SekolahMurabbi.com - Assalamualaikum. ustadz afwan saya mau bertanya perihal banyaknya link group fb yang menyatakan Indonesia negara kafir, pancasila dan UUD 1945 adalah kitab kafir, demokrasi dianggap agama, nasionalis dianggap berhala, tolong penjelasannya ustad. bagaimana pandangan islam terkait hal ini? saya bingung mengapa mereka sangat keras pemahamannya bahkan sesama muslim dikafirkan, saya gak suka dengan cara mereka. suka mengkafirkan, merendahkan manusia, merasa paling benar sendiri. Kalo ditanya mengapa hidup dan mencari penghasilan di negeri ini? jawabanya kurang lebih ini buminya Allah, bukan bumi Indonesia, jd bebas dimana saya berada, justru anda itu yang tidak berhukum dg hukum Allah keluar dari bumi Allah. (dari Ismail)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal
Hamdulillah wash shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d
Masalah ini telah lama diperbincangkan banyak pakar, dan
mereka -seperti yang akan kami paparkan nanti- memiliki pandangan yang berbeda
dengan sebagian pemuda da’wah yang sangat ghirah terhadap Shahwah Islamiyah.
Namun, sayangnya, tidak sedikit para pemuda yang tergelincir dan terjerembab
dalam kubangan faham takfir, sebuah faham yang telah diwariskan oleh kaum
khawarij, sebuah sekte tertua dalam sejarah Islam.
Mereka mudah sekali mengkafirkan pemerintah secara umum dari
sebuah negeri muslim yang tidak menggunakan hukum Allah Ta’ala, tanpa melakukan
perincian. Tanpa melakukan kajian dan studi analisis yang mendalam. Kenapa
negeri-negeri itu tidak berhukum dengan hukum Allah? Apa alasannya? Apa latar
belakang hidup mereka? Rincian-rincian ini menjadi penting, sebab masing-masing
keadaan ada latar belakangnya, yang nantinya kita namakan ‘illat hukum.
Kadang para pemuda itu menisbatkan pemikirannya karena
pengaruh pemikiran sosok yang mereka kagumi, semisal Syahidul Islam Sayyid
Quthb, padahal ia berlepas diri dari itu semua. Sekali pun benar Sayyid Quthb
seperti itu, beliau –rahimahullah- memiliki alasan yang bisa dimaklumi, karena
siksaan, kezaliman, yang beliau alami hampir separuh usianya. Maka, tidak
selalu identik antara Ustadz Sayyid Quthb dengan Quthbiyah, sebagaimana tidak
selalu identik antara Imam Al ‘Asy’ari dengan golongan Asy ‘ariyah.
Adapun pemuda-pemuda ini, mereka hanya bermain pada persepsi
dari bacaan dan buku yang mereka geluti, dan tentunya ditambah kegelisahan
terhadap bungkamnya hampir seluruh umat Islam. Sehingga kecemburuan mereka
bangkit, hingga akhirnya secara membabi buta mengkafirkan para penguasa muslim,
bahkan rakyatnya, karena dianggap rakyatnya diam terhadap kezaliman penguasa.
Mereka beralasan, sesuai kaidah: Man lam yukaffir al Kaafir faqad kafara
(Barang siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia telah kafir juga).
Namun perjalanan hidup para pemuda itu masih panjang -biidznillah, mereka masih
ada waktu merenung, mengkaji, lalu menyadari hakikat sebenarnya. Matangnya
usia, pengembaraan ilmiah, interaksi dengan masyarakat, termasuk ‘ilaj alami
yang bisa mengikis faham takfir atau faham ‘cadas’ lainnya. Sudah banyak
contoh yang mengalami perubahan pemikiran seperti ini, dan tentunya para
pemuda itu, masih kita harapkan termasuk di dalamnya.
Tafsir Sesungguhnya
Biasanya yang sering dijadikan alasan oleh para pemuda
tersebut –tentu juga para tokoh panutannya- adalah surat Yusuf ayat 40 yang
berbunyi Inil hukmu illa lillah (Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah).
Ayat ini pernah digunakan oleh nenek moyang mereka (Khawarij klasik) ketika mengkafirkan
‘Ali dan Mu’awiyah, beserta mereka yang terlibat dalam peristiwa tahkim seperti
Amr bin al ‘Ash (utusan Mu’awiyah) dan Abu Musa al ‘Asy’ari (utusan ‘Ali).
Dalil mereka oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu dibantah dengan
ucapannya yang terkenal, “Kalimatul haq yuraadu bihal baathil.” (kalimat yang
benar, namun ditempatkan untuk hal yang batil)
Maunya mereka, segala hukum harus Allah Ta’ala yang
menentukan, sampai-sampai yang sifatnya rincian detilnya, termasuk perdamaian
ketika perang shifin. Tak usahlah pakai akal manusia, tak usahlah mengirim
utusan untuk berdiskusi seperti Amr bin al ‘Ash dan Abu Musa al ‘Asy’ari.
Intinya, untuk menetapkan keputusan dari sebuah perkara yang diperselisihkan
manusia, tak ada hak manusia untuk mendiskusikannya ...
Pemikiran mereka ini telah dibantah oleh Imamnya para
mufassir, shahabiyun jalil, Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu. Ketika ia
berdialog dengan kaum khawarij yang berdalil ayat di atas, Abdullah bin
‘Abbas mematahkan argumen mereka dengan telak, ia membaca ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang
yang adil di antara kamu ... “(QS. Al Maidah (5): 95)
Hujjah Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu ini mampu
menyadari ribuan kaum Khawarij, akhirnya mereka tobat menyadari kekeliruannya.
Betul dan tak ada keraguan di dalamnya bahwa hukum hanya
milik Allah Ta’ala. Namun, manusia berdiskusi untuk membuat keputusan dan
mencari solusi dari permasalahan yang belum dibahas secara khusus dalam Al
Quran (al maskut ‘anhu), selama hasil keputusannya tidak melanggar syariat,
maka itu hal yang dibenarkan pula sebagaimana surat Al Maidah ayat 95 di atas.
Namun, jika hasil keputusan itu bertentangan dengan syariat walau sesuai dengan
akal dan hawa nafsu manusia, maka wajib ditolak. Karena Syariat adalah
panglima, akal dan hawa nafsu adalah prajurit yang harus tunduk di bawah
kendali syariat.
Banyak sekali urusan manusia yang dilapangkan oleh syariat
untuk mengaturnya sendiri sesuai kebutuhan mereka. Seperti undang-undang
lalu-lintas, aturan hari libur nasional, seragam anak sekolah, peraturan
perburuhan, dan masih banyak lainnya. Ini semua tak ada nash baik dari Al Quran
dan As Sunnah tentang aturan mainnya. Karena itu apakah kafir manusia yang
membuat peraturan itu semua, karena harus ada hukumnya dari Allah Ta’ala?
Rasulullah ‘Alaihi Shallatu was Sallam bersabda:
الحلال
ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه
“Halal adalah apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, dan
haram adalah apa-apa yang Allah haramkan dalam KitabNya, dan Apa-apa yang
didiamkan, maka itu dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1780, Ibnu Majah
No. 3367, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 19175. Dihasankan Oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3367)
Adapun tentang hal yang telah ada aturannya dari Allah dan
RasulNya, baik perkara Ad Din dan dunia, maka tak ada kata tawar bagi seluruh
umat Islam, dan tak boleh ada pilihan lainnya.
Menggunakan Hukum Allah Ta’ala adalah Wajib
Ketetapan ini adalah aksiomatik (baku). Sejak awal Islam
hingga masa yang akan datang, bahwa menggunakan hukum Allah Ta’ala adalah wajib
baik bagi individu, masyarakat, atau negara. Ketetapan ini ada dalam Al Quran,
As Sunnah, Ijma’ sahabat dan kaum muslimin, serta sejarah umat ini. Tak ada
satu pun aktifis Islam yang tidak merindukan hidup indah di bawah naungan
syariah, namun sayangnya, kenyataan hari ini benar-benar membuat mereka harus
bersabar dengan kesabaran yang luar biasa.
Kita lihat kelemahan para ulama dan pejuang Islam, tak lupa
kebodohan umat menambah parah keadaan, sementara orang kafir terus menerus
membuat makar, distorsi (tasywih), dan peragu-raguan (tasykik), terhadap
perkara ini. Mereka sisipkan pemahaman sekulerisme ke dalam Islam dan berhasil
mengelabui sebagian pemuda dan pemikir muslim. Selain itu mereka juga
membendung arus kebangkitan Islam, termasuk dengan cara tangan besi kekuasaan
dan kekerasan.
Dunia rela dengan lahirnya negeri Yahudi Israel, dunia ridha
dengan lahir negeri katolik Vatikan, dunia diam dengan lahir negeri Hindu di
India, bahkan mereka tak banyak bicara degan lahir negeri sosialis, komunis,
dan kapitalis. Tetapi mereka bergerak cepat, mengatur barisan dan kekuatan, dan
melupakan permusuhan di antara mereka secara tiba-tiba, ketika lahirnya negara
Islam. Lihatlah kasus Sudan, ketika ia meresmikan negara berdasarkan
undang-undang Islam, maka PBB mengembargo dan Amerika Serikat menyerang. Ketika
HAMAS memenangkan pemilu legislatif di Palestina, tidak pakai tunggu lagi, Uni
Eropa dan AS mencabut bantuan rutinnya. Itulah pelajaran ‘keadilan’ dan
‘demokrasi’ a la mereka. Memang, Islam tidak boleh menikmati hidup. Sementara
negeri-negeri Arab diam, hanya bisa memberitakan dan menganalisa. Setelah itu,
diam.
Kewajiban Yang Pasti
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“ .... Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al
Maidah (5): 44)
“ ......Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al
Maidah (5): 45)
“ ...... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al
Maidah (5): 47)
Ayat ini, jelas-jelas menyebut gelar kafir, zalim, dan
fasik, siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah Ta’ala turunkan,
yakni Al Quran. Maka kewajibannya adalah qath’i (pasti). Namun, tidak
sedikit yang memahami bahwa ayat-ayat hanya berlaku untuk Ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani), bukan untuk Umat Islam, dengan alasan ayat-ayat ini turun
disebabkan perilaku Ahli Kitab, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Asham:
وقال الأصم : الأول والثاني : في
اليهود ، والثالث : في النصارى
Berkata Al Asham: “Yang awal dan
kedua (Kafir dan zalim) adalah tentang Yahudi, dan yang ketiga (fasik) adalah
tentang Nasrani.” (Imam Fakhruddin Ar Razi, Mafatihul Ghaib, 6/72.
Mawqi’ At Tafasir)
Berarti menurut mereka, hanya orang Yahudi dan Nasrani, yang
layak disebut kafir, zalim dan fasik, jika mereka tidak berhukum dengan hukum
Allah Ta’ala. Sedangkan bagi orang Islam yang tidak berhukum dengan hukum Allah
Ta’ala, maka tidak mengapa, karena ayat-ayat itu turun lantaran mereka.
Ini adalah pemahaman yang aneh dan lucu, dan tidak mengacu kaidah tafsir.
Para ulama telah menegaskan, al ‘Ibrah bi ‘umumil lafzhi laa
bi khushusis sabab, yang jadi pertimbangan adalah umumnya lafaz bukan karena
khususnya sebab nuzulnya ayat. Jadi, walau pun benar bahwa ayat itu turun
tentang Yahudi dan Nasrani, namun nilai moral dan hukumnya juga berlaku untuk
umat Islam, sebab Al Quran adalah pedomannya kaum muslimin.
Mudahnya adalah seperti ini. Jika ada orang memalsukan uang,
lalu ia didenda dan di penjara. Maka, supaya tidak ada lagi orang yang
memalsukan, dibuatlah peraturan, “Barang siapa yang secara sengaja memalsukan
uang, maka ia akan dihukum denda sekian, dan hukum penjara sekian.”
Lihat, nuzulnya peraturan ini karena kasus ada orang yang
memalsukan, namun peraturan itu juga berlaku untuk siapa saja yang berbuat hal
yang sama dengan pelaku awal yang menyebabkan keluar peraturan tersebut.
Dalam kitab Ad Durul Mantsur-nya Imam As Suyuthi,
bahwa Imam Ibnul Mundzir berkata, “Sebaik-baiknya kaum adalah kalian! Giliran
yang enak-enak untuk kalian namun yang pahit-pahit untuk Ahli Kitab.” Ini
sindiran Imam Ibnul Mundzir bagi mereka yang menganggap ayat-ayat ini hanya
berlaku bagi Ahli Kitab.
Dalam kitab yang sama disebutkan:
وأخرج عبد الرزاق عن سعيد بن المسيب
قال : كتب ذلك على بني إسرائيل ، فهذه الآيات لنا ولهم
Ditakhrij oleh Abdur Razzaq, dari
Said bin Al Musayyib, dia berkata: “Hal itu diwajibkan atas bani Israil, maka
ayat-ayat ini berlaku bagi kita dan mereka.” (Imam As Suyuthi, Ad Durul
Mantsur, 3/391. Mawqi’ At Tafasir)
Imam Asy Syaukani berkata dalam Fathul
Qadir-nya, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dari
Hudzaifah, bahwa ketika ayat Barangsiapa yang tidak berhukum ...dst dibacakan
disisinya, ada seorang yang berkata: sesungguhnya ayat ini untuk Bani Israil.
Maka berkatalah Hudzaifah:
فقال حذيفة: نعم الإخوة لكم بنو
إسرائيل، إن كان لكم كل حلوة ولهم كل مرة كلا، والله لتسلكن طريقهم قد الشراك.
وأخرج ابن المنذر نحوه عن ابن عباس.
Berkata Hudzaifah: “Sebaik-baiknya
saudara bagi kalian adalah Bani Israil, jika ada yang manis-manis itu buat
kalian, adapun bagi mereka yang pahit-pahit. Demi Allah, kalian benar-benar
mengikuti jalan mereka maka kalian telah bersekutu dengan mereka.”
Ditakhrij oleh Ibnul Mundzir dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas. (Imam Asy
Syaukani, Fathul Qadir, 2/315. Mawqi’ At Tafasir)
Maka, dengan uraian ini jelaslah
kewajiban bagi setiap muslim untuk menjadikan apa yang Allah Ta’ala turunkan
sebagai pedoman induk, inspirator, dan tuntunan dalam menentukan aturan
perundang-undangan, kecuali dalam perkara dunia yang memang Al Quran dan As
Sunnah tidak membahasnya secara jelas dan rinci, di sini syariat memberikan
keluasan manusia untuk berpikir sesuai kebutuhan dan kemaslahatan mereka. Itu
pun tidak boleh keluar dari koridor Al Quran dan As Sunnah. Ini sudah kami jelaskan
sebelumnya (lihat bagian: Tafsir Sesungguhnya)
Lalu, Apa Hukumnya bila tidak
bertahkim dengan Hukum Allah?
Dalam menjawab pertanyaan ini
manusia terbelah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok mutasyaddid
(keras) yang langsung mengkafirkan secara umum orang yang tidak
menggunakannya, baik individu, masyarakat, atau institusi negara. Tidak mau
melihat apakah Tanpa mau melihat latar belakang, kenapa hukum Allah Ta’ala
tidak ditegakkan? Dan tanpa mau melihat mawani’ (penghalang) yang ada pada mereka,
baik karena mereka itu Al Jahl (bodoh), ikrah (terpaksa), atau melakukan
ta’wil. Ditambah lagi mereka tidak mau tahu kemampuan umat Islam yang
terlanjur lahir di negeri muslim minus hukum Allah Ta’ala. Pokoknya kafir. Ini
merupakan virus KGB (Khawarij Gaya Baru) yang melahirkan berbagai pemberontakan
dan berbagai pemboman masa kini.
Kedua, kelompok yang mutasahil (meremehkan) tergadap
masalah ini. Bagi mereka, tidak mengapa sama sekali Umat Islam tidak berhukum
dengan hukum Allah Ta’ala, sebab ayat-ayat yang memerintahkan berhukum dengan
hukum Allah tersebut bukan untuk umat Islam, tetapi untuk Yahudi dan Nasrani
saja. Inilah salah satu inspirator lahirnya murji’ah modern, serta sekulerisme
di tubuh umat Islam, dan apatisme politik sebagian umat Islam.
Ketiga, kelompok yang mutawasith (pertengahan/moderat), inilah
Ahlus Sunnah dan inilah yang kami tempuh, termasuk dalam berbagai masalah
lainnya. Sebagaimana yang tertera dalam kitab Syarah al Aqidah al Wasithiyah Li
Syaikhil Islam ibni Taimiyah, karya Dr. Said bin Ali Wahf al Qahthany, hal. 48:
الأمة الإسلامية وسط بين الملل كما
قال تعالى (وكذالك جعلناكم أمة وسطا) , وأهل السنة وسط بين الفرق المنتسبة
للإسلام.
“Umat Islam
adalah pertengahan di antara milah-milah yang ada, sebagaimana firman Allah
Ta’ala (Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat pertengahan), dan Ahlus Sunnah
adalah pertengahan di antara kelompok-kelompok yang dinisbatkan kepada Islam.”
Bagi mereka (Ahlus Sunnah),
merinci masalah ini sangat diperlukan. Jika tahkim itu diartikan penerapan
hukum (tahkim bima’na tanfidz), maka ini adalah fasiq. Sedangkan jika tahkim
diartikan pembuatan hukum (tahkim bima’na tasyri’), maka ini adalah kafir,
sebab hak tasyri’ hanyalah milik Allah Ta’ala. Jadi, keliru jika memukul
rata secara membabi buta dan serampangan mengkafirkan seluruh umat Islam yang
tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, sebagaimana yang dipahami kelompok
mutasyaddid. Padahal di antara mereka ada tukang becak, petani, nelayan,
pelajar, mbok jamu, yang sangat awam dan tidak tahu masalah. Ada juga umat
Islam yang ingin menjalankan syariat Allah Ta’ala, namun rezim tiranik
membuatnya tidak berdaya, ada pula pemimpin yang ingin menggunakan hukum Allah,
tetapi ia belum mampu menerapkan, karena khawatir adanya pemberontakan dari
rakyatnya yang masih jahil. Ada pula pemimpin yang sudah paham dan mampu untuk
menerapkan, tetapi ia tidak juga menerapkan. Nah, ini semua memiliki
penilaiannya masing-masing.
Dan keliru pula kelompok yang
mengatakan bahwa mereka bebas sama sekali, tak ada kewajiban sama sekali untuk
menggunakan hukum Allah di muka bumi, sebagai mana pandangan kelompok
mutasahil. Sebab hati seorang muslim, walau ada iman sekedar biji sawi,
nuraninya tetap akan mengakui bahwa ia harus menjalankan syariat Islam.
Bersama para Salafus Shalih dan
Para Imam
Tidak sedikit pemuda yang ghirahnya tinggi terhadap Islam
mencoba menafsirkan sendiri ayat-ayat tentang tahkim, seperti Al Maidah ayat
44, 45, dan 47, di atas. Padahal sungguh berbahaya menafsiri Al Quran dengan
akal pikiran sendiri, tanpa merujuk pandangan para ulama salaf (mutaqaddimin)
atau pun khalaf (muta’akhirin), yang mu’tabar. Bukannya kita melarang-larang
umat ini menafsiri kitab suci mereka, namun setiap bidang ada ahlinya. Potensi
tergelincir lebih besar dibanding mendapatkan kebenaran. Setiap kita memang
berhak menafsirkan Al Qur’an, namun tidak setiap kita memiliki kemampuan
untuk menafsirkan secara sehat. Setiap kita berhak kuliah di ITB, UI, atau
kampus ternama lainnya, tetapi tidak semuanya memiliki kemampun akademis untuk
lulus kuliah ke sana bukan?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من قال فى القران برأيه فليتبوأ مقعده من النار (رواه الترمذى وقال حسن)
“Barangsiapa yang menafsiri Al Quran dengan akal pikirannya
semata, maka disediakan baginya kursi di neraka.” (HR. At Tirmidzi, katanya
‘hasan’ no. 4023, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya dalam tahqiqnya terhadap
tafsir At Thabari)
Nah kita lihat apa kata para
Salafus Shalih tentang Tafsir Surat Al Maidah ayat 44, 45, dan 47.
Pertama akan kami kutip dari tafsir Imam Ibnu Katsir.
Berkata Abdur Razzaq, telah mengabarkan kami Ma’mar dari
Ibnu Thawus, dari ayahnya, ia berkata: ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas tentang
firman Allah Ta’ala (Barangsiapa yang tidak berhukum ...dst) dia menjawab:
“Dengannya dia kufur.” Ibnu Thawus berkata: “Bukanlah seperti orang yang
kafir kepada Allah, kafir kepada malaikat, kafir kepada kitab-kitabnya, kafir
kepada RasulNya.” Berkata Ats tsauri dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, bahwa
dia (‘Atha) berkata: “Kekafiran di bawah kekafiran (kufrun duna kufrin),
kezhaliman di bawah kezhaliman (zhulmun duna zhulmin), dan fasik di bawah
kefasikan (fisqun duna fisqin),” diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Berkata
Waqi’ dari Sa’id al Makky, dari Thawus tentang ayat (barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir) dia
(Thawus) berkata: “Bukan kekafiran yang membuat pindah dari agama.” Berkata
Ibnu Abi Hatim, bercerita kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Yazid al Muqri,
bercerita kepadaku Sufyan bin ‘Uyainah dari Hisyam bin Hujair, dari Thawus,
dari Ibnu ‘Abbas, tentang firmanNya: (barangsiapa yang tidak berhukum dengan
apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir) dia (Ibnu
‘Abbas) berkata: “Bukanlah kekafiran yang kalian tuju.” Ini diriwayatkan
oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah. Dia
berkata ‘Shahih’ menurut syarat shahihain, tetapi mereka berdua tidak
meriwayatkannya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, Juz II, hal.
61. Darul Kutub al Mishriyah)
DarI kutipan di atas jelaslah, bahwa para salafus shalih
seperti Ibnu ‘Abbas, Thawus dan anaknya, ‘Atha, dan lain-lain menyebutkan bahwa
kekafiran mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, bukanlah
kekafiran yang membuat murtad, atau kekafiran di bawah kekafiran. Sebagaimana
yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah sebagai kafir ‘amali. Namun demikian
hal itu termasuk dosa besar.
Kedua, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath Thabari,
Berikut ini adalah perkataannya:
إن الله تعالى عَمَّ بالخبر بذلك عن
قومٍ كانوا بحكم الله الذي حكم به في كتابه جاحدين، فأخبر عنهم أنهم بتركهم
الحكمَ، على سبيل ما تركوه، كافرون. وكذلك القولُ في كل من لم يحكم بما أنزل الله
جاحدًا به، هو بالله كافر، كما قال ابن عباس، لأنه بجحوده حكم الله بعدَ علمه أنه
أنزله في كتابه، نظير جحوده نبوّة نبيّه بعد علمه أنه نبيٌّ.
“Sesungguhanya Allah menyampaikan pengabaran secara umum tentang
kaum yang mengingkari hukum Allah yang disebutkan di dalam kitabNya. Lalu
Allah mengabarkan tentang mereka bahwa dengan meninggalkan hukum itu mereka pun
menjadi kafir. Maka demikian pula hal ini berlaku bagi siapa saja yang tidak
berhukum dengan apa yang Allah turunkan dengan alasan ingkar (juhud),
itu adalah kafir kepada Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas,
kekafirannya ini dikarenakan pengingkaran (juhud) mereka terhadap hukum
Allah setelah mengetahui bahwa itulah yang diturunkan di dalam kitabNya. Sama
halnya dengan pengingkaran terhadap kenabian nabiNya, setelah dia mengetahui
bahwa beliau adalah seorang nabi.” Sampai di sini. (Jami’ Al Bayan, 10/358.
Muasasah Ar Risalah)
Dari uraian Imam Ibnu Jarir ini bisa kita ketahui bahwa
kafirnya mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala adalah jika
mereka melakukannya karena juhud (pengingkaran atau penolakan), padahal
tahu itu dari sisi Allah Ta’ala.
Ketiga, Tafsir Imam Asy Syaukani, yakni Fathul
Qadir:
.
وأخرج الفريابي وسعيد بن منصور وابن المنذر وابن أبي حاتم والحاكم وصححه والبيهقي
في سننه عن ابن عباس في قوله: "ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم
الكافرون" قال: إنه ليس بالكفر الذي يذهبون إليه وإنه ليس كفر ينقل من الملة
بل دون كفره .وأخرج عبد بن حميد وابن المنذر عن
عطاء بن أبي رباح في قوله: "ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم
الكافرون"، "هم الظالمون"، "هم الفاسقون" قال: كفر دون
كفر وظلم دون ظلم، وفسق دون فسق.
“Ditakhrij oleh
Al Faryabi, Sa’id bin Manshur, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al Hakim –dan
dia menshahihkannya- dan Al Baihaqi dalam Sunan-nya, dari Ibnu ‘Abbas
tentang firmanNya: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah
turunkan maka merekalah orang kafir.” Dia (Ibnu ‘Abbas) berkata, “Itu
bukanlah kekafiran yang ia tuju kepadanya, dan bukan pula kekafiran yang
memindahkan pelakunya dari millah, tetapi di bawah kekafirannya. Ditakhrij oleh
Abdu bin Humaid dan Ibnul Mundzir dari ‘Atha bin Abi Rabah tentang firmanNya
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka merekalah
orang-orang kafir, zhalim, dan fasik.” Dia (‘Atha) berkata: “Kekafiran di bawah
kekafiran, kezhaliman di bawah kezhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan.” (Fathul
Qadir, 2/315. Mawqi’ At Tafasir)
Apa yang diuraikan Imam As
Syaukani ini mirip dengan yang paparkan oleh Imam Ibnu Katsir.
Keempat, Tafsir Imam Al Baidhawi:
فكفرهم لإِنكاره ، وظلمهم بالحكم على
خلافه ، وفسقهم بالخروج عنه
“Kekafiran mereka
karena sikap pengingkarannya, kezaliman mereka karena mereka dalam berhukum
menyelisihiNya, kefasikan mereka karena mereka keluar dari hukumnya.” (Imam
Al Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 2/80. Mawqi’ At Tafasir)
Jadi menurut Imam Al Baidhawi,
kekafiran mereka karena sikap mereka yang mengingkari kebenaran hukum
Allah Ta’ala.
Kelima, Tafsir Imam Ar Razi:
وقال آخرون : الأوَّلُ في الْجَاحِدِ
، والثاني والثالث : في المُقِرِّ التاركِ
“Dan Berkatalah yang lainnya: yang
pertama (kafir) dalam hal juhud (pengingkaran/penolakan), dan yang kedua
(zalim) dan ketiga (fasik), dalam hal meninggalkan ketetapan.” (Imam
Fakhruddin Ar Razi, Mafatihul Ghaib, 6/72. Mawqi’ At Tafasir)
Keenam, Tafsir Ats Tsa’labi:
وقالتْ جماعة عظيمةٌ من أهل العلمِ :
الآيةُ متناولة كلَّ مَنْ لم يحكُمْ بما أنزل اللَّه ، ولكنَّها في أمراء هذه
الأمَّة كُفْرُ معصية؛ لا يخرجهم عن الإيمان ، وهذا تأويلٌ حسن
Segolongan besar Jamaah dari Ahli ilmu berkata: “Setiap ayat
yang berisi tentang Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah
turunkan, tetapi dikaitkan dengan para pemimpin umat ini, maka artinya kufrun
maksiat, tidak mengeluarkan mereka dari keimanan. Ta’wil ini bagus.” (Imam
At Tsa’labi, Al Jawahir Al Hisan, 1/415. Mawqi’ At Tafasir)
Dikitab yang sama dikutip ucapan Al Fakhr:
قال الفَخْر : وتمسَّكت الخوارجُ
بهذه الآية في التكْفِير بالذَّنْب
“Berkata Al Fakhr: Khawarij
berpegang pada ayat ini dalam mengkafirkan orang yang berdosa.” (Ibid)
Jadi, memang khawarij atau yang
seide dengan mereka yang selalu menjadikan ayat-ayat ini untuk mengkafirkan dan
memurtadkan keadaan manusia hari ini, dari penguasa hingga orang awam, karena
tidak menggunakan hukum Allah Ta’ala.
Kami kira cukuplah beberapa tafsir dari Para Imam Mufassir
tentang makna surat Al Maidah ayat 44, 45, dan 47. Berikut adalah Fatwa-Fatwa
Para Ulama Ahlus Sunnah tentang berhukum dengan bukan hukum Allah.
1.Fatwa Syaikh Al Albany. Beliau ditanya tentang
kelakuan mantan para mujahidin Afghan, ketika pulang ke negerinya, mereka mengkafirkan
penguasa di negaranya sendiri karena tidak menggunakan hukum Allah (Al Qur'an),
ini terjadi karena mereka berinteraksi dengn berbagai pemikiran di sana.
Syaikh Al Albany menjawab:
Setelah menguraikan bahaya berpaling dari tafsir salaf dalam
memahami Al-Qur'an dan as-Sunnah, beliau berkata :
“Sangat alami sekali bila mereka menyimpang dari al-Qur'an
dan as-Sunnah dan dari manhaj salaf shalih sebagaimana pendahulu mereka. Di
antara mereka ini adalah : Kaum Khawarij dahulu maupun sekarang. Sebab pemikiran
takfir (pengkafiran kaum muslimin) yang sering kami singgung sekarang ini
berasal dari kesalahan memahami ayat yang sering mereka angkat, yaitu firman
Allah.
"Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir"
(QS. Al Maidah (5) : 44).
Salah satu kejahilan orang-orang yang berdalil dengan ayat
ini adalah mereka tidak memperhatikan (minimal) sejumlah nash-nash yang
tercantum di dalamnya kata 'kufur', mereka artikan keluar (murtad) dari agama
dan menyamakan para pelaku kekufuran itu dengan orang-orang musyrik dari
kalangan Yahudi dan Nasrani... Lalu mereka menerapkan pemahaman yang keliru ini
terhadap orang-orang muslim yang tidak bersalah...".
Kemudian beliau berbicara tentang tafsir Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhu yang oleh Muhammad Quthb dan pengikutnya berusaha dijadikan
sebagai sifat khusus bagi para khalifah Bani Umayyah! Syaikh Al Albani berkata
: "Sepertinya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mendengar persis seperti
yang sering kita dengar sekarang ini bahwa ada beberapa oknum yang memahami
ayat ini secara zhahir saja tanpa diperinci. Maka beliau Radhiyallahu 'anhu
berkata : 'Bukan kekufuran yang kalian pahami itu! Maksudnya bukan kekufuran
yang mengeluarkan pelakunya dari agama, namun maksudnya adalah 'kufrun duna
kufrin' (yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama)'.
Kemudian beliau melanjutkan : 'Ibnu Taimiyah Rahimahullah
dan murid beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyah selalu memperingatkan pentingnya
membedakan antara 'kufur i'tiqaadi' dengan 'kufur amali'. Kalau tidak,
akibatnya seorang muslim dapat terperosok ke dalam kesesatan menyempal dari
kaum muslimin tanpa ia sadari sebagaimana yang telah menimpa kaum Khawarij
terdahulu dan cikal bakal mereka sekarang...".
Kemudian beliau menyebutkan sejumlah persoalan yang terjadi
antara beliau dengan lawan dialog beliau, beliau berkata kepada mereka :
"Pertama, kalian ini tidak dapat menghukumi setiap hakim (penguasa) yang
memakai undang-undang Barat yang kafir itu atau sebagian dari udang-undang itu
bahwa jika ia ditanya alasannya ia akan menjawab : Memakai undang-undang Barat
itu bagus dan cocok pada zaman sekarang ini, atau ia akan menjawab : Tidak
boleh menerapkan Hukum Islam !.
Sekiranya para Hakim itu ditanya alasannya maka kalian tidak
dapat memastikan bahwa jawaban mereka adalah "Hukum Islam sekarang ini
tidak layak diterapkan!". Kalau begitu jawabannya, mereka tentunya kafir
tanpa diragukan lagi. Demikian pula jika kita tujukan pertanyaan serupa
kepada masyarakat umum, di antara mereka terdapat para ulama, orang shalih dan
lain-lain ...? Lalu bagaimana mungkin kalian dapat menjatuhkan vonis kafir
terhadap mereka hanya karena melihat hidup di bawah naungan undang-undang
tersebut sama seperti mereka. Hanya saja kalian menyatakan terang-terangan
bahwa mereka semua itu kafir dan murtad....."
Kemudian Syaikh Al Albani berbicara seputar masalah berhukum
dengan selain hukum Allah, beliau berkata : "Kalian tidak dapat
menghukumi kafir hingga ia menyatakan apa yang ada dalam hatinya, yaitu
menyatakan bahwa ia tidak bersedia memakai hukum yang diturunkan Allah. Jika
demikian pengakuannya barulah kalian dapat menghukuminya kafir murtad dari agama....".
Kemudian, saya (Al Albani) selalu memperingatkan mereka
tentang masalah pengkafiran penguasa kaum muslimin ini bahwa anggaplah penguasa
itu benar-benar kafir murtad, lalu apakah yang bisa kalian perbuat ?
Orang-orang kafir itu telah menguasai negeri-negeri Islam, sedang kita di sini
menghadapi musibah dijarahnya tanah Palestina oleh orang-orang Yahudi! Lalu apa
yang bisa kita lakukan terhadap mereka ? Apa yang dapat kalian lakukan hingga
kalian dapat menyelesaikan masalah kalian dengan para penguasa yang kalian
anggap kafir itu !? Tidaklah lebih baik kalian sisihkan dulu persoalan ini dan
memulai kembali dengan peletakkan asas yang di atas asas itulah pemerintahan
Islam akan tegak! Yaitu 'ittiba' (mengikuti) sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, di atas sunnah itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam membimbing sahabat-sahabat beliau! Itulah istilah yang sering kami
sebutkan dalam berbagai kesempatan seperti ini yaitu setiap jama'ah Islam wajib
berusaha sungguh-sungguh menegakkan kembali hukum Islam, bukan saja di negeri
Islam bahkan di seluruh dunia. Dalam mewujudkan firman Allah :
"Artinya : Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan
membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala
agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS. Ash-Shaff
(61): 9]
Dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa ayat ini kelak
akan terwujud. Bagaimanakah usaha kaum muslimin mewujudkan nash Al-Qur'an
tersebut ? Apakah dengan cara mengkudeta para penguasa yang telah dianggap
kafir dan murtad itu ? Lalu disamping anggapan mereka yang keliru itu mereka
juga tidak sanggup berbuat sesuatu ?! Jadi, bagaimana caranya ? Manakah
jalannya ? Tidak syak lagi jalannya adalah jalan yang sering disebut oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau peringatkan kepada para
sahabat di setiap khutbah : "Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam!".
Seluruh kaum muslimin, terlebih orang-orang yang ingin
menegakkan kembali hukum Islam, wajib memulainya dari arah Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memulainya. Itulah yang sering kita simpulkan
dalam dua kalimat yang sederhana ini : "Tashfiyah (pemurnian) dan Tarbiyah
(Pembinaan)!" Karena kami benar-benar mengetahui kelompok-kelompok ekstrim
yang hanya terfokus pada masalah pengkafiran penguasa itu mengabaikan atau
lebih tepatnya tidak mau peduli dengan kaidah Tashfiyah dan Tarbiyah ini.
Kemudian setelah itu tidak ada apa-apanya !
Mereka akan terus menerus menyatakan vonis kafir terhadap
penguasa, kemudian yang mereka timbulkan setelah itu hanyalah fitnah
(kekacauan)! Peristiwa yang terjadi belakangan ini yang sama-sama mereka
ketahui mulai dari peristiwa berdarah di tanah suci (al-Haram) Makkah
(Persitiwa Juhaiman di awal tahun 1980-an), kekacauan di Mesir, terbunuhnya
presiden Anwar Sadat, tertumpahnya sekian banyak jiwa kaum muslimin yang tidak
bersalah akibat fitnah-fitnah tersebut. Kemudian terakhir di Suriah, di Mesir
sekarang ini dan di Aljazair sungguh sangat disayangkan sekali ....
Kejadian-kejadian itu disebabkan mereka banyak menyelisihi nash-nash Al-Qur'an
dan as-Sunnah, yang paling penting diantaranya adalah ayat :
"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah"
(QS. Al-Ahzab (33) : 21)
Bagaimanakah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
memulai perjuangan dakwahnya ? "Kalian tentu mengetahui bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pertama kali menawarkan dakwahnya kepada
orang-orang yang menurut harapan beliau siap menerima kebenaran yang beliau
sampaikan. Lalu beberapa orang menyambut dakwah beliau sebagaimana yang sudah
banyak diketahui dari Sirah Nabawiyah. Kemudian dera siksa dan azab yang
diderita oleh kaum muslimin di Makkah. Kemudian turunlah perintah berhijrah
yang pertama (ke Habasyah) dan yang kedua (ke Madinah) serta berbagai peristiwa
yang disebutkan dalam buku-buku sirah ....... Hingga akhirnya Allah mengokohkan
dienul Islam di Madinah al-Munawwarah. Di saat itulah mulai terjadi
pertempuran, mulailah pecah peperangan antara kaum muslimin melawan orang-orang
kafir di satu sisi dan melawan orang-orang Yahudi di sisi yang lain.
Demikianlah sejarah perjuangan nabi ..... Jadi, kita harus
memulai dengan mengajarkan Islam ini kepada manusia sebagaimana Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memulainya. Akan tetapi sekarang ini kita tidak
hanya memfokuskan diri kepada masalah Tarbiyah ini. Apalagi sekarang ini sudah
banyak sekali perkara-perkara bid'ah yang disusupkan ke dalam Islam yang
sebenarnya tidak termasuk ajaran Islam dan tidak ada hubungannya sama sekali
dengan Islam. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban para da'i sekarang ini adalah
memulai dengan pemurnian kembali ajaran Islam yang sudah tercemari ini
(tashfiyah)....Kemudian perkara kedua adalah proses Tasfiyah ini harus
dibarengi dengan proses Tarbiyah, yaitu membina generasi muda muslim dibawah
bimbingan Islam yang murni tadi.
Apabila kita pelajari jama'ah-jama'ah Islam yang ada
sekarang ini yang didirikan hampir seabad yang lalu, niscaya kita dapati banyak
diantara para pengikutnya tidak mendapatkan faedah apa-apa. Meskipun gaung dan
gembar-gembornya mereka ingin mendirikan negara Islam. Mereka telah menumpahkan
darah orang-orang yang tidak bersalah dengan dalih tersebut tanpa mendapatkan
faedah apa-apa darinya ! Sampai sekarang masih sering kita dengar banyak
diantara mereka yang memiliki aqidah sesat, aqidah yang menyelisihi Al Qur'an
dan As Sunnah serta amal-amal yang bertolak belakang dengan Al Qur'an dan As
Sunnah ......
(Dikutip dari Tabloid "Al-Muslimun" 5/5/1416H
edisi : 556 hal. 7. dan dari majalah "Al-Buhuts al-Islamiyah"
49/373-377)
2. fatwa Syaikh Ibnu Baz
Ketika mengomentari makalah di atas, Al’Allamah Abdul Aziz
bin Baz berkata : "Sayat telah menelaah jawaban yang sarat faedah dan
sangat berharga yang diutarakan oleh Shahibul Fadhilah Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albany wafaqahullah, diterbitkan oleh Tabloid Al-Muslimun berkenan
dengan masalah pengkafiran orang yg berhukum dengan selain hukum Allah tanpa
melihat perinciannya. Menurut penilaian saya jawaban tersebut sangat berharga
dan sesuai dengan kebenaran serta sejalan dengan sabilil mukminin (manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama'ah).
Dalam jawaban tersebut beliau menjelaskan bahwa siapapun
tidak dibolehkan menjatuhkan vonis kafir atas orang yang berhukum dengan selain
hukum Allah hanya sekedar perbuatan lahiriyahnya tanpa mengetahui isi hatinya
apakah menghalalkan tindakannya atau tidak !? Beliau berdalil dengan tafsir
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu dan dari ulama-ulama Salaf lainnya
..." (Tabloid "Al-Muslimun" 12/5/1416H edisi : 557 hal. 7)
3. Fatwa mantan mufti Mesir, Imamul Akbar Ali ath
Thanthawy rahimahullah, dalam kitabnya Fatawa Asy Syaikh Ali ath
Thanthawi, Darul manarah, Jeddah. Saudi Arabia.
Ia ditanya oleh seorang alumni fakultas syariah, tentang apa
hukumnya menggunakan hukum selain hukum Allah?
Jawab:
1. kata kufr terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah dipahami
dengan dua makna: satu, makna 'keluar dari agama'. kedua, makna 'maksiat'.
"Jangan kalian kafir lagi setelahku, di mana sebagian
kalian saling membunuh satu sama lain."
Apakah para sahabat menjadi kafir setelah kepulangan dari
perang shifin dan jamal? Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa mencaci keturunan
dan meratapi kematian adalah perilaku kufur. Ada lagi, demi Allah, tidak
beriman seseorang bermalam dalam keadaan kenyang, sedang tetangganya
kelaparan." Atau sabda lainnya: "Tidaklah beriman orang yang sedang
berzina."
2. Semua lafal kufur dalam pengertian ini tidaklah
mengeluarkan seseorang dari Islam kecuali menurut kalangan khawarij, walaupun
itu semua termasuk perbuatan maksiat.
3. Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain hukum
Allah, dan meyakini hukum itu lebih utama, lebih adil, dan lebih sempurna, dari
pada hukum Allah, maka ia telah kafir dan keluar dari Islam. Begitupula ia jadi
kafir dan keluar dari Islam jika berkeyakinan bahwa ia punya kebebasan memilih;
antara pakai hukum Allah atau hukum selainNya.
4. Bila yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah, dan
yakin Dialah Al Haq dan tidak bisa ditawar lagi, akan tetapi dia tidak mampu
untuk mengikutinya dan lebih memilih posisi duniawinya padahal ia tahu itu
berdosa, maka ia telah melakukan salah satu dari dosa-dosa besar. Bila ia mati
dan belum taubat, maka ia mati dalam keadan masih punya iman, sedangkan perihal
perbuatannya kita kembalikan kepada Allah; jika Allah kehendaki, Allah
mengampuni karena keimanannya, jika Allah menghendaki juga, Allah
menyiksa sesuai kadar dosanya.
5. Masalah ini sudah ditulis dibanyak kitab. Yang paling
bagus adalah apa yang ditulis oleh Imam Ibnul Qayyim, Madarijus Salikin
juz I, hal. 336. Demikian Fatwa Syaikh Ali Ath Thanthawi. Wallahu a’lam
Semoga ini bermanfaat bagi siapa saja yang menghendaki
kebaikan. Wa akhiru da’wana ‘anil hamdulillahir rabbil ‘alamin.
Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan