/
Tampilkan postingan dengan label Dasar Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dasar Islam. Tampilkan semua postingan

SekolahMurabbi.comGolongan Non Muslim itu terbagi menjadi dua: Golongan non muslim yang harus dilindungi, dan golongan non muslim yang harus diperangi. Marilah kita kenali mereka agar kita dapat bersikap adil dan proporsional.

Non Muslim yang Harus Dilindungi

Pertama, Mu’aahad. Siapakah mereka?

هُمُ الَّذِينَ صَالَحَهُمْ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى إِنْهَاءِ الْحَرْبِ مُدَّةً مَعْلُومَةً لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَالْمُعَاهَدُ : مِنَ الْعَهْدِ : وَهُوَ الصُّلْحُ الْمُؤَقَّتُ ، وَيُسَمَّى الْهُدْنَةَ وَالْمُهَادَنَةَ وَالْمُعَاهَدَةَ وَالْمُسَالَمَةَ وَالْمُوَادَعَةَ

“Mereka adalah orang-orang yang berdamai dengan imam kaum muslimin untuk tidak berperang dalam waktu yang telah diketahui (disepakati) untuk kemasalahatan. ‘Al Mu’ahad’ diambil dari kata ‘Al ‘Ahdu’ (janji) yaitu shulhu (perjanjian damai) yang telah ditentukan, dan dinamakan hudnah (gencatan senjata), juga dinamakan Al Muhaadanah, Al Mu’aahadah (agreement), Al Musaalamah (perdamaian), dan Al Muwaada’ah

(Fathul Qadir, 4/293. Al Fatawa Al Hindiyah, 1/181. Al Kharasyi, 3/175. Fathul ‘Ali, 1/333. Asy Syarhul Ad Dardir, 2/190. Al Qawaanin Al Fiqhiyah, Hal. 154. Mughni Al Muhtaj, 4/260. Al Umm, 4/110. Nihayah Al Muhtaj, 7/235, Kasysyaf Al Qina’, 3/103. Al Mughni, 4/459-461. Zaadul Ma’ad, 2/76. Al Muharrar fil Fiqhil Hambaliy, 2/182. Al Ikhtiyarat, Hal. 188)

Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin mengatakan:

والمعاهد: من كان بيننا وبينه عهد، كما جرى بين النبي صلى الله عليه وسلم وقريش في الحديبية.

“Al Mu’ahad adalah siapa saja yang antara kita dan dia ada perjanjian, sebagaimana yang berlangsung antara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kaum Quraisy di Hudaibiyah.” (Syaikh Al ‘Utsaimin, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 159. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Kedua, Ahli Dzimmah. Siapakah mereka?

أَهْل الذِّمَّةِ هُمُ الْكُفَّارُ الَّذِينَ أُقِرُّوا فِي دَارِ الإْسْلاَمِ عَلَى كُفْرِهِمْ بِالْتِزَامِ الْجِزْيَةِ وَنُفُوذِ أَحْكَامِ الإْسْلاَمِ فِيهِمْ
“Ahlu Az Dzimmah adalah orang-orang kafir yang menetapkan kekafirannya di Negara Islam dengan menjalankan kewajiban membayar jizyah dan dilaksanakannya syariat Islam pada mereka.” (Jawahirul Iklil, 1/105. Kasysyaf Al Qina’, 1/704)

Ketiga, Musta’man. Siapakah mereka?

الْمُسْتَأْمَنُ فِي الأْصْل : الطَّالِبُ لِلأْمَانِ ، وَهُوَ الْكَافِرُ يَدْخُل دَارَ الإْسْلاَمِ بِأَمَانٍ ، أَوِ الْمُسْلِمُ إِذَا دَخَل دَارَ الْكُفَّارِ بِأَمَانٍ
 “Al Musta’man pada dasarnya: orang yang meminta keamanan, yaitu orang kafir yang masuk ke Negara Islam dengan aman, atau seorang muslim jika masuk ke nagara kafir dengan aman.” (Durar Al Hikam, 1/262. Hasyiah Abi Su’ud, 3/440. Ad Durul Mukhtar, 3/247)

Nah, ketiga kelompok non muslim inilah yang terlindungi darahnya, selama status mereka belum berubah. Kapankah status mereka berubah? Para ulama mengatakan:

يُصْبِحُ الذِّمِّيُّ وَالْمُعَاهَدُ وَالْمُسْتَأْمَنُ فِي حُكْمِ الْحَرْبِيِّ بِاللَّحَاقِ بِاخْتِيَارِهِ بِدَارِ الْحَرْبِ مُقِيمًا فِيهَا ، أَوْ إِذَا نَقَضَ عَهْدَ ذِمَّتِهِ فَيَحِل دَمُهُ وَمَالُهُ
“Kafir Dzimmi, Mu’aahad, dan Musta’man akan dihukumi menjadi kafir harbi, saat dia memiliih bermukim di negara perang (darul harbi), atau jika dia membatalkan perjanjiannya maka halal darah dan hartanya.” (Ad Durul Mukhtar, 3/275, 303. Asy Syarhush Shagir, 2/316. Mughni Al Muhtaj, 258-262. Al Mughni, 8/458)

Non Muslim yang Harus Diperangi

Pertama, Ahlul Harbi.

هُمْ غَيْرُ الْمُسْلِمِينَ الَّذِينَ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عَقْدِ الذِّمَّةِ ، وَلاَ يَتَمَتَّعُونَ بِأَمَانِ الْمُسْلِمِينَ وَلاَ عَهْدِهِمْ
“Mereka adalah non muslim yang tidak termasuk dalam perjanjian dzimmah (jaminan keamanan) dan tidak memanfaatkan keamanan kaum muslimin dan tidak pula adanya perjanjian dengan mereka.” (Fathul Qadir, 4/278, 284. Al Fatawa Al Hindiyah, 2/174.Al Mawahib Al Jalil, 3/346-350. Asy Syarhu Ash Shagir, 2/267. Nihayatul Muhtaj, 7/191. Mughni Al Muhtaj, 4/209. Mathaalib Ulin Nuha, 2/508. Kasysyaf Al Qina’, 3/28. Al Mughni, 8/352)

Kedua, Ahlul Baghyi.

هُمْ فِرْقَةٌ خَرَجَتْ عَلَى إِمَامِ الْمُسْلِمِينَ لِمَنْعِ حَقٍّ ، أَوْ لِخَلْعِهِ ، وَهُمْ أَهْل مَنَعَةٍ
“Mereka adalah kelompok yang keluar (memberontak) kepada Imam kaum muslimin dalam rangka menolak kebenaran, atau melepaskannya, dan mereka adalah ahlu mana’ah (orang yang menolak).” (Mawahib Al Jalil, 6/276. Asy Syarh Al Kabir, 4/300. Asy Syarh Ash Shaghir, 4/426. Al Qawanin Al Fiqhiyah, Hal. 363. Al Umm, 4/214. Mughni Al Muhtaj, 4/123. Al Mughni, 8/104)

Prinsip Hubungan Muslim dengan Non Muslim

Allah Ta’ala telah menetapkan prinsip hubungan antara seorang Muslim dengan Non Muslim. Dan Dialah sebaik-baik Penentu Kebijakan.

Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 8)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menerangkan bahwa Dia tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong dan hantu-membantu dengan orang-orang kafir selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum muslimin, tidak mengusir dari negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan orang-orang yang hendak mengusir itu.

Ayat ini merupakan ayat yang memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama orang-orang kafir itu bersikap dan ingin bergaul baik terutama dengan kaum muslimin.

Seandainya dalam sejarah Islam terutama pada masa Rasulullah dan masa para sahabat, terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum muslimin kepada orang-orang kafir, maka tindakan itu semta-mata dilakukan untuk membela diri dari kelaliman dan siksaan-siksaan orang-orang kafir.
Di Mekah, Rasulullah dan para sahabat disiksa dan dianiaya oleh orang-orang kafir Quraisy, sampai mereka terpaksa hijrah ke Madinah. Sesampai mereka di Madinah, mereka pun dimusuhi oleh orang-orang Yahudi yang bersekutu dengan orang-orang kafir Quraisy, sekalipun telah dibuat perjanjian damai antara mereka dengan Rasulullah, sehingga terpaksa diambil tindakan kekerasan. Demikian pula di kala kaum muslimin berhadapan dengan kerajaan Persia dan Romawi, orang-orang kafir di sana telah memancing permusuhan sehingga terjadi peperangan.

Jadi ada satu prinsip yang perlu diingat dalam hubungan orang Islam dengan orang-orang kafir, yaitu: “Boleh mengadakan hubungan baik, selama pihak yang bukan Islam melakukan yang demikian pula”. Hal ini hanya dapat dibuktikan dalam sikap dan perbuatan kedua belah pihak.
Di Indonesia prinsip ini dapat dilakukan, selama tidak ada pihak agama lain bermaksud memurtadkan orang Islam atau menghancurkan Islam dan kaum muslimin.

Hal ini ditegaskan oleh ayat selanjutnya.

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 9)

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah Ta’ala hanyalah melarang kaum muslimin bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia di jalan Allah, dan memurtadkan kaum muslimin sehingga ia berpindah kepada agama lain, yang memerangi, mengusir dan membantu pengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu Allah melarang dengan sangat kaum muslimin berteman dengan mereka.

Pada akhir ayat ini Allah SWT mengancam kaum muslimin yang menjadikan musuh-musuh mereka sebagai teman bertolong-tolongan dengan mereka, jika mereka melanggar larangan Allah ini, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.

Wallahu A’lam…

Maraji:
Syarah Hadits Arbain Keempat Belas, Farid Nu’man Hasan
Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Kemenag RI
Al-Intima

Non Muslim Mana Yang Wajib Diperangi dan Dilindungi?


Obat Hati

Siapa orang yang tidak pernah sakit hati? Hampir setiap orang pernah mengalami yang namanya sakit hati, galau, cemas, was-was, dan perasaan tidak enak lainnya. Hati yang sakit berarti butuh yang namanya obat. Apa obatnya? Jika kita menilik lirik dari lagunya Opick yang berjudul Tombo Ati. Tombo ati atau obat hati ada lima macamnya, salah satunya adalah mujalasah ash-shalihin (berkumpul dengan orang-orang shalih). Allah pun juga telah menyebutkan dalam surat An-Nisa ayat 69 bahwa orang-orang shalih adalah sebaik-baik teman yang mampu dijadikan sebagai penawar hati.

“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad) maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang yang mati syahid, dan orang-orang yang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” Betapa mulianya orang-orang yang shalih disandingkan dengan para nabi, para pecinta kebenaran, dan para pejuang yang mati syahid di jalan-Nya.

Mengapa berkumpul dengan orang yang shalih termasuk obat hati? Berkumpul dengan orang shalih bukan sekadar kumpul biasa, duduk melingkar dengan orang shalih tidak sekedar duduk manis saja, berjumpa dan bercerangkama dengan orang shalih bukan obrolan yang biasa pula. Ketika kita berkumpul, duduk, berjumpa dan bercerangkama dengan orang shalih, kita akan merasakan sensasi dan ukhuwah yang berbeda. Konten dari pembicaraannya bukan bualan dan omong kosong belaka. Setiap tutur kata yang keluar dari mulutnya adalah hikmah nan bijaksana, yang senantiasa mengingatkan pada Allah Azza wa Jalla.

Mencari yang Shalih

Mencari teman yang shalih tidaklah sulit. Allah sudah memberikan kemudahan-kemudahan dalam memilih teman. Dalam Al Quran banyak disebutkan ciri-ciri orang yang shalih, yang bisa kita jadikan sebagai sahabat, diantaranya adalah pada surat Al Kahf ayat 28,

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.”  Teman yang shalih adalah teman yang senantiasa bersabar di jalan kebenaran, yang senantiasa mengingat Allah dari mulai dari ia membuka mata hingga memejamkannya kembali.

Dalam surat Al Imran ayat 114 juga disebutkan bahwa, “Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang saleh.”  Coba amati apakah kita bergaul dengan teman atau orang yang beriman kepada Allah dan hari penghabisan? Apakah mereka mengajak yang ma’ruf dan mencegah yang munkar? Atau malah sebaliknya? Dan apakah mereka juga bersegera dalam melakukan kebaikan atau malah malas-malasan, ogah-ogahan, dan “entar-entaran”?

Di ayat lain Allah juga memberikan ciri dari orang shalih yang mampu dijadikan sebagai pagar pembatas dari dosa-dosa.

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al Maidah:2)

Keuntungan Bersama Mereka

Fadlan Al-Ikhwani dalam bukunya Penawar Lelah Berbuah Jannah, dituliskan empat keuntungan berkumpul dengan orang shalih.

Pertama, akan memicu diri berperilaku shalih seperti mereka.
Kedua, saling mengambil manfaat yang baik.
Ketiga, saling mengingatkan jika tergelincir melakukan kesalahan.
Keempat, saling menyemangati untuk berfastabiqul khairat.

Bisa ditambahkan yang kelima adalah berkumpul dengan orang shalih mampu menjaga rasa malu. Malu ketika teman kita lancar murojaahnya, nambah hafalannya, rutin sedekahnya, rajin tahajudnya, kuat puasa sunnahnya, dan tak pernah ketinggalan sholat dhuhanya. Sedangkan diri ini masih saja berkutat dengan seribu satu alasan dan masih asyik dengan kegalauan yang tidak semestinya dibuat galau. Bayangkan jika kita tidak bersama dengan orang yang shalih, jika melewatkan amalan-amalan di atas itu adalah hal yang biasa, dianggap wajar, dan tidak akan memberikan efek apapun. Mengapa demikian?  Karena lingkungan kita tidak ada yang melakukannya, tidak ada alarm untuk kita, dan hal ini bisa menjadikan rasa malu hilang seketika.

Berada dalam barisan, lingkaran, dan lingkungan orang yang shalih memberikan kenikmatan yang tidak hanya dirasakan di dunia tetapi berlanjut hingga ke surga. Itulah mengapa  berkumpul dengan orang yang shalih mampu menjadi obat hati dan penawar lelah. Jangan hanya sibuk mencari tetapi juga menjadi. Tidak hanya mencari teman yang shalih tetapi juga berusaha untuk menyalihkan diri.

Selamat bergabung dengan orang-orang yang shalih, yang akan menguatkan ketika iman kita kendur, yang menentramkan jiwa, yang akan menemani langkah kita di bumi dan menjadi sahabat sejati di surga abadi. 






Nadifa Salsabila
Mahasiswa aktif jurusan S1 Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Aktif di Lembaga Dakwah Fakultas dan ALQUMI (Asosiasi Lembaga Alquran Mahasiswa Indonesia), Komunitas Baca Dua Lima. Book addict, Writer wanna be. e-mail: nadifasn@gmail.com
By.

Mujalasah Ash-Shalihin

SekolahMurabbi.com Seorang istri masih tercenung. Matanya sembab. Terukir sebuah gambaran kesedihan yang tak terkira di raut mukanya. Baru saja separuh jiwanya dihantarkan menuju kampung keabadian. Rumah tak luas yang hanya seukuran badan lebih sedikit kini jadi tempat peraduan paruh jiwanya. Sangat-sangat minimalis. Kuburan. Ya, suaminya telah mendahului menempuh jalan kembali padaNya.

Adalah Rasulullah Muhammad SAW, kerap mengunjungi dan menghantarkan para sahabatnya yang telah hilang nyawa. Pribadi mulia ini seperti biasa menyempatkan singgah pada setapak rumah yang dirundung duka. Sekedar menghibur dan menyapu duka dari dada keluarga almarhum.

”Tidakkah almarhum pernah mengucapkan sebuah wasiat sebelum wafatnya tiba?” Tanya Nabi pada keluarga. Istri almarhum mendongak. Berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum malaikat melakukan suksesi pencabutan nyawa.  

”Aku, tidak ada lain kecuali hanya mendengar semacam dengkur atau gumaman diantara tarikan nafasnya yang tersengal menjelang ajal, ya Rasul” jawab sang istri dengan suara parau.

”Apa yang dikatakannya?”

”Aku tak yakin ucapan itu bermakna wasiat. Ataukah ini hanya sekedar suara rintihan yang menyayat atau terdengar seperti sebuah pekikan karena dahsyatnya sakaratul maut.” Ada air mata yang tertahan di kelopak mata istri almarhum. Tiap kali ia mengingat perihal suaminya, ia sering terbawa suasana sedih.

”Seperti apa bunyi ucapannya?” Desak Nabi lagi.

”Suamiku mengatakan, ’Andaikan lebih panjang  lagi, andaikan masih baru, andaikan semuanya’ Itu saja yang diucapkannya. Kamipun bingung dibuatnya. Ini seperti sebuah ungkapan yang menggantung.”

Rasulullah pun tersenyum. Ada yang segera ingin dikabarkannya pada keluarga almarhum tentang maksud dari ucapan itu.

”Suamimu tidak berkata keliru,” Ujar Nabi. ”Kisahnya begini. Saat suatu hari Suamimu beranjak pergi ke Masjid untuk menunaikan shalat jumat ia berjumpa orang buta dengan maksud dan tujuan yang sama dengan dirinya. Pandangan yang gelap membuat si buta berjalan tersaruk-saruk. Suamimu menuntunnya dengan sepenuh hati. Maka disaat nyawanya nyaris tercerabut, ia menyaksikan pahala mengalir untuknya akibat dari amal sholehnya itu, lantas iapun berkata ’Andaikan lebih panjang lagi’. Artinya, andaikan sewaktu itu jalan menuju Masjid lebih panjang lagi. Pastilah pahala lebih besar yang akan didapat.”  

”Bagaimana dengan ucapan lainnya, ya Rasul?” Wajah sang istri kini mulai bersinar. Ada detak bahagia yang terpancar.

”Adapun ucapan yang kedua itu muncul karena suatu pagi di lain hari suamimu pergi menuju Masjid. Waktu itu cuaca dingin sekali. Ditengah jalan didapati seseorang lelaki tua yang tubuhnya tergulung karena dingin yang menusuk. Digigil tubuhnya yang renta bisa saja tetiba  kedinginan menjadi takdir kematiannya. Kebetulan suamimu membawa baju mantel yang baru. Diberikannya pada lelaki tua baju mantel yang lama sedang baju mantel yang baru digunakannya. Terbebaslah lelaki tua dari ancaman kematian dingin yang menggigil. Menjelang wafatnya suamimu melihat balasan amal kebajikannya. Ia menyesal dan berkata, ’Andaikan masih baru’ yang berarti jika seandainya ia memberikan mantelnya yang baru tentulah pahalanya akan lebih besar lagi.”

”Lalu ucapan yang ketiga apa maksudnya, ya Rasul?” Tanya sang istri memburu. Dengan sabar nabi menjawabnya,

”Masihkah kau ingat saat suamimu pulang sedang perutnya dalam keadaan lapar lantas ia meminta untuk disediakan makanan? Kaupun menghidangkannya sepotong roti yang telah dicampur daging. Namun, tatkala suamimu hendak memakannya, tiba-tiba muncul seorang musafir yang mengetuk-ngetuk pintu rumahmu dan meminta makanan. Saat itu suamimu langsung membagi dua roti miliknya. Sebagian diberikan pada musafir dan sebagian lagi ia makan. Setelah ia melihat pada saat sakaratul maut pahala yang Allah tampakkan atas amalnya itu. Suamimu berujar, ’Andaikan semuanya.' Maksudnya jika semua roti itu ia berikan pada musafir tentulah akan lebih banyak pahala yang akan diraihnya. Sebab pada hakikatnya jika kita berbuat baik, itu bukanlah hanya untuk orang lain. Itu sejatinya akan kembali pada dirinya sendiri.”

Mendengar kisah ini kita teringat akan janji Allah yang tak pernah dusta.

"Kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula." (QS. Surat Al Isra': 7)

Andaikan Lebih Panjang Lagi

SekolahMurabbi.com -
Sahabat, apakah kalian ingin menjadi penghuni surga atau neraka?  Ketika pertanyaan ini hadir, sudah tentu maka dengan semangat penuh kita akan menginginkan diri kita menjadi bagian penduduk surga. Ya! Benar sekali. Selain mendapatkan rahmat Allah, surga merupakan nikmat Allah yang diinginkan seluruh Muslim. Tidak ada seorang Muslim pun yang menginginkan akhir dari kehidupan akhiratnya dengan menjadi bagian penduduk neraka yang menyala- menyala ( penggambaran neraka berdasarkan beberapa sumber)

Jika benar kita ingin menjadi bagian penduduk surga nantinya, marilah kita simak kisah berikut ini:

Suatu hari Mu’adz mendekati Rasulullah saw, dan beliau pun mendekatinya. Mu’adz pun mengambil kesempatan ini untuk bertanya kepadanya. Ia menanyakan pertanyaan agung yang berhubungan dengan akhirat. Dan apakah pertanyaannya?

Mu’adz berkata, “Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dapat mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari api neraka.”

Rasulullah saw bersabda, “Mu’adz, yang kau tanyakan adalah perkara besar.”  Ya, ini merupakan pertanyaan yang paling besar dalam sejarah manusia, dan atas alasan inilah juga para ulama menjadikan hadits ini sebagai asas amal ibadah, bahkan Imam An-Nawawi juga memasukkan hadist ini sebagai satu diantara hadist-hadist pilihan dalam kitab Al-Arba’in an-Nawawiyah. 

“Hendaknya engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan jika mampu, silakan melaksanakan ibadah haji, “ terang Rasulullah. 

Dan inilah jawaban atas pertanyaan tersebut. Jawaban yang tidak asing bagi diri muslim manapun. Kalimat dalam hadist ini mengisyaratkan makna dari risalah Nabi Muhammad saw, yakni menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji.

Kemudian Rasulullah saw melanjutkan 

“Maukah kutunjukkan kepala, tiang, serta puncak perintah kepadamu? Kepalanya adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah. Maukah kutunjukkan kepada kalian pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah tameng (artinya pemelihara dari api neraka, siksa, aib, dan kerusakan)sedekah itu memadamkan kesalahan, dan shalat di tengah malam,” dan Rasulullah pun membacakan sebuah ayat.

 “Lambung mereka jauh dari tempat tidur, sedang mereka berdoa kepada Tuhanmu dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. “ (As-Sajdah 32 : 16)

Dan Rasulullah kembali bertanya

“Mu’adz, maukah kutunjukkan kepadamu poros semua amalan tersebut?
“Tentu saja, Rasulullah.”
“Jagalah ini,” kata Rasulullah saw sambil menunjuk pada lidahnya.
“Rasulullah, apakah kita akan disiksa karena ucapan kita?”

“Mu’adz sungguh ibumu telah kehilanganmu, bukankah sebagian besar manusia dimasukkan kedalam neraka karena lidah mereka? Bukankah manusia diseret ke dalam neraka diatas leher atau hidung mereka dikarenakan perkataan mereka?” (HR. At-Tirmidzi)

Sahabat, inilah hadist agung yang merupakan jawaban atas pertanyaan mengenai jalan menuju surga yang ditanyakan Mu’adz. Apakah jawaban ini hanyalah untuk Mu’adz? Tidak! Sesungguhnya tidak. Jika Mu’adz saja, sahabat Rasul yang shaleh membutuhkan jawaban ini, bukankah Muslim zaman ini lebih membutuhkan jawaban ini?

Kesimpulannya, jalan menuju surga sudah terangkum dalam sabdanya yang berbunyi, Hendaknya engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Dan sabda inilah yang beliau wasiatkan agar dipegang teguh oleh manusia. 

Sahabat, Siapkah kita menjadi penghuni surga? Karena setiap kita sejatinya mampu dan bisa untuk menjadi penghuninya, penerima anugerahnya tersebut dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. (sumber kisah : "Bertaubatlah Agar Menang Dunia Akhirat", DR.'Aidh Al-Qarni)

By.

Siapkah Kita Menjadi Penghuni Surga?

Alkisah, seorang Yahudi begitu bersedih. Dari ketiga putranya, yang bungsu pindah agama menjadi seorang Kristen. Dia termenung di sinagog besar, mengadu padaYHWH, Tuhannya. ”Tuhan, mengapa Kau biarkan salah satu anakku memasuki jalan sesat dengan menjadi seorang Kristen..” Pengaduannya terputus, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara entah dari mana. ”Mendingan juga kamu, anak masih dua yang beriman. Lha Aku, anakKu satu-satunya saja masuk Kristen dan jadi Tuhan di sana..”

Adalah Gus Dur, yang pernah meriwayatkan guyon yang sebenarnya sensitif ini dengan amat smooth.

The first Christian. Begitulah Karen Armstrong menyebut Paulus. Lalu Yesus? Jelas, tulis Armstrong, Yesus seorang Yahudi. Dia lahir sebagai Yahudi, hidup sebagai Yahudi, dan –menurut Armstrong- mati sebagai Yahudi. Menelaah setiap kalimat yang keluar dari Yesus –sementara begitu saja saya menyebutnya-, dan membandingkannya dengan apa yang ‘dikredokan’ oleh Paulus sebagai pondasi besar kekristenan membuat terperangah. Keduanya selalu bertolak belakang.

Lukas 16:17 mencatat kata-kata Yesus, “Lebih mudah langit dan bumi lenyap daripada satu titik dari hukum Taurat batal.” Matius 5:17-18 juga mencatat, “Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapkannya. Karena aku berkata kepadamu, ‘Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” Sementara Yohannes 7:49 mencatat, “Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka!”

Itu Yesus. Apa kata Paulus? Beda lagi. Dalam I Korintus 15:56, Paulus mengatakan, ”Sengat maut adalah dosa. Dan kuasa dosa adalah hukum Taurat.” Dalam Roma 4:15, ia berpandangan, ”Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran.”

Setelah beropini bahwa hukum Taurat itu menyusahkan, Paulus berkata dalam Roma 7:6, ”Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia yang mengurung kita, yang sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.” Sebelumnya, dalam Roma 6:14, Paulus mengatakan, ”Sebab kamu tidak akan lagi dikuasai oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.” Puncaknya, sambil menanamkan doktrin ketuhanan Yesus, Paulus berkata dalam Efesus 2:15, ”Sebab dengan matiNya sebagai manusia, Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala segi dan ketentuannya.”

Beberapa contoh kecil ini cukup membuat orang berkesimpulan, jika Yesus adalah Kristus, maka Paulus adalah Anti-Kristus. Bagaimana bisa Paulus, aslinya bernama Saul, seorang Yahudi dari Tarsus yang sebelumnya dikenal sebagai penganiaya murid-murid Yesus itu bisa memutar balik semua dasar kekristenan?

Karen Armstrong mencatat dalam The Spiral Staircase, My Climb Out of  Darkness, setelah penelusurannya bertahun-tahun terhadap sejarah awal kekristenan, ”..Saya kini mengetahui bahwa surat-surat rasul Paulus merupakan dokumen Kristen paling awal yang masih ada dan bahwa Injil, yang semuanya ditulis bertahun-tahun setelah kematian Paulus sendiri, ditulis oleh orang-orang yang telah mengadopsi versi Kristennya Paulus. Bukannya Paulus menyimpangkan Injil, tetapi –lebih dari itu-, Injil-lah yang justru memperoleh visinya dari Paulus..”

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al Baqarah [2]: 79)

Awalnya, inilah agama yang ditindas di seantero Imperium Romanum. Hingga, Konstantin, Kaisar cerdik itu membutuhkan stabilitas di negerinya yang mau tak mau harus dimulai dari perangkulan terhadap komunitas Kristen yang makin membesar. Atas prakarsanya, Konsili Nicea di tahun 327 M memvoting dasar-dasar kekristenan tentang ketuhanan Yesus, dosa waris, dan penebusan dosa. Semuanya hanyalah paganisasi sebagaimana dikehendaki oleh Konstantine. David Fiedler memberi sampul bukunya Ancient Cosmology and Early Christian Symbolism dengan tulisanplesetan dominan ”Jesus Christ, Sun of God.” Ya, karena semua yang diatributkan pada Yesus, -dari tanggal lahir, tempat lahir, hingga hari ibadah Sunday-, adalah atribut Sol Invictus, dewa matahari yang dipuja Konstantin.

Maka, walk out-lah Arius, Imam Alexandria dan pengikutnya yang tetap bersikukuh meyakini kenabian Yesus. Dia dan pengikutnya kemudian di-ekskomunikasi, ditindas, dan dibantai oleh para pengganti Konstantin yang telah mengambil hasil konsili sebagai agama negara. Maka ketika Rasulullah Muhammad menulis surat untuk Heraclius, kaisar Romawi di masanya, beliau tak lupa untuk menuliskan kalimat, “..Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan kebaikan kepada tuan dua kali lipat. Namun jika tuan berpaling, maka tuan akan menanggung dosa atas Arisiyin..” Arisiyin berarti para pengikut Arius yang dipersekusi.

Unik juga. Modus operandi yang sama, dicobakan seorang Yahudi lain kepada agama Islam yang dibawa Muhammad Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Namanya ’Abdullah ibn Sabaa. Tetapi ia tak sesukses Paulus. Ia hanya berhasil membangun sebuah sistem kepercayaan yang di kemudian hari disebut sebagai Syi’ah. Jika objek Paulus adalah diri Yesus, maka ’Abdullah ibn Sabaa menggunakan ’Ali ibn Abi Thalib.

Al Qadhi Abu Ya’la ketika menjelaskan fitnah besar yang melanda kaum muslimin di masa khilafah ’Ali ibn Abi Thalib menyebut dengan jelas peran ’Abdullah ibn Sabaa. Satu kisahnya yang terkenal, ketika ’Ali dan pasukannya memasuki ’Iraq pasca tahkim (arbitrase), ’Abdullah menghasut sekelompok orang untuk bersujud pada ’Ali, yang disebutnya sebagai ’Pemegang washiat Nabi, orang yang dipilih untuk menggantikan beliau, imam junjungan kaum beriman, manifestasi Allah di muka bumi’.

Ketika mendapati orang-orang itu sujud, ’Ali sangat marah dan memerintahkan untuk membakar mereka. Maka ’Abdullah ibn Sabaa kembali beraksi, ”Aku telah mendengar hadits dari Nabi Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, ”Tidak akan menyiksa dengan api kecuali Allah.” Adakah kita kenal ’Ali selain sebagai sosok ini?”

Inilah dasar bagi salah satu sekte paling ekstrim dalam Syi’ah; semisal Kaisaniyah, yang sampai menempatkan kedudukan ’Ali sebagai manifestasi Allah. Guntur adalah geramnya, dan halilintar adalah cambuk ’Ali yang murka pada para durjana. Tentu saja kerahasiaan keyakinan yang terlindungi oleh taqiyyah menyebabkan munculnya berbagai aliran Syi’ah yang sangat banyak dari yang paling moderat hingga paling ekstrim. Spektrum ajaran ini amat lebar, dari Zaidiyah di Yaman yang amat dekat dengan Ahlus Sunnah hingga Bathiniyah Nushairiyah di Suriah yang amat jauh.
Munculnya Syi’ah sama sekali bukan bersebab faktor tunggal. Sintesis antara ajaran ‘Abdullah ibn Sabaa dengan kezhaliman yang dialami keturunan Sayyidina ‘Ali, kelak ditambah faktor ketiga yang amat dominan; dendam Persia.

Leopold Weiss, Yahudi Polandia yang mengganti namanya menjadi Muhammad Assad setelah meraih hidayah mengisahkan perjalanannya di Iran dalam The Road to Mecca. Alangkah kontrasnya kegembiraan dan keriangan khas suku-suku Arab gurun yang ditemuinya di Hijjaz dan Najd dengan kemurungan dan kesayuan yang menjadi lekatan di wajah orang-orang Iran. Secara fisik mereka gagah, tapi tidak tegap. Kesedihan yang parah. Seolah mendung selalu bergayut di raut muka itu. Ada apa ini? Adakah hubungannya dengan perayaan ratap duka yang senantiasa mereka lakukan di tanggal 10 Muharram untuk mengenang syahidnya Husain di Karbala?

Ya. Tepatnya bukan hubungan sebab akibat, tapi sama-sama akibat. Akibat dari sebuah shock budaya dan shock peradaban. Sebuah frustrasi atas kekalahan peradaban mereka yang begitu agung dalam memori, peradaban Imperium Persia Sassaniyah. Ketika angkatan perang Khalifah ’Umar dipimpin Sa’d ibn Abi Waqqash menklukkan kekaisaran ini dan sekaligus membawakan Islam, kultus Zoroaster telah memasuki palung kebekuan, sehingga ia tak mampu melakukan perlawanan terhadap ide dinamis baru dari jazirah Arab. Peremajaan sosial dan intelektual yang sedang berkecambah di titik balik itu tiba-tiba larut oleh serbuan kekuatan baru yang sungguh-sungguh berbeda.

Islam hadir menghancurkan sistem kasta bangsa Iran kuno dan menghadirkan satu sistem sosial yang egaliter dan bebas. Islam membuka celah baru bagi berkembangnya energi-energi kebudayaan yang sejak lama menggelegak diam tak tentu bentuknya. Tetapi kultus keagungan keturunan Darius dan Xerxes yang tak serta merta terpinggir, seolah diputus, dipenggal antara hari kemarin dan esok. Hari ini, oleh Islam. Suatu bangsa yang memiliki watak begitu halus, telah mendapatkan ekspresinya dalam dualisme asing agama Zand dan pemujaan pantheistis terhadap keempat unsur –udara, air, api, dan tanah-, kini dihadapkan pada kesederhanaan Islam dengan monotheisme tak kenal kompromi. Peralihan itu, kata Assad, terlalu tajam dan perih.

Lebih dari itu, ada perasaan terpendam mendalam ketika mereka mengidentikkan kemenangan cita Islam sebagai kekalahan peradaban mereka. Perasaan sebagai bangsa yang dikalahkan dan kehancuran tak kenal ampun terhadap wadah warisan peradaban mereka memperparah keberantakan mereka, sehingga Islam, yang bagi bangsa-bangsa lain adalah pembebasan dan rangsang kemajuan, menjadi sebuah kerinduan supernatural dan simbolik yang samar.

Syi’ah, yang digarap ’Abdullah ibn Sabaa menawarkan sesuatu yang lebih dekat dengan masa lalu jiwa-jiwa kalah ini. Doktrin mistik, manifestasi Tuhan dalam jasad-jasad terpilih yang agung, kesemuanya disambut sebagai jalan tengah untuk Islam yang lebih ’ramah’ terhadap kejiwaan dan kemasyarakatan mereka. Syi’ah, yang hampir menyerupai pendewaan terhadap ’Ali dan keturunannya itu, menyembunyikan cita benih inkarnasi dan penjelmaan kembali terus menerus. Ini suatu cita yang sangat asing bagi Islam, tetapi sangat akrab bagi kalbu bangsa Iran. Syi’ah menawarkan ratap duka atas Husain sebagai cermin kepedihan atas kekalahan jiwa yang telah terjadi saat ’Umar menaklukkan peradaban lama mereka. Begitu seterusnya.

Dulu kita bertanya, mengapa Husain lebih diratapi daripada Al Hasan, atau bahkan ‘Ali? Mereka sama-sama terbunuh terzhalimi. Terlepas bahwa pembunuhan Husain memang tampak lebih dahsyat kezhalimannya, tapi ternyata Muharram punya makna tersendiri. Sepuluh Muharram bukan hanya tanggal terbunuhnya Husain. Pada tanggal yang kurang lebih sama di tahun 14 H, demikian menurut Saif ibn ‘Umar At Tamimi sebagaimana dikutip Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, pasukan Sa’d ibn Abi Waqqash yang diutus ‘Umar ibn Al Khaththab untuk Futuhat Persia menghancurkan pasukan agung Imperium Sassaniyah di bawah pimpinan Rustum Farrakhzad di Qadisiyah. Muharram bukan cuma duka untuk Husain, ia juga ratapan untuk sebuah kekalahan yang takkan dilupakan.

Kini mudah menjawab, mengapa meski Syi’ah membenci Abu Bakr, ’Umar, dan ’Utsman sebagai perampas hak ’Ali, kebencian itu dibidikkan lebih ganas kepada ’Umar. ‘Hadits-hadits’ yang dikarang untuk menista ‘Umar sampai pada tingkat keterlaluan hingga risi menyebutnya. Mengapa bukan Abu Bakr si ’perampas’ pertama? Barangkali, karena ’Umarlah yang meleburkan kebanggaan psikologis bangsa Iran itu, sesuatu yang diterakan dalam jiwa sebagai kenangan pahit; Imperium Sassaniyah Persia.

Dan ’Umar pun, Allah ridha padanya, syahid di mihrab, di tangan seorang budak Persia bernama Firouz.

Sumber : http://salimafillah.com/paulus-dan-abdullah-bin-sabaa/
By.

Paulus dan Abdullah bin Sabaa

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com