/
Tampilkan postingan dengan label Diary Tarbiyyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Diary Tarbiyyah. Tampilkan semua postingan


SekolahMurabbi.com - Ada slogan yang terkenal dalam dunia sepakbola. Bunyinya: Say No To Racism, katakan tidak pada rasisme. Perang terhadap diskriminasi rasial telah mendapatkan perhatian khusus dari FIFA, badan sepakbola internasional, sejak adanya perlakuan yang tidak mengenakkan kepada pesepakbola berkulit hitam.
 
Menurut KBBI, salah satu arti rasisme atau rasialisme adalah paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul. Dalam kasus sepakbola tadi, ini diekspresikan dalam berbagai tindakan seperti melempar pisang ke pemain berkulit hitam, mengeluarkan umpatan kotor, dan mengejek dengan menirukan aksi hewan, misalnya. Pemain yang berasal dari Afrika dan Amerika Latin atau berdarah dua benua tersebut paling sering menjadi korban. Sebut saja, Emmanuel Frimpong, Raheem Sterling, Mario Balotelli, Neymar, dan Hulk.

Sejauh ini, kasus demi kasus rasisme terus terulang di lapangan hijau. Sanksi-sanksi yang diberikan komite disiplin masing-masing negara, UEFA hingga FIFA belum memberikan efek jera yang maksimal.

Sekarang mari kita beralih ke medan dakwah. Saya tidak sedang membicarakan kisah Abu Dzar dengan Bilal ibn Rabah, radhiyallahu ‘anhuma. Ini rasisme jenis lain yang agak berbeda.

Perbedaan pendapat dalam menafsirkan Alquran dan hadits Rasulullah saw. tak dapat disangkal menjadi sebab munculnya berbagai jamaah dalam Islam. Adanya berbagai jamaah ini lantas memunculkan anggapan di kalangan masing-masing bahwa jamaah A lebih unggul, lebih shahih, lebih nyunnah daripada jamaah B, C dan seterusnya. Akibatnya sangat disayangkan, ada saudara kita yang mengaku dari jamaah X, misalnya, merendahkan, melecehkan, dan menghina saudara kita yang lain yang berasal dari jamaah Y.

Ini penyakit dalam tubuh umat ini. Adanya perasaan lebih unggul dan lebih shahih itu sebenarnya tindakan rasisme dalam bentuk lain. Padahal bukankah tidak ada jaminan surga untuk jamaah A yang lebih nyunnah? Bukankah belum pasti jamaah B yang menghalalkan demokrasi akan masuk ke neraka?

Tapi hebatnya, para pendakwah seperti tak sadar-sadar. Layaknya sedang mabuk, mereka terus berkutat di kekonyolan yang sama terus-menerus. Fokus dakwah seakan telah berubah arah dari mendakwahi orang yang salah menjadi mendebati orang yang tak sependapat. Hari ini, mereka terus disibukkan berargumen pada perkara-perkara khilafiyah yang para ulama sebelumnya telah bertoleransi atas ketidaksepakatan. Lalu dengan gampangnya, mereka melukai hati saudara-saudara jamaah lain yang punya pendapat berbeda dengan cap bid’ah, sesat, dan kafir! Padahal sanksi atas perlakuan rasis seperti ini diganjar dengan hukuman terberat oleh Allah.

Oh, pendakwah macam apa ini?

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian..” (HR Bukhari Muslim)

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR Bukhari Muslim)

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)

*Kutulis untuk mengingatkan diriku sendiri
By.

Rasisme dalam Dakwah


SekolahMurabbi.com - Salah satu karakteristik dakwah adalah islamiyyah qabla jam’iyyah. Ini harus kita pahami betul demi terwujudnya keberhasilan dakwah di tengah-tengah masyarakat.

Fenomena yang berkembang di kalangan pendakwah akhir-akhir ini justru terbalik. Beberapa dari kita justru menerapkan jam’iyyah qabla islamiyyah. Saudara-saudara kita itu dengan gigih memprioritaskan berdakwah dengan hal-hal furu’ yang masih diselisihi ulama ketimbang perkara ushul. Perkara-perkara furu' itu rupanya merupakan identitas khas suatu jamaah sehingga dengan mengamalkan pendapat itu mereka terlihat beda dari jamaah lainnya. Akibat dakwah yang seperti ini, umat terbelah dalam memahami suatu hal dan menjadi ahli jidal. Di mana-mana kita dengarkan perdebatan seru tentang bid’ah atau tidaknya qunut, zikir jahr, dan maulidan. Padahal jika kita telisik lebih jauh masih sangat banyak saudara-saudara kita yang beragama Islam belum konsisten menunaikan salat Subuh, berzikir dan bersalawat.

Islamiyyah qabla jam’iyyah berarti kita, para pendakwah, lebih mendahulukan ajakan berislam daripada berjamaah. Ini artinya kita ‘mengabaikan’ (untuk sementara) khilafiyah furu’iyah sebelum pemahaman Islam tertancap kuat di dalam hati mereka. Kita tinggalkan dulu perselisihan ulama seputar qunut, yang penting umat ini mau ketika diajak salat Subuh berjamaah di mesjid. Kita lupakan sejenak beda pendapat ulama tentang harus tidaknya melafal niat puasa di malam hari, yang penting mereka tidak meninggalkan puasa wajib Ramadhan. Kita kesampingkan untuk sementara waktu haram tidaknya isbal (memanjangkan celana hingga menutupi mata kaki), yang penting mereka mau menutup aurat dengan benar.

Saudaraku sekalian, sadarlah islamiyyah qabla jam’iyyah adalah kunci persatuan umat yang sudah lama terpecah-belah ini. Bukankah ini yang kita, pendahulu-pendahulu kita, dan insyaallah para penerus kita rindukan? “Dan berpegangteguhlah kalian pada tali Allah, dan jangan bercerai-berai…”

Wahai para pendakwah, bercerminlah! Jika selama ini kautuduh Barat telah merusak kesatuan dan persatuan umat ini, kalimatmu ada benarnya. Tetapi juga tidak boleh kaulupakan strategi dakwahmu yang salah juga akan memberikan kontribusi negatif yang sama terhadap umat ini.

Akhukum fillah, Alfaqir Ilallah.
By.

Dakwah Itu Untuk Islam, Bukan Untuk Jamaah


SekolahMurabbi.com - Di sore hari di sudut mesjid, tak kusangka itulah hari pertemuan kita akan skenario Allah yang mempertemukan aku denganmu. Dengan gaya polos, lugu, dan dengan tatapan kebingungan aku duduk di depanmu, kesan pertama yang aku rasa bosan, aku berfikir apa yang sedang aku lakukan ini? Sedang apa aku disini? Dan pertemuan apa ini? Entahlah aku tak paham namun aku mengikuti saja, mendengarkan, bertanya serta tertawa bersamamu di hari itu hari pertama aku mengenalmu. Hari yang mungkin akan menjadi kisah sejarah yang begitu mengetuk ruang hatiku yang semula gelap, kering dan kosong akan cahaya keimanan.

Pertemuan demi pertemuan yang aku ikuti kudengarkan semua nasehatmu dan pertemuan demi pertemuan terasa berbeda ketika lantunan nasehatmu kau sampaikan dengan santun, memberikan motivasi untuk berubah tanpa ada unsur memaksa, begitu pandai lisanmu merangkai kata sehingga membuat aku begitu terpesona. Kau jelaskan dengan detail tentang kebaikan dan kewajiban kita untuk agama ini, lisanmu begitu pandai lagi mengukir kata-kata sehingga aku merasa tersihir dan tersadar. Kau rasuki hatiku yang semula berantakan kau tahu aku sering kali lalai akan amal yaumi yang seharusnya menjadi penyemangat kehidupan ini, kau tahu sering kali amal yaum-ku tak sampai target tapi kau memberikan suntikan semangat lagi dan lagi, kau ajarkan aku mengerti dan memahami tentang jalan kebenaran menurut islam agar aku tahu bagaimana kewajibanku sebagai seorang muslimah, Kau sering kali ceritakan kisah orang terdahulu yang berjuang dengan cucuran darah pengorbanan demi agama ini. Sungguh aku takjub dengan kisah yang kau ceritakan, aku merasa paling bahagia bisa mendengar kisah itu, kisah yang sebelumnya aku tak tahu dan tak memahaminya. Tapi kisah itu sungguh memotivasi diriku.

Perlahan demi perlahan pada setiap pertemuan kau perkenalkan aku dengan jalan dakwah, kau katakan kalau kita adalah da’i, da’i adalah orang yang kuat, kuat dari segala hal yang akan mencaci, memaki, dan bahkan melukai. Seorang  da’i juga selalu akan dipandang remeh oleh sebagian orang dan tidak dipedulikan dianggap sok suci karena nasehat yang ia sampaikan tapi orang-orang yang kembali pada Allah yang tetap istiqomah yang akan bertahan. Wajar saja karena memang jalan dakwah ini penuh duri penuh rintangan. Tahukah kau murabbiku aku orang yang begitu lemah imanku lemah aku mudah jatuh mudah terpeleset di lembah futur kadang aku merasa tidak sanggup tapi kau datang menguatkan hatiku. Karena kau bilang sampai kapan kita menunggu untuk memberantas moral anak bangsa yang mulai menurun saat ini karena ingatlah medan yang kita hadapi begitu luas, tidak ada waktu untuk kata menunggu.

Aku sering kali dihantui rasa bosan, tapi lisanmu dengan tegas terus memahami aku, meyakinkan hatiku, bahwa jika aku bosan dan ingin mundur maka Allah gantikan dengan orang yang lebih baik lagi. Aku selalu ingin kau bersitkan aku gairah semangat dakwah dan pancarkan cahaya keistiqomahan, kau ajarkan aku bertahan berada tegas dan semangat di halaqahmu, agar aku mampu meneruskan estafet dakwahmu dengan semangat dan kecintaan tentang jalan ini.

Hari ini seakan aku tersadar ternyata memang benar hidayah itu bisa datang dari mana saja, dari siapa saja, dari situasi yang bagaimana saja dan dari keadaan kita masih dalam seperti apa saja. Sekarang, tinggal bagaimana kita menyambut hidayah itu membuka pintu dan mempersilahkan dia masuk atau menutup  pintu hati rapat-rapat dan membiarkan berlalu begitu saja. Dan kamu lah kakak yang Allah pilihkan menjadi murabbiku dan melaluimu lah Allah mengetuk dan membersihkan hati ini. Terkadang hati ini masih sering sekali menolak nasihatmu namun kau selalu memberikan nasehat, nasehat dan nasehat setiap kali bertemu tanpa bosan dan jenuh kau sampaikan dengan lembut dan perlahan karena kau tahu begitu lembut hati ini. Kau rangkul aku dengan cinta dan kasih sayang karena Allah. Aku sungguh senang dipertemukan denganmu.

Sungguh aku takjub denganmu jadwal padat dan agenda yang banyak selalu saja kau bisa untuk menyempatkan waktumu disela - sela jadwalmu bahkan saat jasad tak berjumpa kau juga masih mampu memberi nasehatmu lewat telepon. Kau jaga ruhiyah ini saat jauh dengan saling mengingatkan. Aku merasa sangat bersyukur dipertemukan denganmu lewat skenario Allah yang begitu indah. Sungguh aku sangat bersyukur jasa-jasamu akan kukenang di hati ini, nasehat – nasehatmu akan kuingat selalu. Hanya kata terima kasih yang dapat aku ucapkan atas semua yang kau berikan, aku tak bisa membalas apa-apa aku hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan surga terindah-Nya untukmu. 

*Nurul Hidayanti Kurnia Sari


By.

Dari Murabbi Turun Ke Hati

 
SekolahMurabbi.comHari ini terasa begitu melelahkan buatku, beberapa hari ini memang banyak kegiatan yang lumayan menguras tenaga. Kubaringkan sejenak badanku di kasur sederhana milikku, maklumlah sekarang kondisinya lagi mengkost jadi semua harus serba sederhana. Kucoba pejamkan mata yang lelah ini, aku tahu aku sangatlah lelah menghadapi semua ini. Tapi, entah mengapa aku pun tiba-tiba menangis, pikiranku kemana-mana. Urusanku begitu banyak sekali akhir-akhir ini, urusan kuliah lah dengan segudang tugas, organisasi lah yang sedang bermasalah, BEM  FKIP lah yang belum rampung lagi karena belum di lantik oleh Pak Dekan, jadi aku seakan-akan tidak punya waktu lagi untuk diriku, jangankan istirahat, pulang pun aku jarang.


 Aku sebenarnya ingin protes dengan keadaanku sekarang, tapi aku bingung mau protes kemana? toh ini pun pilihanku. Aku yang dulu memohon-mohon kepada orang tuaku agar aku bisa kuliah. Ya, resiko orang kuliah emang banyak tugas. Aku yang mau berorganisasi membangun KSI (Kelompok Studi Islam) di prodiku, Alhamdulillah semua itu tercapai. Tapi dalam sebuah organisasi itu pasti ada saja permasalahan, maklumlah karena itu milik jamaah, yang setiap jamaah itu pemikirannya tidaklah sama satu sama lain. BEM FKIP, Alhamdulillah aku berhasil memenangkan suara pas PEMIRA FKIP oktober lalu. Ya, aku memang dicalonkan oleh organisasi siyasiku untuk maju pada PEMIRA FKIP tahun ini bersama seorang Ikhwan juga. Memang tak ku sangka ternyata kami memperoleh suara yang lumayan banyak dari calon-calon yang lain. Jadi akhir-akhir ini fokusku jadi terbagi kemana-mana. Lelah sih. Tapi itulah yang harus kujalani sekarang ini.

Aku masih saja terus merebahkan badanku, sambil memejamkan mataku. Teringat ketikaa ku masih SMA dulu. Ketika kakakku menyuruhku untuk mengikuti pengajian yang dipimpin oleh seorang Ustadzah. Aku sebenarnya tidak mau, tetapi terus saja kakakku menyuruhku untuk mengikuti pengajian tersebut. Aku pun luluh dan ku pikir tidak ada salahnya untuk mencoba. Kalau suka ya syukurlah, kalu tidak, berhenti. Alhamdulillah akhirnya sampai hari ini masih bisa berlanjut berada di dalam barisan dakwah ini.

Yang masih mampu membuatku bertahan dalam keadaan yang melelahkan sekarang ini adalah karena jamaah atau teman-temanku yang tidak pernah meninggalkankanku, selain itu juga karena ku teringat pesan-pesan dari murabbiku mulai dari aku SMA sampai kuliah sekarang, diantaranya adalah bahwa jangan pernah berniat untuk meninggalkan dakwah ini, karena dakwah ini akan selalu ada, ada meski tanpa kita. Karena pada dasarnya bukan dakwah yang membutuhkan kita, tetapi kitalah yang membutuhkan dakwah itu. Kata-kata itulah yang membuatku menjadi bersemangat lagi ditengah rasa lelah yang menggerotiku. Dan aku yakin jika kita menolong agama Allah, maka Allah pun akan menolong kita.

Aku merasa bersalah, kenapa dulu ketika awal-awal mengikuti Liqo akan begitu malas sekali. Aku biarkan murabbiku menungguku lama, aku tahu beliau pun sebenarnya orang yang sibuk, tapi beliau masih bisa menyempatkan waktu untuk bertemu dengan kami, mendengarkan curhatan kami dan memberi solusi dengan sabarnya. Aku ingat ketika aku malas berangkat liqo, aku akan menggunakan seribu alasan yang sebenarnya itu ku ada-adakan saja supaya ada alasan.  Itupun beliau tidak marah. Malah semakin ramah saja beliau kepadaku.

Jam dindingku pun berbunyi menunjukan pukul 15.00 siang, yang menandakan sebentar lagi akan shalat dzuhur, aku pun bangun dan menghapus air mataku yang tak kurasa ternyata sangatlah deras mengalir. Aku pun mengambil air wudhu untuk bersiap-siap shalat. Hampir saja aku lupa kalau hari ini ada jadwal liqo kami ba’da ashar ini. Akupun bersiap-siap untuk pergi liqo lagi dan kubulatkan niat lagi pergi liqo ini semata-mata untuk menuntut ilmu dalam rangka beribadah kepada Allah. Aku yakin bahwa niat ini sangat berpengaruh terhadap terhadap hasil yang di dapatkan nantinya. Sebagaimana dalam sebuah hadits bahwa segala sesuatu itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.

Begitulah sahabat kira-kira sekelumit urusan yang ku hadapi dalam hidup ini dalam rangka insyaallah mencapai ridha-Nya, dan aku pun yakin dengan  pesan dari murabbiku bahwa amanah itu takkan pernah salah orang, dan Allah takkan pernah memberikan sesuatu melebihi batas dan kemampuan hamba-Nya. Dan aku yakin apa yang kualami ini belum ada apa-apanya dengan yang pernah dialami ulama-ulama Muslim lainnya yang dalam berdakwah memenuhi jalan yang berliku, mereka tetap tabah, taat dan tawakal. Dan aku ingin mengucapkan terima kasih kepada murabbiku yang tidak pernah henti lelah memberiku ilmu yang sangat bermanfaat. Murabbi adalah guru, guru adalah orang tua kedua kita. Murabbi adalah guru yang paling sabar, perhatian, dan menyayangi tulus kepada kita. Karena beliau akan selalu tersenyum ketika kita datang meski kadang kita sengaja mengulur-ulurkan waktu untuk bertemu dengan beliau. Rasa kecewa karena menunggu lama akan sirna ketika mutarabbinya datang. Terima kasih para murabbiku, Semoga aku bisa mengikuti jejak langkahmu dan semoga aku bisa senantiasa istiqamah di jalan ini, dan semoga kita kelak akan bersama ketika di surga Nya bersama orang-orang yang kita sayangi.

*Nor Istiqamah

By.

Pesan Murabbiku Semangatku


SekolahMurabbi.com - Matahari telah menampakkan sinarnya sejak sekitar tujuh jam yang lalu, penunjuk jam terus berjalan hingga zuhur yang terlewati bersama nikmat dengan barisan khusyu menghadap padaNya. Saat itu suhu permukaan bumi wilayah ekuator berada di atas 300C, dengan meratanya pancaran sinar matahari yang senantiasa menghangatkan jiwa kami hingga dapat kembali melingkar bersama para pemenuh undangan Allah dalam rutinitas setiap minggu di salah satu masjid kampus terbesar di Indonesia. Satu sama lain saling berlontar salam, berjabat tangan tersirat semangat membara untuk tetap berada dalam jalan cinta Allah ini.
Catatan: Artikel ini adalah karya peserta pada lomba menulis inspiratif Sekolah Murabbi beberapa waktu lalu.
Seperti menjadi sistematika ibadah, lantunan pembacaan kalam Allah terlisankan selama menunggu kehadiran murabbi tercinta. Tak henti-hentinya untuk terus melakukan “fastabiqul khairat” agar dapat menjadi hamba Allah dan umat Rasulullah yang masuk dalam golongan orang-orang penghuni surga kelak. Dalam lingkaran penuh cinta, selalu dituntut untuk displin dan tepat waktu oleh murobbi, karena waktu seperti anak panah yang dapat melesat begitu saja tanpa kita sadari jika kita tidak dapat mengisi waktu dengan hal positif. Saya dan teman-teman selalu berusaha untuk datang lebih awal sebelum kedatangan murobbi. Kami tidak ingin membuat murobbi kamui menunggu hanya alasan kami yang datang telat karena kami masih sibuk dengan hal duniawi. Sering kali justru beliaulah yang datang lebih awal daripada saya dan teman-teman, menyambut dengan senyuman dan tatapan hangat untuk kami.


Bercerita tentang murobbi, aku selalu teringat akan semangat dakwah yang ingin dibagikan kepada kami dengan kondisi apapun. Terlihat mental dan ruhiyah yang sangat kuat tersirat dari tatapan mata nya yang ingin mengatakan “ayo bersama kita menjadi bagian dari pondasi dakwah Islam”. Sering sekali aku memperhatikan air wajahnya yang terlihat sangat lelah dengan berbagai aktivitas yang dilakukan, tapi matanya tidak menunjukkan hal serupa, mata yang penuh pancaran semangat menutupi rasa lelah nya. Suara parau dan muka memucat tidak menjadi halangan untuk membatalkan pertemuan kami, ini sangat menusuk sekali jika aku mengingatnya. Selalu aku ingat perjuangan murobbi yang tak mau kalah dengan fisik nya yang sedang melemah. Bukan berarti beliau tidak memberikan hak tubuhnya untuk beristirahat, tapi justru terlihat bahwa dalam pertemuan liqo lah beliau beristirahat bersama kami dalam aktivitas merajut hubungan vertikal dengan Sang pencipta dan horizontal kepada sesama.


Disaat hujan, terdapat rasa malas dalam diri ini. Rasa enggan untuk melangkahkan kaki dalam majelis ilmu. Tapi itu tidak dengan murobbi ku, beliau selalu mengatakan “Saudara-saudara kita di Palestina berlarian dalam menjalani aktivitas liqo nya, diserang bom bardir oleh tentara Israil, tidak seperti teman-teman disini yang dapat dengan nyaman duduk tidak merasa ketakutan dan gangguan dari pihak lawan, jadikan ini rasa syukur untuk kita dan doa untuk kemudahan mereka disana.” Selalu ada moment spesial yang aku dapatkan setiap pertemuan, kisah perjuangan para mujahid dan mujahidah dalam menegakkan agama Allah. Menyebarkan kebaikan, menyeru kepada sesama akan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin.


Ketepatan waktu dalam menghadiri pertemuan menjadi peraturan pertama yang harus disadari oleh aku dan teman-teman. Jika salah satu dari kami ada yang telat datang, dipastikan bahwa pada pertemuan di hari tersebut tidak ada materi yang disampaikan. Sebagai penggantinya, murobbi memberikan taujih, menampilkan video, atau hanya qodhoya. Disini kami belajar untuk menjadi muslim yang displin, cekatan, dan tepat waktu. Tidak hanya itu, keratifitas berfikir dalam memecahkan masalah, mencari solusi terbaik.


Belajar tidak hanya dalam sebuah ruangan. Itu merupakan kalimat yang menjadi salah satu prinsip dalam hidupku. Belajar dari berbagai hal, termasuk cerita dan pengalaman dari murobbiku. Banyak hal didapatkan dari pengalaman murobbi yang dibagikan kepada ku dan teman-teman. Berbagi cerita tentang pengalaman dakwah dalam organisasi yang menjadi bagian dari dakwah kampus. Menjadi muslimah yang prestatif, karena apapun yang kita lakukan niatkan untuk ibadah termasuk belajar, jika kegiatan belajar adalah ibadah maka menjadi muslim yang berprestasi adalah salah satu dari dakwah. Kita dapat membuktikan bahwa ilmu dan agama harus berjalan beriringan, tidak hanya ilmu saja, ataupun agama saja. Menjadi contoh yang dilihat oleh orang-orang disekitar, untuk menjaga akhlak, dan izzah dengan laki-laki.


“Inspiring people” itulah yang bisa disematkan kepada setiap murobbi di mana pun langkah kaki nya berpijak. Kehadirannya membantu setaip orang yang ingin menjajaki hidupnya dalam jalan dakwah. Dakwah bersama yang akan melahirkan kemenangan Islam sebagai Dienullah. Berjalan tidak sendiri tapi bersama mujahid lainnya. Tetap menjadi bunga matahari, memancarkan energi walau hanya sebuah nama. Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang beruntung di akhirat kelak. Aamiin.

*Amelia Fitriani
By.

Bunga Matahari

  
SekolahMurabbi.com - Saya mengenal kata tarbiyah semenjak pertama kali masuk kuliah di  Universitas Hasanuddin Makassar. Saya mengikuti kegiatan yang diadakan oleh masjid di fakultas saya, Masjid Darul Ilmi (MDI) fakultas ekonomi.  Nama kegiatannya  adalah pengembangan Karakter Religuis (PKR). Kegiatan ini diadakan khusus bagi mahasiswa baru fakultas ekonomi dan merupakan program kerja tahunan dari MDI. Kegiatannya berlangsung selama dua hari, sabtu dan minggu. Melalui kegiatan ini saya mulai mengenal banyak teman yang awalnya tidak saya kenal sebelumnya. Begitu pun dengan kakak-kakak dari fakultas ekonomi, beberapa orang sudah saya kenal. Saya merasa senang mengikuti kegiatan tersebut. Kakak-kakaknya sangat baik, bahkan sering membantu saya saat mengalami kesulitan seperti dalam hal peminjaman buku, mengajar kami apabila ada mata kuliah yang kurang di mengerti, bahkan dalam hal mencari tempat tinggal (kos-kosan) karena pada saat itu saya masih mahasiswa baru (MABA), belum tahu apa-apa tentang daerah Makassar.
Catatan: Artikel ini adalah karya peserta pada lomba menulis inspiratif Sekolah Murabbi beberapa waktu lalu.
Setelah kegiatan tersebut selesai, seluruh maba yang mengikuti kegiatan tersebut dibagi menjadi beberapa kelompok, sesuai dengan jurusannya masing-masing untuk mengikuti tarbiyah. Awalnya saya bingung, tarbiyah itu apa sih? Ternyata tarbiyah itu semacam pendidikan agama yang sifatnya informal dan tidak mengenal usia, walaupun kita sudah tua, kita tetap bisa ikut tarbiyah Saat itu kelompok tarbiyah saya berjumlah 10 orang. Kami dibagi sesuai dengan jurusan supaya mudah dalam menentukan waktu untuk tarbiyah. Setelah waktu telah ditentukan dan telah disepakati bersama oleh murobbiyah, tarbiyah pun mulai berjalan. Awalnya semua hadir tapi seiring dengan berjalannya waktu, satu per satu telah menghilang hingga akhirnya sampai sekarang tinggal 5 orang yang bertahan yaitu, saya (Nurjannah R), Nurul Fatmawati (Nakibah kami J), Nurhasanah, Marwa Sari, dan Khairunnida.

Saya mengikuti tarbiyah sudah 2 tahun. Sejak mengikuti tarbiyah, sedikit demi sedikit sudah ada perubahan, mulai dari segi pakaian, akhlak, dan dalam hal ibadah. Awalnya saya orangnya suka pakai celana, namun sekarang saya sudah berkomitmen untuk pakai rok sampai akhir hayat. Kemudian dari segi akhlak, dulu saya sering bergaul dengan laki-laki, ngumpul dengan teman untuk bergosip, namun sekarang itu sudah diminimalisir dan berusaha untuk menghindari, kalau ada waktu kosong di isi dengan hal-hal yang bermanfaat seperti mengaji, belajar, membaca dan hal positif lainnya. Selanjutnya dalam hal ibadah, Alhamdulillah sudah memiliki ibadah andalan (hehe), sudah mulai mengamalkan ibadah sunnah seperti puasa sunnah, sholat lail, sholat dhuha, jadi tidak hanya wajib saja yang dikerjakan. Semua ini saya dapatkan di tarbiyah.

Tarbiyah itu seru loh. Apalagi kalau sedang MABIT (MAlam Bina Iman dan Taqwa) dengan Murobbiyah, banyak moment-moment seru yang tidak bisa dilupakan. Kami serasa bersaudara, tidur bersama, masak-masak bersama, lalu makan bersama, pokoknya kita semua bagaikan satu keluarga, keluarga tapi tak sedarah. Apalagi baru-baru ini, kelompok tarbiyah saya digabung dengan teman-teman dari fakultas mipa 5 orang, wah makin rame plus teman baru.

Akan tetapi tidak sedikit teman-teman saya yang orang tuanya keberatan dengan perubahan pada dirinya. Contohnya saja dari segi pakaian. Ada salah satu teman saya yang berniat untuk mau memakai jilbab besar. Tapi  orangtuanya tidak setuju. Karena jilbab besar dikalangan kampung itu dipandang mainstream. Di kampus saja, banyak teman-teman saya yang takut ikut kajian islam ataupun seminar-seminar islam jika yang mengadakan kegiatan tersebut adalah komunitas jilbab besar. Setiap saya mengajak teman saya (non tarbiyah) untuk ikut kajian, misalnya kajian jumat, ada-ada saja alasan mereka untuk menghindar.

Dikalangan keluarga saya juga begitu. Mereka kaget melihat saya pakai jilbab dalam rumah, karena biasanya kalau di dalam rumah saya tidak pakai jilbab. Kalau ibu saya sih biasa saja melihat saya, tapi bapak, dia menegur saya katanya tidak usah pakai jilbab kalau dalam rumah, nanti kamu kepanasan bla bla bla. Dia juga menegur saya pakai rok, apalagi kalau saya pulang kampung dengan kakak laki-laki naik motor, saya di suruh pakai celana karena kalau pakai rok naik motor katanya bahaya. Tapi saya diam saja, kelak mereka akan tahu kenapa saya begini, toh ini juga demi kebaikan keluarga saya jika saya menjaga aurat. Ini cuma masalah kecil. Tidak sebanding dengan teman-teman lain yang katanya  sampai dicoret dari anggota keluarganya dan tidak dibiayai lagi kuliahnya karena menggunakan jilbab besar  (kata Murobbiyah saya). Apalagi di zaman Rasulullah SAW, lebih parah lagi. Ada Bilal yang di tindih batu karena mempertahankan keyakinannya, ada yang anaknya dilemparkan ke dalam air yang mendidih karena mempertahankan keyakinannya, kalau tidak salah namanya Masita. Luar biasa! Jadi tetap istiqomah. Penderitaan yang kita hadapi dalam mempertahankana keyakinan menegakkan agama Allah SWT tidak sebanding dengan yang dirasakan oleh para sahabat Rasulullah SAW.

Oleh karena itu, sangat merugilah orang-orang yang hanya menuntut ilmu dunia saja tanpa menuntut ilmu agama.  Apalagi menuntut ilmu agama itu gratis loh di kampus saya. Saya sangat bersyukur bisa menuntut ilmu di Unhas. Meskipun Unhas bukan universitas yang berlabel islam tapi masya Allah banyak organisasi dan kegiatan islami di dalamnya, jadi, tinggal kita bagaimana membangun kesadaran masing-masing, karena kalau bukan dalam diri kita untuk mau berubah, maka tidak akan berubah.

Terima kasih Murobbiyahku, telah membimbing kami dengan sabar dan ikhlas ke jalan yang diridhoi oleh Allah. Semoga Allah membalas semua jasa-jasamu dengan surga-Nya. Engkau korbankan waktu dan tenagamu demi ingin melihat kami menjadi lebih baik, ilmu yang engkau salurkan begitu bermanfaat. Terima kasih ya Rabb telah mengirimkan sosok Pembawa Cahaya dan mempertemukan kami dalam majelis ilmu. Semoga saudara muslim dan muslimah yang lain juga bisa merasakan nikmat tarbiyah.

Membumikan islam di kampus Merah. Utamakan dakwah, kuliah, berprestasi!!

*Nurjannah R
By.

Murobbiyahku “Sang Pembawa Cahaya dari Surga”


SekolahMurabbi.com - Awal mengikuti tarbiyah merupakan sesuatu hal yang sangat berat untuk kujalani. Pertama kali ikut serta, ketika aku masih menyandang mahasiswa semester 2 di salah satu universitas ternama. Di masa itu, tarbiyah dianggap momok yang paling menakutkan bagaikan monster yang siap menyesatkan siapapun ke jalan yang tidak benar. Ya, dulu Aku menyebutnya adalah aliran sesat dikarenakan cara berpakaian perempuannya sangatlah eksklusif, hingga yang terlihat dipandanganku, mereka seperti perempuan-perempuan yang menakutkan. Namun, entah sejak kapan hidayah itu datang menghampiriku, meski niat awal keikutsertaanku dikarenakan rasa ingin tahuku tingkat tinggi akan hal itu. Hingga akhirnya, keingintahuanku itu berbalik arah menyerangku dan membawaku ke jalan dimana aku semakin mengenal Allah SWT bahkan sampai detik ini aku menjadi bagian dari tarbiyah itu sendiri.
Catatan: Artikel ini adalah karya peserta pada lomba menulis inspiratif Sekolah Murabbi beberapa waktu lalu.
Kini, sudah lima tahun aku mengikuti tarbiyah. Waktu yang cukup lama bagiku untuk terus mencari ilmu keagamaan. Selama perjalanan lima tahun itu, banyak hal yang terjadi di dalam hidupku dan tentunya butuh perjuangan keras untukku agar selalu istiqomah di jalan-Nya. Ya, di masa itu aku telah mengalami yang namanya metamorfosa diri, terutama pemahaman tentang keagamaan itu sendiri. Setiap pekannya, jiwa ini diisi tentang kebenaran akan agama yang kini ku pegang teguh, mendapatkan tausiah penyejuk hati dan tentunya bertemu dengan teman-teman yang saling mencintai karena Allah SWT. Tidak hanya itu, Aku juga bertemu dengan sesosok perempuan yang sangat menginspirasi dalam hidupku. Sesosok perempuan yang setianya menemaniku dan semua temanku untuk berbagi ilmu, dan dengan relanya mengorbankan setiap waktu akhir pekannya hanya untuk bertemu kami selama kurang lebih 3 jam. Dialah Murrobiku. Dia sesosok perempuan yang sangat lembut, setiap tutur katanya mengajarkan banyak hal tentang kehidupan ini. Dia sangat sabar dalam menasehati kami. Tak ada kata lelah baginya untuk selalu berdakwah meski dia harus berjalan setiap pekannya dari rumah yang satu ke rumah yang lain.


Jika tidak bertemu dengan beliau, entah apa jadinya aku,  mungkin akan banyak dosa besar yang kulakukan atas permasalahan hidup yang selalu menimpaku. Seperti ketika itu, dimana merupakan tahun ke-4 Aku menjadi mahasiswa. Saat itu merupakan tahun yang paling kritis dikarenakan mahasiswa mulai berbondong-bondong untuk menyelesaikan studinya. Ya, termasuk Aku yang terus berusaha untuk menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Alhamdulillah semuanya berjalan dengan baik. Bayangkan akan impian gelar yang akan kuraih saat itu telah di depan mata, tentunya rasa bahagia terus menyelimutiku. Hingga akhirnya, hari itu pun tiba, hari dimana merupakan penentuan masa depanku selanjutnya. Ya, tanggal 26 Juni 2012, pelaksanaan sidang akhir ku. Masih ku ingat jelas setiap peristiwa yang terjadi di tanggal itu. Tatapan matanya yang penuh rasa marah bahkan setiap kata-katanya yang penuh hinaan terhadap diriku seolah-olah menyimpan dendam yang tidak tersampaikan. Dendam itu lah yang menghancurkan kebahagiaan yang kuimpikan dan seketika itu berubah menjadi kehancuran hidupku. Ya, dari setiap mahasiswa yang sidang di hari itu, hanya Aku yang tidak lulus ujian bahkan aku satu-satunya mahasiswa pemecah rekor jurusan dengan kategori seperti itu. Hari itu merupakan mimpi terburuk di dalam hidupku. Tetapi apa daya, ujian itu datang tanpa mengenal siapapun. Jika tidak ada keimanan di hati ini, mungkin aku sudah melakukan dosa besar dengan pernah hampir berfikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri.


Namun, hal itu tidak pernah terjadi karena di saat itu aku bersama dengan sahabat-sahabat yang mencintaiku karena Allah. Sahabat-sahabat yang mana pertemuan kami bermula dari tarbiyah, kemudian menjamur menjadi ukhuwah islamiah. Tentunya, semua itu tidak luput dari perjuangan murrobiku yang menasehati aku dalam setiap materi yang disampaikannya. Dan tidak lama dari itu, permasalahanku pun sampai kepada telinga murrobiku. Ketika itu, beliau langsung menghubungiku dan menanyakan semua hal yang terjadi padaku. Hasil akhirnya, aku hanya bisa menangis tersedu-sedu melepaskan semua penat di hatiku. Tentunya murrobiku mendengarkan semuanya tanpa ada komentar apapun. Namun, ada satu kalimat yang masih ku kenang sampai saat ini. Kalimat yang menguatkanku untuk selalu bertahan. “Semua apa yang terjadi, tidak ada yang kebetulan”. Begitulah kalimat yang disampaikan murrobiku.


Kemudian, seperti biasanya di akhir pekan, merupakan jadwal tarbiyah aku dan teman-teman. Disaat itu pula, aku menanyakan kembali apa yang telah diucapkan oleh murrabiku di hari sebelumnya. Dengan wajahnya yang teduh, beliau menjawab bahwa “setiap ujian itu semuanya sudah tertulis di kitab lauhul mahfuz, sudah ada yang ngatur dan itu bagaikan skenario kehidupan yang tidak tahu bagaimana kedepannya. Untuk saat ini bersabarlah dan suatu hari nanti Desty akan tahu, alasan dibalik Allah memberikan ujian tersebut. Allah tidak menguji hambaNya di luar batas kemampuannya”


Mendengar itu, membuatku terdiam sejenak. “Tapi mbak, Desty gak sanggup untuk melaluinya. Ini terlalu berat mbak. Bagaimana cara melaluinya. Desty merasa seperti berada di jalan buntu. Ini sungguh sulit mbak, belum lagi tatapan dosen itu. sepertinya beliau benar-benar ingin menghancurkan hidupku,” Respon ku sambil menghela napas


“Des, jangan takut. Seharusnya Desty bersyukur,” Jawab murrobiku dengan wajah yang serius.

“Kenapa bersyukur mbak?” Jawabku penuh dengan tanda tanya


“Hmm, tidak semua orang beruntung seperti Desty yang mendapatkan tarbiyah langsung dari Allah. Itu berarti Allah sangat mencintai Desty,” Jawab murrobiku dengan wajah yang tersenyum.


Akhir dari pertemuan itu pun, meninggalkan rasa penasaran di hatiku “Allah mencintaiku. Apakah ujian ini bentuk kecintaan Allah padaku.” Dan sejak pertemuan itu pula, Aku semakin berusaha untuk menyelesaikan studiku meski hari-hariku dilalui penuh dengan air mata. Hingga akhirnya dalam waktu 1 bulan dihitung dari sidang akhir pertama, Aku kembali menjalankan sidang akhir yang kedua. Untuk kesekian kalinya lagi, aku kembali menangis sampai tidak ada kata yang bisa kuucapkan. Namun, tangisku kali ini bukan untuk sebuah kesedihan, melainkan kebahagiaan yang tiada terkira. Akhirnya aku lulus ujian dan tentunya aku masih tetap menyelesaikan studiku tepat pada waktunya meski aku harus melalui sidang akhir sebanyak dua kali.


Ya, banyak hikmah yang kuambil dari kisah hidupku, bahwa Allah lah pemilik hati manusia, dengan mudahnya Allah bisa membolak-balikkan hati manusia, yang tadinya aku kira semua dosen tidak mendukungku karena kekuasaan yang dimiliki dosen yang membenciku, ternyata ketika di akhir-akhir kepasrahanku atas usaha yang telah ku lakukan dan itu semua kuserahkan kepada Allah, di saat itulah pertolongan Allah datang. Ya, tidak terduga Allah mengirim orang-orang baik bahkan tidak kusangka orang-orang tersebut adalah dosen-dosenku yang paling disegani dan dijunjung di fakultas. Tidak hanya itu, aku juga semakin yakin akan setiap kebenaran di dalam Al-Qur’an, salah satunya bahwa Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar.

*Desty Rina Purnamasari
By.

Sungguh! Hampir Saja Aku Bunuh Diri


SekolahMurabbi.com - Waktu telah menjadi kawan setia yang menghantarku ke depan pintu gerbang keimanan yang mempesona. Dahulu, saat masa jahiliyah masih membelenggu hidupku, aku tidak perduli akan apapun, apalagi jika berbicara masalah iman. Sudah melaksanakan shalat lima waktu saja aku sudah merasa bangga. Padahal jika berkaca pada masa itu, aku tidak dapat menjamin bahwa apa yang aku lakukan akan membuahkan hasil di mata-Nya
Catatan: Artikel ini adalah karya peserta pada lomba menulis inspiratif Sekolah Murabbi beberapa waktu lalu.

Saat itu kebebasan masih menjadi hal mutlak. Hal yang tidak bisa ditawar, apalagi direbut keberadaannya dariku. Tetapi apa aku bahagia dengan kebebasan itu? apa sebenarnya yang aku cari? Berbagai pertanyaan mulai menghampiri. Hingga pada akhirnya, dimensi waktu, terlebih takdir, telah membawaku sampai pada detik ini. Detik dimana aku mulai menemukan arti kebebasan yang sebenarnya. Detik, dimana aku mulai merasakan manisnya sebuah cinta dibalik jalan-Nya. 


Sabtu malam telah tiba. Kami adalah pemuda yang selalu merindukan malam ini. Membentuk sebuah lingkaran kecil di sudut negeri, untuk sekadar mengkaji kalam ilahi serta membahas masalah-masalah yang dirasa sangat mengusik hati. Kulirik wajah mereka satu persatu. Sungguh, aku merindukan wajah-wajah ini. Wajah-wajah yang memberikanku keteduhan, yang memancarkan kedamaian, serta selalu haus akan ilmu agama dari sang Murabbi.


Ya Murabbi. Sosoknya begitu familiar, berkedudukan tinggi namun tetap bersahaja. Mengapa sosok seperti itu bisa perduli terhadap orang-orang seperti aku? Justru itu yang membuatku semakin terikat ke dalam dunianya. Dunia yang penuh dengan nasehat-nasehat iman dan takwa. Malam itu juga tak kalah seru, sebuah pembahasan yang menurutku menjadi topik yang cukup bisa membuat siapa saja berfokus memasang mata, telinga dan pikiran sepenuhnya.


“Topik ini yang aku suka.” Bisik Angga.


Bibirku langsung membentuk lengkungan yang sempurna. Menyiratkan makna yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Angga adalah satu-satunya anggota yang sering mengantuk saat waktu dan keadaan mulai tidak kondusif baginya. Tetapi, jika membahas masalah yang satu ini, dia menjadi orang yang paling bersemangat dan banyak pertanyaan.


“Jodoh itu tidak perlu dipikirkan. Karena yang menjadi fokus utama kita saat ini adalah bagaimana caranya agar bisa menjadi seseorang yang sukses namun tetap menjalankan kewajiban sebagai khalifah. Apalagi harus sampai pacaran. Alih-alih menjadi solusi, pacaran bahkan menjadi tabungan dosa sampai mati.” Jelas Ustaz.


“Tetapi Ustaz, bukankah itu juga sebagian dari ikhtiar ataupun usaha kita? Sama seperti halnya rezeki, dia tidak mungkin datang sendiri bila tidak dicari.” Tanya Deni.


Ustaz tersenyum mendengar pertanyaan dari Deni. “Ikhtiar yang seperti apa yang antum maksud? Bukan ikhtiar namanya jika masih melanggar hukum Allah. Apa yang kita inginkan dari sebuah proses pacaran? Saling mengenal dengan cara berdua-duaan? Mendalami satu sama lain dengan cara berboncengan dan berpegangan tangan? Apa mungkin seorang anak SMA yang pacaran juga sudah memikirkan hingga pada tahap untuk saling mendalami dan memikirkan masa depan mereka? Pernikahan misalnya.” tanya Ustaz


Suasana hening sejenak. Kami berusaha mencerna baik-baik perkataan yang baru saja Ustaz ucapkan. Beliau memandangi wajah kami satu persatu. Senyumnya masih tetap melengkung sempurna. Terlihat ikhlas dan lembut.


“Wajah kalian tampan-tampan, kok.” Ujar Ustaz kembali. Kami saling melirik satu sama lain. “Lalu, apa yang kalian takutkan? Kalian takut kalau orang yang kalian taksir, tidak akan kalian miliki? Apakah itu cinta, atau hanya nafsu belaka?”


Kecanggungan terlihat jelas di wajah Deni, terlebih aku. Aku selalu merasa aneh setiap kali membahas cinta dan nafsu. Entah itu karena aku masih menganggapnya hal yang tabu, atau karena hal lain. Aku tidak tahu.


“Belajarlah dari kisah tauladan saidina Ali yang berusaha menjaga kerahasiaan cinta, hingga pada akhirnya ia mendapatkan jodoh yang sejak lama didamba. Seorang wanita yang cantik parasnya, kuat jiwanya, apalagi ibadahnya.. Bukan malah menjadikan kisah Romeo dan Juliet sebagai rujukan yang dianggap fenomenal.” Jelas Ustaz tertawa kecil.


“Lalu, bagaimana dengan pacaran yang islami Ustaz? Sekarang, banyak anak muda yang pacaran mengatasnamakan agama.” Tanya Angga.


“Tidak ada yang namanya pacaran islami. Itu hanya sebuah cara bagi mereka yang ingin melegalkan pacaran meskipun dengan melecehkan agama. Pacaran itu adalah pintu terbesar menuju zina. Rasul pernah bersabda, ditusuk kepala dengan besi panas itu lebih baik daripada menyentuh yang bukan mahramnya. Dari hadis ini, jelas sudah bahwa tidak ada alasan bagi siapapun untuk menghalalkan pacaran. Hmm... kalian tahu apa bedanya makan malam dengan berbuka puasa?” Tanya Ustaz.


“Buka puasa itu lebih nikmat ustaz, setelah seharian menahan lapar dan haus. Berbeda dengan makan malam yang sudah menjadi rutinitas biasa.” Jawab Deni.


“Nah, begitu pula nikmatnya menikah tanpa pacaran.” Sambung ustaz.


Kami tertawa kecil mendengar perumpamaan dari ustaz. Aku mengangguk. Batinku berkata, “Ternyata Allah masih melindungiku dari kejahatan zaman ini. Zaman di mana yang tidak pacaran dianggap kuno. Dan zaman di mana pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah tidak ada batasannya. Meskipun aku pernah mencicipi kejahiliyahan, setidaknya aku belum terjerumus dalam hubungan yang disebut pacaran.”


 “Ustaz, katanya setiap orang memiliki jodohnya masing-masing. Lalu bagaimana dengan orang yang belum menikah hingga akhir hayatnya?” Tanyaku.


Ustaz mengangguk. Dalam menjelaskan, beliau terlihat sangat berhati-hati. Diam sesaat, baru setelah itu berkata dengan pilihan kata yang tepat. “Jika itu yang terjadi, mungkin saja jodohnya tidak di dunia, melainkan ada di surga. Wallahu’alam.” Jelasnya.


Di akhir dari pertemuan itu, Ustaz memberikan kesimpulan bahwa belum tentu orang yang kau sebut namanya disepertiga malammu, yang kau sebut di dalam doa-doamu atau bahkan yang kau sebut di dalam sujud terakhirmu, adalah jodohmu. Jodoh itu adalah kembaran dari keluarga yang berbeda. Jika kamu ingin jodoh yang baik, maka perbaiki dulu dirimu. Bagaimana mungkin kau mengharapkan jodoh yang hafidzah, sementara dirimu sendiri belum menjadi hafidzh? Kini aku mengerti.


Sosok itu telah menjadi bagian penting dalam cerita perjalanan kehidupanku. Dia yang pertama kali mencengkram lenganku dari derasnya pergaulan bebas. Menyelamatkanku dari berbagai persepsi yang membuat para pemuda terbuai dalam nikmatnya lingkaran syaitan. Budaya barat mengalir begitu dahsyat, sehingga membuat siapa saja terpikat. Tetapi berkat kehadirannya, aku menjadi lebih tahu makna kehidupan di dunia yang hanya sementara. Aku jadi tahu apa tujuan yang seharusnya menjadi fokus utama. Tanpa dia, mungkin sekarang aku masih menjadi buih di lautan. Terombang-ambing dan pecah oleh deburan ombak yang menantang. Tanpa dia, mungkin saja aku masih bergumul dengan kebebasan dan kejahiliyahan yang kuanggap menyenangkan tanpa menyadari bahwa sebenarnya terdapat banyak kemudharatan yang membentang.


Ini hanya satu dari sekian banyak kisah yang telah kulalui bersamanya. Bahkan bukan hanya satu orang yang membawaku ke jalan dakwah ini, tetapi ada beberapa, datang silih berganti. Aku memilih kisah ini karena ambruknya moral pemuda-pemudi masa kini. Salah satu penyebabnya adalah pacaran yang seolah membudaya. Gerah dirasa hati melihat kelakuan mereka yang seolah tidak mengerti. Terkadang, aku hanya bisa membenci sikap mereka dalam hati, ketika tangan dan lidah tak lagi sanggup untuk mencegah. Namun bukan berarti aku yang paling baik di sini. Aku juga bukan manusia suci. Melainkan orang yang tengah memperbaiki diri.


Semoga kita terus bersemangat mengemban jalan dakwah. Menjadi penerus para murabbi untuk membentuk generasi madani. Semoga Allah membantu kita untuk selalu istiqomah sampai mendapat gelar khusnul khotimah. Dan juga menjaga semangat dakwah agar tidak luntur dan terputus di tangan kita.  


Akhir kata...

Kuucapkan kesyukuran dan berjuta syukran pada Allah, Yang telah mengirimmu sebagai hidayah, Yang bersedia memungutku dari lembah jahiliyah, Yang membawaku menuju jalan dakwah, Yang tak pernah jemu memberiku petuah, Kau tak hanya sekedar indah, Tetapi lebih dari itu, kau juga merekah, Seperti zaitun di puncak marwah.  

Untukmu... Murabbi/Murabbiah

*Riky Ramadhani
By.

Ya (Mu)Rabbi


SekolahMurabbi.com - Lisan para pendakwah sama vitalnya dengan senjata para mujahid perang. Ia harus tajam agar mampu menusuk dalam-dalam. Dari sini kita melihat pelatihan-pelatihan da’i, simulasi khutbah, jidal yang ahsan dan sejenisnya menemukan fungsi yang sebenarnya. Melatih lisan agar menghasilkan perkataan yang bernas.

Mengatur kata-kata memang bukan urusan yang mudah. Ini selalu menjadi alasan utama ilmu dan kebenaran tidak tersampaikan. Sebagai pendakwah, kita dituntut untuk menyamakan ’frekuensi’ dengan para pendengar. Kalau bahasa Alquran, para pendakwah dituntut untuk menyampaikan risalah dengan lisanu qawmih, bahasa kaumnya.

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. (QS. Ibrahim: 4)

Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa ‘bahasa kaum’ menjadi syarat penting agar penjelasan tersampaikan dan dipahami.

Dalam definisinya yang lebih luas, bahasa kaum tidak berarti sekedar kesamaan bahasa semata. Sebab Rasulullah saw. mengajarkan kita untuk mendakwahi orang sesuai kemampuan pemahamannya. Ini mengisyaratkan bahwa kemampuan pemahaman juga merupakan bagian dari bahasa kaum yang harus dipahami oleh setiap pendakwah.Contohnya, bahasa yang kita gunakan untuk mendakwahi akademisi berbeda dengan bahasa untuk mendakwahi buruh bangunan, misalnya. Sekalipun keduanya sama-sama berbahasa Indonesia.

Kendala para pendakwah yang kita sebutkan tadi adalah ketidakmampuan untuk menyamakan ‘frekuensi’ dengan berbagai kaum (kalangan) objek dakwah. Kadang ada da’i yang lihai di depan kalangan akademisi tapi kesulitan ketika diminta berbicara di depan masyarakat pedalaman. Atau sebaliknya. Lisannya masih terbelenggu. Ilmu dan kebenaran di dada tertahan di lidah lalu gagal menjadi kata-kata.

Ini tantangan. Dan harus dijawab oleh setiap pendakwah. Sebab waktu tidak menunggu kita siap. Entah takdir akan membawa kita ke mana suatu saat. Maka banyak-banyaklah berdoa seperti Nabi Musa as. Nabi yang diutus untuk mendakwahi ayah angkatnya.

Rabbi-syrah li shadri, wa yassir li amri, wahlul ‘uqdatan min lisani, yafqahu qawli.

Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah belenggu lisanku, agar mereka paham ucapanku.

Aamiin ya Rabb.
By.

Bagaimana Melepaskan Belenggu Lisan?


SekolahMurabbi.com - Mengenal banyak orang memang menyenangkan, bahkan dianjurkan. Terlebih jika kemudian orang-orang tersebut menjadi teman yang dengannya kita bukan hanya saling kenal, tapi juga saling memahami, saling percaya, saling membantu tanpa diminta, saling menanggung beban dengan suka rela, serta saling menasehati, melengkapi yang kurang dan memperbaiki kekeliruan satu sama lain. Indah sekali. Adalah anugerah luar biasa jika kita dibersamakan dengan orang-orang demikian. Terlebih jika kebersamaan itu membuat jiwa kian dekat dengan Allah swt.

Namun, hidup tentu tidak menyuguhkan keadaan yang selalu sama. Kadang, orang lain hadir untuk kita teladani kelebihannya. Mungkin juga mereka datang untuk menguji kesabaran. Ada saatnya kita dibiarkan sendirian. Kita, dengan karakter yang senada, belum tentu selalu dibersamakan dalam ruang yang sama. Orang-orang terdekat, tidak pantas kita menuntutnya selalu memahami kita. Orang yang paling harus memahami kita adalah diri kita sendiri. Kita yang harus mengenal karakter diri. Harus mampu membujuk diri untuk tidak mengeluh, untuk tidak rapuh, agar tetap tegak saat keadaan berseberangan dengan harapan. Kita harus mengenali di mana kita berada, dan bagaimana seharusnya menempatkan diri.

"Penjara itu," Kata Syaikh Salman bin Fahd Al Audah, "Bukanlah tembok, kunci, jendela kecil, rantai atau hukum. Tapi penjara itu adalah ketika seseorang merasa rendah dan menghinakan dirinya."

Kita yang pernah merasakan lingkungan yang kebaikan senantiasa timbal balik, jangan sampai memenjarakan diri dalam keputusasaan saat tiba-tiba berada pada keadaan yang berbeda. Tetaplah taat dalam sendiri maupun ramai. Tetaplah menjadi baik saat bersama orang-orang yang menerima kita sepenuhnya, maupun saat bersama mereka yang enggan memahami. Hadirkan Allah di hati dalam keadaan apapun. Jadilah sebaik-baik teman bagi diri, jadilah yang paling bersegera menyadarkan diri saat semangat kebaikan hendak meredup. Kuatkan jiwa bersama ayat-ayatNya.

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." (Q.S. Ali Imran: 139)
By.

Menemani Diri

Orang yang sedang futur seringkali memisahkan diri dari jamaah. (Sumber: negeriseribukata.blogspot.com)

SekolahMurabbi.com - “Akh, antum kenapa gak datang liqa'?”
“Afwan jiddan, akhi. Ana lagi futur.”

“Afwan ukhti, kajian jumatan kemarin kok gak hadir ya?”
“Hiks… hiks… ukhti, ana lagi futur.”

Percakapan serupa terdengar di berbagai kesempatan lainnya. Bisa jadi tidak terang-terangan mengakui kefuturan, tapi berkelit dengan dalih-dalih duniawi lainnya yang prioritasnya tidak lebih penting dari menghadiri liqa’ atau kajian. Futur, penyakit lima huruf itu, acapkali dijadikan kambing hitam atas absennya seorang muslim di majelis-majelis kebajikan.

Sebenarnya masalahnya bukan ketika seseorang mengalami kefuturan. Sebab rasanya kebanyakan—jika bukan semua—manusia pernah merasakannya. Dengan kata lain, futur adalah sesuatu yang tak bisa terhindarkan. Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Madrijus Salikin, berkata, “Saat-saat futur bagi para salikin (orang-orang yang meniti jalan menuju Allah) adalah hal yang tak dapat terhindarkan.”

Yang menjadi masalah adalah ketika berlama-lama apalagi menikmati futur. Liqa’ pekan pertama bulan ini tidak datang dengan alasan futur. Rupanya liqa’ pekan kedua, alasannya juga sama. Ini yang masalah. Kajian tsaqafah rutin pekan lalu absen. Pekan ini juga. Ketika ditanya, alasannya sama. Ini musibah.

Saya rasa kita semua sepakat bahwa futur adalah penyakit, tepatnya penyakit ruh. Itu artinya orang yang sedang futur adalah orang sakit. Maka jika ada orang yang senang berlama-lama menderita sakit apalagi menikmatinya, itu pertanda ada yang tak beres dengannya. Kalau bukan pikirannya yang sedang kacau, bisa jadi jiwanya bermasalah. (Coba sesekali yang sering mengkambinghitamkan si futur diperiksa kondisi kejiwaannya!)

Maka ketika futur hinggap di ruh antum, melemahkan semangat dakwah antum yang sebelumnya merah saga, mengurangi amalan-amalan sunnah antum yang dulunya tak pernah bolong, mengeraskan hati antum hingga nasehat demi nasehat terpantulkan; yang harus antum camkan adalah hadits berikut ini.

“Sesungguhnya seorang hamba itu ada yang melakukan amalan ahli neraka padahal ia termasuk ahli surga, dan ada pula yang mengamalkan amalan ahli surga padahal ia termasuk ahli neraka. Sesungguhnya amal itu tergantung pada KESUDAHANNYA.” (HR. Bukhari).

KE-SU-DAH-AN alias akhir. Bayangkan bagaimana jadinya jika malaikat maut mendatangi antum yang berstatus futur mode on. Di saat itu, antum tidak berada dalam kondisi ruhiyah terbaik seperti sebelumnya. Amalan sunnah tak ada, amanah demi amanah terbengkalai dan antum sibuk dengan urusan duniawi yang tak pernah usai. Rugi! Antum tidak mengakhiri performa dengan meyakinkan. Mungkin tidak sampai ke tahap su-ul khatimah (na’udzubillah), tapi mungkin antum masuk ke husnul khatimah kasta paling bawah. Ah, rugi betul itu!

Segera! Segera lakukan terapi agar futur menjauh dari ruh antum. Segera akhiri ke-menyendiri-an itu (bukan kesendirian, jangan salah paham). Futur seringkali menyerang orang yang terpisah dari jamaah. Sabda Rasul saw., “Syetan itu akan menerkam manusia yang menyendiri, seperti serigala menerkam domba yang terpisah dari kawanannya.” (HR. Ahmad). Ketika performa ibadah mulai terasa menurun, jangan jauh-jauh dari jamaah orang-orang shalih. Sebab itu gejala futur. Ketika terbersit keinginan untuk menunda-nunda pekerjaan dan amanah, cepatlah minta nasihat dari mereka yang sedang on fire. Sebab itu juga gejala futur. Ketika urusan duniawi mulai menggeser posisi ukhrawi di hati, lekaslah menyibukkan diri dalam kerja-kerja jamaah. Sebab itu pun gejala futur.

Lalu, banyak-banyaklah bermuhasabah, mengingat mati, nikmat surga dan azab neraka. Bila perlu, menangislah. Kalaupun tidak bisa, pura-puralah menangis. Air mata yang mengalir kerapkali sukses meluluhkan hati yang membaja.

Terakhir, jadikan futur sebagai titik balik untuk meroketkan kualitas dan kuantitas ibadah. Analoginya mungkin seperti seorang narapidana yang baru saja dilepaskan dari tahanan. Ia akan menjadi warga terbaik di kotanya untuk membuktikan kepada kepala negara bahwa ia memang layak untuk dibebaskan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang futurnya membawa ke arah muraqabah (merasa diawasi oleh Allah) dan senantiasa berlaku benar, tidak sampai mengeluarkannya dari ibadah-ibadah fardhu, dan tidak pula memasukkannya dalam perkara-perkara yang diharamkan, maka diharapkan ia akan kembali dalam kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.” (Kitab Madrijus Salikin).
By.

Sorry, Gue Lagi Futur!

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com