SekolahMurabbi.com -
Waktu telah
menjadi kawan setia yang menghantarku ke depan pintu gerbang keimanan yang mempesona.
Dahulu, saat masa jahiliyah masih membelenggu hidupku, aku tidak perduli akan
apapun, apalagi jika berbicara masalah iman. Sudah melaksanakan shalat lima
waktu saja aku sudah merasa bangga. Padahal jika berkaca pada masa itu, aku
tidak dapat menjamin bahwa apa yang aku lakukan akan membuahkan hasil di
mata-Nya
Catatan: Artikel ini adalah karya peserta pada lomba menulis inspiratif Sekolah Murabbi beberapa waktu lalu.
Saat itu
kebebasan masih menjadi hal mutlak. Hal yang tidak bisa ditawar, apalagi
direbut keberadaannya dariku. Tetapi apa aku bahagia dengan kebebasan itu? apa
sebenarnya yang aku cari? Berbagai pertanyaan mulai menghampiri. Hingga pada
akhirnya, dimensi waktu, terlebih takdir, telah membawaku sampai pada detik
ini. Detik dimana aku mulai menemukan arti kebebasan yang sebenarnya. Detik,
dimana aku mulai merasakan manisnya sebuah cinta dibalik jalan-Nya.
Sabtu malam
telah tiba. Kami adalah pemuda yang selalu merindukan malam ini. Membentuk sebuah
lingkaran kecil di sudut negeri, untuk sekadar mengkaji kalam ilahi serta
membahas masalah-masalah yang dirasa sangat mengusik hati. Kulirik wajah mereka
satu persatu. Sungguh, aku merindukan wajah-wajah ini. Wajah-wajah yang
memberikanku keteduhan, yang memancarkan kedamaian, serta selalu haus akan ilmu
agama dari sang Murabbi.
Ya Murabbi.
Sosoknya begitu familiar, berkedudukan tinggi namun tetap bersahaja. Mengapa
sosok seperti itu bisa perduli terhadap orang-orang seperti aku? Justru itu
yang membuatku semakin terikat ke dalam dunianya. Dunia yang penuh dengan
nasehat-nasehat iman dan takwa. Malam itu juga tak kalah seru, sebuah
pembahasan yang menurutku menjadi topik yang cukup bisa membuat siapa saja
berfokus memasang mata, telinga dan pikiran sepenuhnya.
“Topik ini
yang aku suka.” Bisik Angga.
Bibirku
langsung membentuk lengkungan yang sempurna. Menyiratkan makna yang tak bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Angga adalah satu-satunya anggota yang sering
mengantuk saat waktu dan keadaan mulai tidak kondusif baginya. Tetapi, jika
membahas masalah yang satu ini, dia menjadi orang yang paling bersemangat dan
banyak pertanyaan.
“Jodoh itu
tidak perlu dipikirkan. Karena yang menjadi fokus utama kita saat ini adalah
bagaimana caranya agar bisa menjadi seseorang yang sukses namun tetap
menjalankan kewajiban sebagai khalifah. Apalagi harus sampai pacaran. Alih-alih
menjadi solusi, pacaran bahkan menjadi tabungan dosa sampai mati.” Jelas Ustaz.
“Tetapi
Ustaz, bukankah itu juga sebagian dari ikhtiar ataupun usaha kita? Sama seperti
halnya rezeki, dia tidak mungkin datang sendiri bila tidak dicari.” Tanya Deni.
Ustaz
tersenyum mendengar pertanyaan dari Deni. “Ikhtiar yang seperti apa yang antum
maksud? Bukan ikhtiar namanya jika masih melanggar hukum Allah. Apa yang kita
inginkan dari sebuah proses pacaran? Saling mengenal dengan cara berdua-duaan?
Mendalami satu sama lain dengan cara berboncengan dan berpegangan tangan? Apa
mungkin seorang anak SMA yang pacaran juga sudah memikirkan hingga pada tahap
untuk saling mendalami dan memikirkan masa depan mereka? Pernikahan misalnya.”
tanya Ustaz
Suasana
hening sejenak. Kami berusaha mencerna baik-baik perkataan yang baru saja Ustaz
ucapkan. Beliau memandangi wajah kami satu persatu. Senyumnya masih tetap
melengkung sempurna. Terlihat ikhlas dan lembut.
“Wajah
kalian tampan-tampan, kok.” Ujar Ustaz kembali. Kami saling melirik satu sama
lain. “Lalu, apa yang kalian takutkan? Kalian takut kalau orang yang kalian
taksir, tidak akan kalian miliki? Apakah itu cinta, atau hanya nafsu belaka?”
Kecanggungan
terlihat jelas di wajah Deni, terlebih aku. Aku selalu merasa aneh setiap kali
membahas cinta dan nafsu. Entah itu karena aku masih menganggapnya hal yang
tabu, atau karena hal lain. Aku tidak tahu.
“Belajarlah
dari kisah tauladan saidina Ali yang berusaha menjaga kerahasiaan cinta, hingga
pada akhirnya ia mendapatkan jodoh yang sejak lama didamba. Seorang wanita yang
cantik parasnya, kuat jiwanya, apalagi ibadahnya.. Bukan malah menjadikan kisah
Romeo dan Juliet sebagai rujukan yang dianggap fenomenal.” Jelas Ustaz tertawa
kecil.
“Lalu,
bagaimana dengan pacaran yang islami Ustaz? Sekarang, banyak anak muda yang
pacaran mengatasnamakan agama.” Tanya Angga.
“Tidak ada
yang namanya pacaran islami. Itu hanya sebuah cara bagi mereka yang ingin
melegalkan pacaran meskipun dengan melecehkan agama. Pacaran itu adalah pintu
terbesar menuju zina. Rasul pernah bersabda, ditusuk kepala dengan besi panas
itu lebih baik daripada menyentuh yang bukan mahramnya. Dari hadis ini, jelas
sudah bahwa tidak ada alasan bagi siapapun untuk menghalalkan pacaran. Hmm...
kalian tahu apa bedanya makan malam dengan berbuka puasa?” Tanya Ustaz.
“Buka puasa
itu lebih nikmat ustaz, setelah seharian menahan lapar dan haus. Berbeda dengan
makan malam yang sudah menjadi rutinitas biasa.” Jawab Deni.
“Nah, begitu
pula nikmatnya menikah tanpa pacaran.” Sambung ustaz.
Kami tertawa
kecil mendengar perumpamaan dari ustaz. Aku mengangguk. Batinku berkata,
“Ternyata Allah masih melindungiku dari kejahatan zaman ini. Zaman di mana yang
tidak pacaran dianggap kuno. Dan zaman di mana pergaulan antara laki-laki dan
perempuan sudah tidak ada batasannya. Meskipun aku pernah mencicipi
kejahiliyahan, setidaknya aku belum terjerumus dalam hubungan yang disebut
pacaran.”
“Ustaz, katanya setiap orang memiliki jodohnya
masing-masing. Lalu bagaimana dengan orang yang belum menikah hingga akhir
hayatnya?” Tanyaku.
Ustaz
mengangguk. Dalam menjelaskan, beliau terlihat sangat berhati-hati. Diam sesaat,
baru setelah itu berkata dengan pilihan kata yang tepat. “Jika itu yang
terjadi, mungkin saja jodohnya tidak di dunia, melainkan ada di surga.
Wallahu’alam.” Jelasnya.
Di akhir
dari pertemuan itu, Ustaz memberikan kesimpulan bahwa belum tentu orang yang
kau sebut namanya disepertiga malammu, yang kau sebut di dalam doa-doamu atau
bahkan yang kau sebut di dalam sujud terakhirmu, adalah jodohmu. Jodoh itu
adalah kembaran dari keluarga yang berbeda. Jika kamu ingin jodoh yang baik,
maka perbaiki dulu dirimu. Bagaimana mungkin kau mengharapkan jodoh yang
hafidzah, sementara dirimu sendiri belum menjadi hafidzh? Kini aku mengerti.
Sosok itu
telah menjadi bagian penting dalam cerita perjalanan kehidupanku. Dia yang
pertama kali mencengkram lenganku dari derasnya pergaulan bebas.
Menyelamatkanku dari berbagai persepsi yang membuat para pemuda terbuai dalam
nikmatnya lingkaran syaitan. Budaya barat mengalir begitu dahsyat, sehingga
membuat siapa saja terpikat. Tetapi berkat kehadirannya, aku menjadi lebih tahu
makna kehidupan di dunia yang hanya sementara. Aku jadi tahu apa tujuan yang
seharusnya menjadi fokus utama. Tanpa dia, mungkin sekarang aku masih menjadi
buih di lautan. Terombang-ambing dan pecah oleh deburan ombak yang menantang.
Tanpa dia, mungkin saja aku masih bergumul dengan kebebasan dan kejahiliyahan
yang kuanggap menyenangkan tanpa menyadari bahwa sebenarnya terdapat banyak
kemudharatan yang membentang.
Ini hanya
satu dari sekian banyak kisah yang telah kulalui bersamanya. Bahkan bukan hanya
satu orang yang membawaku ke jalan dakwah ini, tetapi ada beberapa, datang
silih berganti. Aku memilih kisah ini karena ambruknya moral pemuda-pemudi masa
kini. Salah satu penyebabnya adalah pacaran yang seolah membudaya. Gerah dirasa
hati melihat kelakuan mereka yang seolah tidak mengerti. Terkadang, aku hanya
bisa membenci sikap mereka dalam hati, ketika tangan dan lidah tak lagi sanggup
untuk mencegah. Namun bukan berarti aku yang paling baik di sini. Aku juga
bukan manusia suci. Melainkan orang yang tengah memperbaiki diri.
Semoga kita
terus bersemangat mengemban jalan dakwah. Menjadi penerus para murabbi untuk
membentuk generasi madani. Semoga Allah membantu kita untuk selalu istiqomah
sampai mendapat gelar khusnul khotimah. Dan juga menjaga semangat dakwah agar
tidak luntur dan terputus di tangan kita.
Akhir kata...
Kuucapkan kesyukuran
dan berjuta syukran pada Allah, Yang telah mengirimmu sebagai hidayah, Yang bersedia
memungutku dari lembah jahiliyah, Yang membawaku menuju jalan dakwah, Yang tak
pernah jemu memberiku petuah, Kau tak hanya sekedar indah, Tetapi lebih dari
itu, kau juga merekah, Seperti zaitun di puncak marwah.
Untukmu... Murabbi/Murabbiah
*Riky Ramadhani