sihir terdapat seorang rahib. Si pemuda mendatangi sang rahib dan mendengar ucapannya, maka dia terkagum-kagum dengan ungkapan dan gaya bahasa sang rahib.

            Suatu hari dalam perjalanannya ada seekor binatang yang mengerikan dan besar, sehingga mereka tidak dapat melewati jalan tersebut. Lalu si pemuda berkata. “pada hari ini aku mengetahui, apakah perintah si rahib yang lebih dicintai Allah atau perintah si tukang sihir’. Kemudian dia mengambil batu dan berdoa.’ Ya Allah, jika perintah si rahib lebih Engkau cintai dan ridhai daripada perintah tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini  sehingga orang-orang dapat melewati jalan.’ Sang pemuda pun melempar batu dan binatang itu mati. 


            Kemudian diceritakan kejadian tersebut kepada sang rahib, lalu rahib berkata: ’ hai anakku, engkau lebih baik daripada diriku dan engkau akan diuji, hendaklah engkau tidak mengatakan tentang ku’. Sipemuda   dapat mengobati dan menyembuhkan orang-orang yang terkena penyakit.

            Sang raja memiliki seorang pembantu yang buta, pembantu tersebut mendengar tentang pemuda ini. Maka dia pun mendatanginya dengan membawa hadiah yang sangat banyak seraya berkata: “Sembuhkanlah diriku dan engkau akan mendapatkan apa yang ada disni. Dia pun  menjawab.’ Aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, sebenarnya yang menyembuhkan itu hanya Allah yang Mahamulia dan Mahaperkasa. Jika engkau beriman kepada-Nya, maka aku akan berdoa sehingga Allah akan menyembuhkan kamu.

Maka pembantu itu pun beriman, kemudian sang pemuda pun mendoakannya, lalu Allah memberikan kesembuhan kepadanya. Setelah itu si pembantu mendatangi sang raja, dia duduk didekatnya sebagaimana biasa dia lakukan. Sang raja berkata padanya’. Hai fulan siapa yang mengembalikan penglihatanmu?’. ‘Rabb-Ku,’ jawab nya. ‘ Aku,’  tanya sang raja tersebut. Si pembantu menjawab  ‘ Tidak, Rabb-Ku dan Rabb-Mu’. ‘Apakah engakau mempunyai Rabb selain diriku?’ tanya sang raja. Dia pun menjawab: ’ Rabb-Ku dan Rabb-Mu adalah Allah’.

Kemudian si pembantu di siksa terus-menerus sehingga akhirnya dia memberitahu tentang sang pemuda, sang pemuda pun di bawa menghadap raja. Sang raja berkata,’ Telah sampai padaku bahwa sihirmu dapat mengobati dan menyembuhkan segala macam penyakit’. Sang pemuda menjawab: aku tidak dapat menyembuhkan penyakit hanya tuhan saja yang dapat menyembuhka penyakit’.  Sang raja berkata ‘Aku!’. Pemuda menjawab: ‘Tidak!’. Sang raja bertanya lagi:’ Apakah ada rabb selainku’. Dia menjawab:’ Rabb-Ku dan Rabb-Mu adalah Allah’.

Maka disiksanya pemuda tersebut, hingga dia memberi tahu tentang sang rahib, lalu sang rahib di bawa menghadap raja. Diperintahnya sang rahib untuk meninggalkan agamanya. Tetapi rahib itu menolak melakukannya. Maka raja membunuh sang rahib dengan cara menggergaji di tengah-tengah kepalanya sehingga badanya terbelah menjadi dua. Lalu dia perintahkan pembantu yang buta tadi untuk meninggalkan agamanya, namun si pembantu menolaknya , sehingga dia di gergaji di tengah-tengah kepalanya hingga badannya juga terbela menjadi dua. Kemudian raja berkata pada pemuda tadi “ tinggalkan agamamu.” Namun pemuda itu tetap menolak.

Raja mengutus pengawalnya untuk membawa sang pemuda ke sebuah gunung, seraya berkata: “Jika kalian telah sampai dipuncak, bila dia mau meninggalkan agamanya maka biarkanlah dia, namun bila tidak mau maka gulingkanlah dia. Pada saat mencapai puncak gunung, pemuda itu berdoa:”Ya Allah. Selamatkanlah aku sesuai kehendak-Mu’. Kemudian gunung itu pun berguncang, hingga akhirnya mereka semua terguling. Sang pemuda tadi selamat dan mendatangi sang raja. Raja bertanya :’ Apakah yang telah terjadi pada orang-oarang yang mengawalmu?’ Dia menjawab:’ Allah telah menyelamatkan diriku dari mereka’.

Selanjutnya raja mengutus lagi pengawalnya dan berkata: ‘jika kalian telah sampai di tengah lautan, bila dia mau meninggalkan agamanya maka biarkanlah dia, namun bila tidak mau maka tengelamkan dia. Pada saat mereka ditengah lautan, pemuda itu berdoa:”Ya Allah. Selamatkanlah aku sesuai kehendak-Mu’. Maka mereka pun semua tengelam. Pemuda ini kembali lagi kepada raja. Raja bertanya lagi :’ Apakah yang telah terjadi pada orang-oarang yang mengawalmu?’ Dia menjawab:’ Allah telah menyelamatkan diriku dari mereka’. Selanjutnya pemuda itu berkata: sesungguhya engkau tidak dapat membunuhku, sebelum engkau melakukan apa yang aku katakan. Raja pun bertanya: ‘apakah it?’ si pemuda engkau harus mengumpulkan orang-oarang di tanah lapang, lalu engkau mengikat diriku di batang pohon, lalu ambil panah miliku, kemudian ucapakanlah:’ Dengan menyebut nama Allah, Rabb pemuda itu’. Jika engkau melakukan hal tersebut, maka engkau baru bisa membunuh ku.

Kemudian raja pun melakukan hal sebut. Anak panah meluncur mengenai pelipis pemuda tersebut dan dia pun wafat. Maka orang-orang yang menyaksikan hal tersebut pun berkata:’ Kami beriman kepada Rabb pemuda itu. Bagaimana pendapatmu setelah melihat apa yang engkau hindari selama ini?. Demi Allah, sesungguhnya  hal itu telah terjadi. Semua orang telah beriman kepada Allah.

Sang raja yang murka kepada orang-orang yang telah beriman dan diperintahkannya para prajuritnya untuk mengali parit-parit dan menyalakan api di dalamnya, seraya berkata :’ barang saiapa yang mau meniggalkan agamanya, maka biarkan lah mereka tetap hidup dan jika tidak maka lemparkanlah mereka dalam parit tersebut”. Orang-orang beriman tersebut saling tarik menarik dan dorong-mendorong hingga akhirnya datang seorang wanita dengan mengendong bayinya yang masih disusuinya, dia pun merasa takut terperosok ke dalam api. Maka bayi dalam gendonganya berkata: ‘ wahai ibuku bersabarlah, sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran. Orang-orang yang tetap pada keimanannya dibakar dalam parit tersebut

Sumber. Tafsir surat Al-buruj. Ibnu Katsir jus 30.

Kisah Ashabul Ukhdud

SekolahMurabbi.com -




Allah Swt. berfirman,
“Jadikan sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang- orang yang khusyuk. (Yaitu) orang- orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan akan kembali kepadaNya.” (QS. Al-Baqarah: 45-46)

Kenapa kita masih berat meluangkan waktu untuk salat? Pada dasarnya ada dua hal yang menyebabkan hal tersebut, yaitu:
1. Kecintaan terhadap dunia
Seseorang yang terlalu mencintai dunia akan membuatnya terlena menggapai semua kesenangan dunia sehingga tidak memiliki waktu untuk melakukan salat. Bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa salat penggangu dan penghalang mereka menggapai kesuksesan tersebut.
Mereka dipenuhi angan-angan dan kesenangan dunia yang membuat mereka lalai melakukan salat. Mereka lebih takut kehilangan waktu bekerja daripada melakukan kewajibannya kepada Tuhan. Mereka lebih takut kemarahan atasan mereka dari pada azab Tuhan. Mereka lebih memilih kesenangan dunia yang semu daripada kesenangan akhirat yang lebih sejati. Padahal kita hanya perlu waktu sekitar 10 menit untuk melakukan salat. Namun kenapa masih berat melakukannya. Firman Allah, 

“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah  dunia memperdaya kamu dan sekali- kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdaya kamu tentang Allah.”(QS. al-Faathir: 5)
2. Pahala dan azab yang tidak langsung diterima
Sebagian dari kita mungkin ragu dengan janji-janji Allah. Mereka kurang percaya dengan ganjaran dan azab yang akan diperoleh bagi mereka yang lalai bahkan meninggalkan salat. Mereka melihat banyak diantara mereka yang memperoleh kebahagian dunia tanpa melakukan salat. Sehingga mereka ragu dan berani lalai bahkan meninggalkan sholat.
Mereka yang bahagia di dunia tapi lalai melakukan salat tidak menyadari bahwa kebahagian itu merupakan cobaan bagi mereka. Mereka tampak bahagia tapi hati mereka kosong dan hampa. Jika Allah bekehendak Dia bisa dalam sekejap mengambil semua dari mereka.
Janji Allah pahala dan siksa memang tidak langsung kita terima. Akan tetapi rasakanlah kenikmatan, kedamaian, ketenangan, dan keberkahan serta kemudahan menjalani hidup yang merupakan nikmat yang luar biasa dengan menjadikan sholat sebagai kebutuhan kita. Dan percayalah janji Allah pasti akan datang secepatnya.Firman Allah, 
“Orang-orang yang memelihara sholatnya. Mereka itulah orang- orang yang akan mewarisi. (Yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al- Mu'minun: 9-11)

@siti
By.

Kenapa Salat Begitu Berat?

Diam dan Jagalah Lidahmu

“ jika kau ingin hidup dengan cara yang membuat agamamu terjaga dan bagianmu terpenuhi dan martabatmu terpelihara, Jagalah Lidahmu,  dan jangan pernah menyebut-nyebut kesalahan orang lain karena ingat bahwa kau, kau sendiri, punya kesalahan dan orang lain punya lidah” (Ahmat Zarruq)”


            Lidah merupakan salah satu otot rangka yang berada dalam rongga mulut. Lidah juga salah satu nikmat yang dikaruniakan Allah pada setiap hambanya. Melalui lidah setiap kata-kata keluar, setiap kata yang keluar dari mulut itu bisa berupa nasehat atau perkataan yang keji sadar maupun tidak.

            Dari kata Ahmat Zarruq diatas “Jagalah Lidahmu” yang menjadi pertanyaan kenapa beliau menyuruh untuk menjaga lidah?  Karena disaat lisan tak lagi mampu untuk berkata hal-hal yang baik maka akan banyak hal buruk yang akan keluar dari lisan kita. Maka disinilah kata “Jagalah Lidahmu” berfungsi. Karena disaat kita tidak mampu menjaga lidah kita maka akan banyak bahaya yang timbul  pada diri sendiri maupun orang lain.
            Ketahuilah bahwa bahaya lidah itu sangat besar dan tidak ada orang selamat darinya kecuali dengan diam. perkataan terbagi dalam 4 bagian pertama perkataan yang berbahaya sepenuhnya, ke dua mengandung mengandung bahaya dan mafaat maka dalam dua bagian perkataan ini kita harus diam. ketiga tidak mengandung bahaya dan mafaat maka bila kita melakukan hal ini maka kita akan banyak menyia-nyiakan waktu dan merupa sebuah kerugian, ke empat bermanfaat sepenuhnya, jadi setiap kata-kata yang keluar dari lidah kita adalah kata-kata yang bermanfaat, jika tidak bermafaat maka diam lebih utama.

Mengapa diam lebih utama? karena banyak hal yang berbahaya yang akan keluar dari lidah kita, seperti  ghibah, berkata keji, dusta, atau akan terjadinya perdebatan. Dalam rutinitas sehari-hari  banyak kita jumpai orang-orang disekitar atau bahhkan kita sendiri tanpa sengaja mencela atau membicarakan kesalahan saudara kita dengan nada yang sinis, seakan-akan kesalahan itu tidak akan pernah terjadi pada kita, apakah kita dapat menjamin kesalahan itu tidak akan menimpa kita? Bagaimana perasaan kita jika hal itu menimpa kita, tidakkah kita akan sakit hati dan tertekan. Ingatlah kita juga memiliki kesalahan dan orang lain juga punya lidah membicarakan kesalahan kita. Jika kita menutupi aib saudara kita maka Allah juga akan menutupi aib kita.


Referensi:
Tazkiyatun Nafs, Said Hawwa
Satu Tiket Ke Surga, Zabrina A.B

DIAM dan

Oleh: Burhan Shadiq


SekolahMurabbi.com -  Polemik soal syiah menyeruak lagi. Kali ini menyoal seorang tokoh yang memang sudah lama terindikasi syiah. Tapi karena sang tokoh nampak humanis dan sangat humble, maka ke-syiah-annya menjadi diterima.

“Dia syiah, tapi dia baik sama saya.” Kalimat ini akan menjadi sihir yang luar biasa, kalau diucapkan seorang selebriti islami.

Memang bicara syiah hari ini di negeri ini sangat dilema. Satu sisi umat harus tahu bahaya syiah. Tapi di sisi lain banyak pula Sunni yang membela syiah.

Di satu sisi, banyak akademisi sudah mencoba membongkar ancaman syiah. Tapi di sisi lain, banyak Sunni yang hidup di ketiak tokoh syiah. Sehingga indikator ummat menjadi susah. Dia syiah, bahaya. Tapi di sisi lain banyak tokoh Sunni mengagumi mereka.

Sebenarnya sederhana. Kita hanya butuh furqon. Alat pembeda yang tegas. Jika seseorang syiah, berarti kita harus menyikapi tegas.

Akan menjadi dilema, jika orang Sunni sudah mulai merasa kepotangan budi sama orang syiah. Dia susah bersikap pada akhirnya.

Jika orang Sunninya orang biasa, saya pikir tidak masalah. Tapi jika orang sunninya tokoh panutan, maka bahaya sikap lunaknya terhadap syiah ini. Dia merasa benar dengan sikap lunak terhadap syiah. Lalu pada akhirnya susah diberitahu bahwa orang yang dikagumi itu seorang syiah.

Sebaik apapun seseorang, jika dia syiah, maka perlu ada catatan khusus, syiah yang seperti apa, bagaimana pemikirannya dan lain-lain. Kita jadi terbelalak. Karena tokoh-tokoh panutan yang “okay” selama ini ternyata beberapanya tidak bsia bersikap tegas kepada syiah.

Ibaratnya kita mengatakan, “Mas itu singa loh.” Tapi karena dia sudah lama diberi makan Singa maka dia bilang, “Tapi dia singa yang baik kok. Dia kasih makan saya.”

Humanis, ramah dan baik hati, menjadi sebuah alat yang menyusahkan bagi seorang Sunni menyikapi syiah. Ahlus Sunnah sebaiknya belajar dari Yaman. syiah yang lembut, pada akhirnya bisa menghisap leher leher mereka.

Saya tidak sedang menebar kebencian. Karena memang sikap tegas harus kita miliki. Sejarah sudah cukup sebagai bukti. Sudah banyak ulama ulama Indonesia yang berdiri di bagian depan melawan syiah.

Dan perang dingin sudah dimulai. Bentrok horizontal juga sudah terjadi. Tokoh tokohnya juga sudah dipetakan secara jelas. Siapa syiah di negeri ini sudah rada gamblang.

Artinya kita tahu seseorang itu syiah tidak perlu menunggu dia deklarasi dia syiah. Penelitian ahli dan diamnya mereka soal tuduhan sudah jadi bukti syiahnya mereka. Sebab syiah itu bukan seperti liberalis yang bangga menyebutkan identitasnya. Mereka memiliki konsep taqiyyah yang licin.

Di negeri ini setidaknya ada syiah yang pede, ada setengah syiah yang abu abu, dan ada yang ter-syiah-kan tanpa sadar. Syiah pede yang sengaja dia bilang SAYA SYIAH. Jelas tanpa tedeng aling2. Syiah abu abu adalah syiah yang masih taqiyah. Dia syiah tapi tidak mau mengaku kalau syiah. Padahal bukti sudah banyak. Sementara yang ter-syiah-kan tanpa sadar adalah yang membela syiah mati-matian padahal dia Ahlusunnah.

Kajian-kajian soal syiah sudah sangat marak. Para ustad sudah berkali-kali ceramah. Di media semacam youtube juga sudah banyak. Semua bisa diakses. Ahlusunnah Indonesia juga sudah memberi peringatan sama NKRI soal ambisi politik syiah. Tapi belum ada respon yang memuaskan.

Jika respon NKRI telat, maka gurita syiah bisa sangat berbahaya. Tokohnya sudah merajalela. Mereka sudah berhasil membuat tokoh2 ahlusunnah melunak. “Okelah ana syiah, tapi ana baik kan sama ente?” Ahlusunnah pun mengangguk.

Inilah yang sedang berjalan. Sebuah penggiringan opini. “Mending syiah tapi lembut, daripada ahlusunnah tapi kasar.”

Atau ungkapan seperti ini, “Kalau toh dia syiah, dia dah kasih banyak hal sama saya. Daripada anda ahlus sunnah sukanya nuduh.”

Kemarin di Solo, seorang Mubaligh bilang, syiah ada yang sengaja keras dan militan. Ada pula yang disetting lembut. Syiah yang militan sengaja dipasang badan jika mereka diserang. Siap dengan opini opini tajam. Sementara syiah yang lembut, disetting untuk buat opini ke massa, jangan sampai kalian memusuhi syiah. Target minimal, massa netral sama syiah.

Maka syiah lembut mensetting dirinya dengan kajian kajian kitab ahlusunnah tapi dengan penjelasan ulama syiah. Wah…

Jika Islam melawan dan mulai kritis, mereka guyur Islam dengan kalimat humanis. “Semua sayang mahluk tuhan.” Tapi jika orang kafir bantai umat Islam, mereka diam.

Jika umat Islam cerdas dan mulai puritan, mereka beri kotak dengan label aneh-aneh. Tapi jika islam pluralis saja, mereka sayang-sayangi.

Syiah berhasil tampil lembut dan nampak santun. Sementara Ahlusunnah tidak bisa sesantun dan selembut itu. Syiah masuk di lini dakwah budaya. Sementara puritan Ahlusunnah seolah-olah anti budaya.

Mending syiah tapi gelar doktor daripada Ahlussunah anti sama gelar dan kampus. This is what has happened.

Maka teman, bersiaplah kecewa jika tokoh favorit anda mendadak membela syiah mati matian. Bersikap adillah, lihatlah al haq pada hakekat al haq-nya, bukan pada tokohnya. Jika tokoh itu salah, maka jangan diikuti.

Maka mungkin kita kaget, “Loh kok sekelas dia bisa beropini gitu. Loh kok dia sama syiah gitu.” Siap siap kaget. Mungkin lama-lama terbiasa. Maka ikhwan akhwat ahlussunah. Giatkanlah lagi mengajinya, kajian-kajian manhaj. Agar kita paham siapa lawan siapa kawan.

Tidak semua yang berkilau itu keren. Sebab kilau cahaya akan membuat buta jika terlalu lama menatapnya.

Jadi sebaiknya pembinaan mulai fokus. Kajian-kajian juga mulai masuk pada tema tema manhaj. Siap-siap tarung di ranah sastra juga.

Melawan syiah ini, sudah mulai muncul aksi terbelah. Jelas melawan syiah tdak populer. Maka bergabunglah pada mereka yang konsisten terhadap manhaj Ahlussunnah. Mereka pegang manhaj ini sampai mati. Sebab ada kalanya lidah kita kelu jika bersikap terhadap syiah. Takut jika pengikut kita hilang. Suara kita berkurang. Banyaklah minta jawaban sama Ulama, jangan bergerak sendiri.

Sumber: Arrahmah.com
By.

'Guys, Hati-hati dengan Syiah'

oleh Ustadz Rappung Samuddin



SekolahMurabbi.com - Jika kebahagiaan itu ada pada harta benda, maka Qarun adalah orang yang paling bahagia. Tapi kenyataannya tidak.
Jika kebahagiaan itu terletak pada kekuasaan, maka Fir'aun menjadi raja paling bahagia. Tapi kenyataannya tidak.

Kalau kebahagiaan itu ada pada ilmu duniawi dan titel akademik, maka Haman yang paling bahagia. Tapi pada kenyataannya tidak.

Ternyata, di mata ulama dan auliya', kebahagiaan itu terletak pada sejauh mana manusia berjalan di atas petunjuk Allah dan sunnah Rasulullah shallaallahu alaihi wasallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فأسعد الخلق وأعظمهم نعيما وأعلاهم درجة أعظمهم اتباعا وموافقة له علما وعملا

“Manusia yang paling beruntung, paling agung kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah yang paling besar mutaba’ahnya (sikap ikutnya) dan kesesuaiannya dengan beliau (Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam) baik secara ilmu maupun amal". (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 4/26).

Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah bercerita tentang gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa beliau rahimahullah seringkali berkata:

«
ما يصنع أعدائي بي، إن حبسوني فحبسي خلوة، وإن نفوني فنفيي سياحة، وإن قتلوني فقتلي شهادة في سبيل الله، أنا في صدري كتاب الله وسنة نبيه».

"Apa yang diinginkan musuh-musuhku terhadapku. Jika mereka memasukkan aku ke dalam penjara, maka ia adalah khalwat (berduaan dengan Allah) bagiku. Jika mereka mengusir aku, maka pengusiran itu adalah tamasya bagiku. Dan jika mereka membunuhku, maka ia adalah syahid bagiku. Sungguh, di dalam dadaku bersemayam kitabullah dan sunnah Nabi-Nya". (Ibnul Qayyim, Al Wabil Al Shayyib, hlm. 73-74).


(Piyungan)
By.

Di Mana Letak Kebahagiaan?

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com