/
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle



SekolahMurabbi.com - Anies Baswedan terlambat 10 menit, dari waktu jam 15.30 pada 5 Desember 2017, yang dia janjikan bertemu rombongan Alumni ITB yang membawa aspirasi ribuan alumninya menolak reklamasi teluk Jakarta. Dia masuk tergesa-gesa ke ruangan pertemuan, langsung menyalami tamunya, sambil meminta maaf telah terlambat dan memberi alasan bahwa dia baru sampai dari sebuah kunjungan di luar kantor.

Selesai menyalami semua tamu, dia tidak langsung duduk, namun meminta ijin pada tamunya untuk beberapa menit Salat Ashar dulu. Baru saja sang tamu merespon ok, dia bertanya kembali apakah para tamu sudah Ashar? Tentu saja para tamu belum Ashar, karena jam Ashar baru saja tiba dan ekspektasi pertemuan 30 menit atau 1 jam, masih menyisakan banyak waktu untuk Salat setelah pertemuan. Namun, Anies mengajak para tamunya untuk Salat Ashar dulu sebelum pertemuan dimulai.

Permohonan maaf Anies atas keterlambatannya 10 menit dan meminta ijin Salat Ashar dulu, plus ajakan bersalat untuk tamunya menunjukkan tipe kepemimpinan sosok Anies yang 180 derajat berbeda dari kebanyakan elit elit di Indonesia.

Pertama, soal menghargai waktu. Orang  Belanda mengatakannya Op Tijd. Ini cuma sekedar contoh, tentu negara maju lainnya mirip. Belanda sangat terkenal dengan skedul atau janji pertemuan. Jangan heran suatu waktu di tahun 90 an ketika ada kunjungan pemerintah Indonesia ke Belanda, pejabat kita heran lihat menteri mereka naik sepeda mengejar waktu untuk menghindari kemacetan ber mobil di Denhaag, mengejar skedul meeting. Op Tijd. Tepat waktu.

Menghargai waktu adalah problem besar bangsa kita. Mutia Hatta, 2015,  dalam kenangan 70 tahun antropolog Prof Koentjoroningrat, mempersoalkan rendahnya disiplin waktu bangsa kita. Kita mengenalnya "Jam Karet". Jam karet adalah kita boleh berjanji dan kemudian sesukanya membatalkan/tidak menepati, atau berjanji kemudian membiarkan tamu menunggu, atau bertemu orang seenaknya tanpa menghargai padatnya skedul/agenda orang yang ingin ditemuinya (spontanitas).

Allah sendiri, dalam Islam , misalnya, telah menggariskan dalam firmannya bahwa orang2 yang mensia-siakan waktu akan merugi. Di barat sendiri dikenal istilah "time is money". Lalu bagaimana budaya buruk "jam karet" ini bisa kita hilangkan?

Merubah budaya buruk ini adalah tugas berat semua orang. Namun, contoh seorang pemimpin, seperti Anies, yang menghargai waktu, perlu menjadi  inspirasi.

Kedua, Anies meminta waktu sebentar untuk salat. Dan mempengaruhi tamunya juga untuk salat. Ini adalah teladan yang dahsyat dan sulit ditemui saat ini.

Banyak elit-elit pemimpin Islam yang tidak mementingkan waktu salat, apalagi memikirkan salat tamunya. Karena, Salat biasanya merupakan tanggung jawab masing masing kepada Tuhannya. Begitulah adab sekuler saat ini.

Namun, bagi Anies menunjukkan dia harus salat tepat waktu dihadapan tamunya, seperti sebuah dakwah. Apalagi bisa mempengaruhi tamunya juga untuk hal yang sama. (Ingat anak ITB itu mungkin ada 25 % lebih percaya Einstein lebih hebat dari Tuhan)

Salat merupakan kewajiban bagi ummat Islam yang mayoritas di republik ini. Di Jakarta yang serba macet dan materialistik untuk mencari waktu dan ruang Salat dalam suasana bisnis atau sibuk bekerja, menjadi terasa susah. Salat Ashar biasanya sudah biasa dilakukan dekat dekat azan Maghrib. Cari tempat salat di perkantoran atau mall biasanya dapat sisa ruangan gudang atau tempat parkir.

Mengapa demikian? Mayoritas hal ini terjadi karena pemimpin-pemimpin negeri ini kurang menghargai mulianya Salat. Dalam hal ruang ruang publik, khususnya swasta, karena ruang publik tersebut dikontrol orang-orang yang tidak memikirkan Salat. Tentu beberapa tempat, seperti mal mal elit di Jakarta, sudah mulai membangun musholla yang luxorius, memanjakan konsumen muslim. Namun ini sesuatu yang terbatas keberadaannya. Sebuah terobosan besar dari Gubernur Anies adalah memberikan ruang salat pada setiap halte bus Transjakarta. Sebuah perubahan besar.

Dengan cintanya Anies terhadap salat, tentu kita berharap sebuah gerakan besar cinta Tuhan akan terjadi di Jakarta. Sebagaimana dalam agama Islam, Salat disebutkan sebagai tiang agama, maka dapat diharapkan gerakan Salat nya Anies akan mengurangi jumlah aparatur negara yang selama ini banyak terjebak budaya dalam dualitas konyol, habis korupsi langsung salat. Atau ikut zikir dan sumbang Masjid sambil makan uang korup.

Op Tijd dan Cinta Salat tampaknya menjadi ikon leadership Anies Baswedan. Ini sebuah awal revolusi mental. Semoga tidak mental-mentul (terpental-pental) seiring waktu.

Bravo Anies Baswedan!

Op Tijd, Ashar dan Leadership Anies Baswedan

Salah satu adegan dalam film "The Titanic" yang berkisah tentang tenggelamnya kapal pesiar termewah di abad 20. (Sumber gambar: waktudahulu.blogspot.com)

SekolahMurabbi.com - Sombong hanyalah awal cerita kaum Sodom yang menolak ketika diingatkan Luth sang Nabi. “Berhentilah mengingatkan kami, kalian itu hanya orang-orang yang sok suci.”

Sombong hanyalah awal cerita Fir’aun yang dengan nada mengejek meminta Haman membangun gedung tinggi. “Agar aku dapat naik menemui Tuhan Musa, sebab kuyakin ia kali ini benar-benar berdusta.”

Sombong juga hanya awal cerita Titanic di permulaan abad 20, kapal laut besar mahakarya White Star Line yang memiliki julukan nan angkuh, “The Unsinkable”.

Kesudahan ketiga cerita menjadi pengingat bagi kita bahwa tak ada siapapun makhluk melata yang perkasa.

Sodom, misalnya. Ketika kemaksiatan menjadi mayoritas dan hanya tersisa Nabi Luth as. dan anak-anaknya saja, ingatlah kebenaran senantiasa bukan urusan jumlah.

Pendaku Tuhan dari lembah Nil, sang Fir’aun yang ‘agung’, sungguh tak perlu membangun gedung melambung untuk menemui Tuhan Musa. Sebab tenggelam di Laut Merah sudah cukup untuk mengirimnya ke neraka. Jabatan tinggi dan balatentara yang banyak tak ada apa-apanya jika digunakan untuk menentang kebenaran.

Titanic! Nasibnya sama sekali berbeda dengan Olympic, kembarannya yang diluncurkan lebih dulu. Sumber sejarah menyebut Titanic adalah kapal pesiar paling mewah. Dengan dimensi 269 x 28 meter, kapal uap ini mampu menampung 3.000 orang lebih dengan fasilitas yang wah. Kemegahan menakjubkan, sampai-sampai memunculkan istilah, “Tuhanpun tak akan sanggup menenggelamkannya.” Berlayarlah ia untuk pertama sekaligus terakhir kalinya.

Akhir-akhir ini, betapa kita melihat banyak sejarah terulang terjadinya di dekat kita. Di dunia maya—dunia bentukan teknologi manusia—ada pasukan yang kelihatannya begitu besar menggaungkan berbagai isu untuk mendukung kebijakan tokohnya. Sekalipun kebijakan itu sama sekali tak berpihak pada rakyat kecil. Isu-isu mereka gerakkan dengan aktif seakan suara dari rakyat jelata—rakyat yang mungkin tidak pernah tahu ada yang namanya dunia maya.

Mereka sepakat menyetujui proyek reklamasi yang katanya menguntungkan rakyat tak peduli ada berapa banyak rakyat pesisir yang menjadi pengangguran. Mereka setuju dengan isu relokasi yang katanya memodernkan rakyat tak peduli berapa banyak rakyat yang semakin jauh dari mata pencaharian. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Betapa pula dengan sombongnya mereka baru-baru ini menantang Sang Pemilik Alam. “Hujan sudah berhari-hari, kok kota ini tidak banjir-banjir ya?” Seolah ketiadaan banjir adalah bukti keberhasilan tokoh junjungan. Mereka angkuh. Mereka sombong. Mereka lupa tak punya daya untuk mengatur kekuatan alam.

Mereka lupa kaum Sodom kalah melawan Nuh seorang sebab Nuh berkebenaran. Mereka lupa—atau pura-pura lupa—bahwa balatentara Fir’aun tak berdaya menghadapi serdadu Pemilik Kebenaran. Mereka lupa Titanic tamat riwayat hanya karena bongkahan es di lautan.

Sombong hanyalah awal cerita. Binasa adalah kesudahan. (yf)
By.

Sombong Hanyalah Awal Cerita

Sumber gambar: suaramerdeka.com
SekolahMurabbi.com - Sulit sekali memikirkan solusi ketika kau terjebak antara lautan luas tak berkapal di hadapan dengan kejaran musuh beraroma kematian dari belakang. Bani Israil, kala itu dipimpin oleh Nabi Musa as, mungkin mengira perjuangan mereka akan berakhir di pantai laut Merah. Perkiraan yang sangat masuk akal itu terbantahkan setelah Allah perintahkan sang Nabi untuk membelah laut dengan pukulan tongkatnya. Kemudian hanya ada keajaiban yang tidak masuk akal. Air tidak hanya menyelamatkan Bani Israil dari kisah tragis tapi juga mencabut nyawa Firaun dan bala tentaranya yang sadis bengis.

Ketika sepasukan besar pimpinan Abrahah menyerbu Makkah, Abdul Muthalib yang menjaga Ka’bah hanya bisa pasrah. Wajar kalau ia berpikir bangunan bersejarah itu sebentar lagi akan rata dengan tanah. Lalu Allah mengirim burung-burung yang membawa batu dari sijjil.

Dalam musim dingin yang amat sangat, musuh bersiaga di depan menanti-nanti kelengahan penjagaan sementara kau diliput rasa takut dan lapar karena sekutu perangmu berkhianat; apa yang bisa kaulakukan? Para sahabat Rasulullah di masa perang Khandaq tak bisa berbuat banyak. Beberapa mulai tumbang berguguran karena kelaparan. Siapa yang menjadi juru selamat? Pasti Allah Yang Maha Perkasa. Badai dingin tiba-tiba saja bertiup memporakporandakan kemah-kemah Quraisy dan Ghatafan. Kaum yang ingkar itu luluh lantak.

Ketika usaha sudah maksimal dan kemudian hanya ada jalan buntu kautemui di sana, serahkan saja semuanya pada Allah. Ketika tawakkalmu benar, Allah akan mengirimkan bala bantuan yang tak terlihat, tentara yang tak disangka-sangka.

Hari-hari ini, kita ditunjukkan pada sebuah pemahaman bahwa siapapun yang menguasai media, ia telah memiliki segalanya. Lalu dengan segala kecongkakannya, ia seolah bebas melakukan apa saja. Menghina, menghardik, mencaci siapapun yang berseberangan.

Di hadapan kekuatan raksasa yang dimilikinya itu, kita kemudian merasa kecil sekali. Upaya kita meluruskan berita yang disimpangsiurkan, hoax-hoax yang bertebaran, hasil survei bayaran dan fitnah-pelecehan-caci-maki yang gencar seperti mencelupkan setetes air di lautan. Rakyat yang sudah terbiasa serba instan cenderung mengasup informasi dari media-media kelas satu yang dulunya kredibel.

Berhentikah kita?

Melihat Musa yang baru berhenti ketika sudah tak bisa lagi meneruskan perjalanan, Abdul Muthalib yang baru pasrah setelah upayanya sia-sia, para sahabat Rasulullah yang terus bersiaga sampai ajal tiba; rasanya perjuangan kita belum seberapa. Sebelum seluruh akses diblokir, tangan kaki dibelenggu, mulut-mulut dibekap, dan tubuh-tubuh dipenjara; kita masih punya kewajiban untuk berjuang.
By.

The Unpredictable Armies



SekolahMurabbi.com -  Ibu minta diantar belanja kepasar malas-malasan, malah cari seribu alasan supaya jangan dia yang ngantar. Tapi kalau pacar yang minta jangankan ngatar, diajak keliling pasar sampai pusing pun dijabanin. Coba bayangkan sakitnya dimana tu?.
Kalau  jalan-jalan sama pacar dunia ini serasa milik berdua, selfianlah, inilah, itulah dan kalau jumpa sama kawan ngenalin pacarnya bagaikan pangeran tampan atau cinderella yang super cantik. Coba kalau jalan sama orang tuanya dunia ini gelap bagaikan gelap. Bagaimana nggak gelap coba mukanya ditutup-tutupin, mulutnya dimoyong-moyongin, matanya disipit-sipitin biar kalau jumpa sama kawan bisa pura-pura nggak lihat. Kalau ditanyai  pergi bareng siapa jawabnya ae...ae..ae...mungkin bisa jadi beda sih kalau orang tuanya kaya, modis dan lain-lain.
 Kakak atau adek minjam barang tiba-tiba rusak dikit,  marah atau ributnya tu kayak ayam kampung lagi bertelur. Coba kalau pacar yang rusakin, mau rusak  dikit  atau  rusaknya parah maka akan keluarlah ucapan “nggak  apa Yang!!! nanti diperbaiki kalau nggak bisa diperbaikin lagi nanti aku minta beliin yang baru sama mama aku” dengan suara yang super dilembut-lembutkan.
“Jangankan orang tua kawan pun akan ku dzalimi”
Cocok tu untuk judul film. “Rugi lo ganteng, pacar aja nggak punya, gue yang wajah pas-pasan bisa gandeng enam”.
“Iihh lo Masak mau jadi jomblower sejati, lihat gue mau jalan-jalan tinggal ngajak pacar, mau kemana-mana ada yang nganterin, mau makan apa aja ada yang beliin. Nah lo mau kemana-mana naik angkutan umum, mentok-mentok diantar sama ayah  atau abang lo sendiri”. “Dunia ini akan indah bila punya pacar” (ingat surganya Allah lebih indah). Orang yang memiliki pacar akan dengan senang hati membully kawanya yang jomblo. Bully yang sering dilontarkan akan membuat kawanya juga akan terjerumun dalam kemaksiatan . Akhirnya dengan senang hati Om Setan akan berkata “Terima kasih karena telah membantu Oom untuk mengajak kawan kalian melakukan maksiat dan Oom janji kita akan bersenang-senang di neraka nanti”.
Betul nggak sahabat Sekolah Murabbi kalau Pacar Itu Mendzalimi?.
Sahabat sekolah murabbi pernah nggak merasa dizhalomi sama orang yang pacaran atau sama pacarnya sendiri?. Nanti bisa dibuat judul film selanjutnya dengan judul.
“Akupun terdzalimi oleh pacarku sendiri”

Sahabat Sekolah Murabbi yok Sharing mungkin Sahabat punya cara atau trik-trik  untuk menangkal Bully-an dan perasaan terdhalimi dari orang yang pacaran.

Pacaran Itu Menzhalimi


SekolahMurabbi.comAkhir-akhir ini, kita kerap terpapar dengan singkatan di atas. Ya, secara tidak langsung kelompok LGBT telah menyebar diseluruh negeri mulai dari Indonesia bahkan pada beberapa negara di dunia. LGBT merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. LGBT adalah sebuah gangguan yang terdapat dalam DSM IV-TR (Diagnostic Statistical of Mental Disorder). Buku DSM ini adalah sebuah buku pedoman bagi para psikolog atau psikiater dalam mendiagnosa gangguan yang terjadi pada pasiennya.


Namun, dunia dengan cepat berubah. Teknologi juga mengalami pergeseran yang pasti. Kini, LGBT kian berkembang dan membentuk komunitas tersendiri. Bahkan, beberapa negara di dunia pun mendukungnya dengan tidak meletakkan LGBT pada DSM V (buku terbaru) sebagai sebuah gangguan atau kelainan yang menyimpang. Ini tandanya bahwa LGBT sudah dianggap prilaku yang wajar.

Tidak sama halnya dalam agama Islam. Indonesia sebagai mayoritas penduduk yang beragama Islam tentu memiliki pemahaman tersendiri terkait prilaku LGBT. Mari kembali melihat pada fitrahnya manusia pada ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia secara berpasang-pasangan.

Dari segi dunia psikologi, kita akan melihat munculnya prilaku seseorang dari berbagai aspek, termasuk sosial, keluarga, genetik dan sebagainya. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang memunculkan sebuah prilaku. Nah, untuk itu menarik jika terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan apa penyebab seseorang melakukan suatu tindakan/ perilaku. Untuk apa? Hal ini, membantu kita para praktisi kesehatan mental atau medis mencari akar permasalahan dan mencari solusi terbaik untuk menangani setiap kasus yang marak terjadi pada akhir zaman ini.

Tidak ada suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan izin Allah. Jika diibaratkan LGBT adalah sebuah penyakit, tentunya juga bisa disembuhkan/terapi. Ada beberapa ahli-ahli khusus yang menangani masalah-masalah ini, seperti psikolog, terapis, psikiater dan tentunya ahli agama. Penulis berharap akan ada terbentuknya sebuah sarana rehabilitasi bagi mereka yang ingin sembuh agar bisa kembali kepada fitrahnya manusia sejati. Layaknya pusat rehabilitasi narkoba, mereka juga akan diberikan terapi dan konseling khusus untuk diberikan penanganan-penanganan khusus sesuai dengan akar permasalahan yang mereka alami.

Akhir kata, setinggi apapun ilmu yang kita miliki, sehebat apapun gelar yang kita sandang, semua tak akan mampu menyaingi nilai-nilai agama yang kita anut. Percayalah, jika kita kembali pada pedoman dan kepercayaan yang kita anut, saya yakin tak ada satu agamapun yang membolehkan hubungan sesama jenis. Sebab, hakikat tertinggi adalah agama, yang membuat diri kita teratur dalam menjalankan hidup ini. Oleh karena itu, marilah kita sebagai individu yang mungkin berdekatan dengan mereka, membawa pola pikir mereka kepada hakikat dan fitrahnya manusia. Tidak menjauhi atau bahkan mencaci maki, meski kita menolak tegas prilakunya. Selanjutnya, kita ajak mereka kepada para ahli untuk proses penyembuhan. Penulis sadar, tidak ada sesuatu yang instan. Tapi, Insya Allah dengan terapi yang rutin disertai dengan penguatan agama yang baik, mereka akan segera sembuh dan kembali menjalani kehidupan seperti biasanya. Wallahu a’lam bish shawab.




Farah Febriani

Penulis bernama Farah Febriani. Mahasiswi jurusan Psikologi FK Unsyiah. Hobi membaca, menulis, MC dan traveling. Saat ini sedang merampungkan novel yang berjudul “Diantara Istikharah Cinta”. Beberapa cerpen dan puisi telah diterbitkan dalam buku antologi. Alumni sekolah murabbi angkatan ke-2.
By.

LGBT


SekolahMurabbi.com - Ketika kita mencoba mengait-ngaitkan batu dengan manusia, maka yang paling sering kita temukan adalah sejumlah konotasi negatif. Siapa yang tak hafal legenda Malin Kundang? Ia dikutuk oleh ibunda karena kedurhakaannya. Konon, Malin berubah menjadi batu.

Para sejarawan menggambarkan zaman batu sebagai zaman yang terbelakang. Mereka masih tinggal di gua-gua, belum mengenal pertanian dan berburu dengan senjata batu. Kala itu, sama sekali belum ada tulisan. Ketiadaan tulisan menjadi salah satu alasan kuat untuk mengambil kesimpulan: manusia yang hidup di zaman batu memiliki IQ yang sangat rendah.

Di kehidupan sehari-hari, kita menemukan istilah ‘kepala batu’ dialamatkan kepada orang yang tidak mau diatur, maunya buat aturan sendiri. Pemimpin yang masa bodoh dengan kesejahteraan rakyatnya dicap sebagai pemimpin ‘berhati batu’. Orang yang sangat pelit dijuluki ‘ketam batu’. Dan seterusnya. Tak sedikit pula nama penyakit yang dikaitkan dengan batu: batu karang, jerawat batu, pekak batu.

Di bagian awal Al-Baqarah, Allah mendeskripsikan kekerasan hati Bani Israil seperti batu atau bahkan lebi keras. Ini disebabkan tabiat mereka yang banyak tanya dan banyak minta. Nama surah Al-Baqarah sendiri diambil dari salah satu kisah banyak-tanya mereka ketika Nabi Musa as. menyuruh kaumnya itu menyembelih sapi betina.

"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras.”

***

Tapi mari kita lihat dua kisah yang mencengangkan ini. Keduanya masih dalam topik yang sama: batu dan manusia.

“Lalu apa yang kau masak itu?” tanya Amirul Mukminin.

“Itu hanya batu. Kulakukan untuk menenangkan hati anakku yang kelaparan.”

Ini kisah nyata. Terjadi ketika paceklik melanda kota di zaman pemerintahan ‘Umar ibn Khaththab ra. Waktu itu sang khalifah sedang ‘blusukan’, kebiasaannya yang dilakukan diam-diam di gelap malam. Ketika mendengar tangisan anak kecil yang kelaparan, beliau menyambangi rumah itu. Terjadilah percakapan di atas. Khalifah yang menyaru sebagai rakyat jelata bertanya kepada sang ibu, apa sebab anaknya menangis. Wanita itu menjawab bahwa ia tak lagi punya persediaan makanan untuk dimasak, karenanya anaknya kelaparan. Terpaksa ia mengibuli buah hatinya dengan menanak batu dalam periuk hingga anaknya tertidur.

Batu-batu itu seketika membuat ‘Umar ketakutan. Ia takut tak mampu mengemban amanah dengan baik. Ia takut Allah akan mengazabnya karena telah membiarkan seorang rakyatnya kelaparan. Malam itu juga, ‘Umar menunggang kudanya ke Baitul Mal, mengambil sejumlah cadangan makanan lalu mengantarnya sendiri ke kediaman wanita tadi.

Beberapa dasawarsa sebelumnya, Mekkah gaduh ketika Quraisy merenovasi Ka’bah. Setiap kabilah merasa paling berhak untuk memindahkan sebuah batu yang telah bergeser dari tempatnya semula. Ini berlanjut sampai empat-lima hari bahkan hampir terjadi pertumpahan darah karenanya. Hingga akhirnya Abu Umayyah ibn Al-Mughirah mengusulkan siapa yang pertama kali datang esok paginya ke tempat tersebut menjadi orang yang paling berhak untuk meletakkan batu ke posisinya.

Esoknya, ada seorang pemuda yang datang pertama kali ke situ. Sesuai perjanjian, dialah yang berhak memindahkan batu. Namun ia tak serta-merta melakukannya. Pemuda itu, yang memang terkenal dengan keindahan akhlaknya, merentangkan sehelai selendang lalu meletakkan batu di atasnya. Ia memanggil setiap pemuka kabilah untuk memegang di ujung selendang dan bersama-sama mengangkatnya ke dekat tempat semula. Pemuda itu lalu mengambil batu tersebut, Hajarul Aswad, dan meletakkannya di tempat semula. Nama pemuda itu adalah Muhammad saw.

Kisah pertama berbicara tentang tanggung jawab. ‘Umar yang bertemparen keras ternyata tak memiliki hati batu. Beliau paham betul arti amanah dan tanggung jawab. Hatinya dilanda takut kepada Allah. Lihatlah bagaimana ia menebus rasa bersalahnya karena telah ‘membiarkan’ anak kecil menangis kelaparan.

Kisah kedua, yang sudah tak asing lagi bagi kita, sepenuhnya pesona tentang akhlak. Rasulullah tak memilih memenangkan ego ‘batu’, mengangkat sendiri Hajarul Aswad, padahal beliau sangat mungkin dan boleh melakukannya. Apa yang beliau lakukan kemudian justru membuatnya semakin dikagumi umat manusia.

***

Cerita tentang batu tidak berhenti di situ. Di zaman modern ini, anak-anak Palestina masih terus menjadikan batu sebagai senjata untuk melawan penjajah Israel yang kepala dan hatinya terbuat dari batu.

Mungkin karena sejarah yang panjang, arus modernitaspun gagal membendung pesona batu di mata manusia. Sampai saat ini, masih saja ada manusia yang mengkeramatkan batu akik dan giok di jemarinya.

Tapi memang sudah demikian takdirnya. Batu akan terus mengiringi sejarah hidup manusia, terutama mereka yang ingkar kepada Tuhannya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
By.

Batu dan Sejarah Manusia


SekolahMurabbi.com - Di sela-sela mengajar suatu hari, saya iseng bertanya kepada anak-anak: “Bagaimana rasanya hidup di asrama?” Saya mengajar di sebuah sekolah berasrama di Aceh Besar.

Seperti yang saya duga sebelumnya, hanya ada satu jawaban yang muncul: “Tidak enak”. Di balik itu, ada berbagai alasan untuk membenarkan. Jauh dari orang tua, makanan tidak enak, sedikit waktu bermain, hampir semua dikerjakan sendiri, dan sebagainya.

Saya lalu bertanya lagi, “Terus yang enaknya seperti apa?”

Jawabannya mulai beragam.

“Asal setiap hari bisa bertemu orang tua,” kata salah satu dari mereka.

“Yang penting makanannya kayak di rumah. Enak!” celetuk yang lain.

“Maunya jadwal tidak padat kayak gini,” timpal yang lain lagi.

Yang duduk dekat dinding menambahi, “Ada mesin cuci, biar tidak capek cuci baju sendiri.” Seisi kelas berderai tawa.

“Penting tidak bertemu orang tua tiap hari?” tanya saya lagi.

“Penting, penting,” jawab mereka hampir kompak. Tapi tiba-tiba yang duduk di dekat dinding tadi nyeletuk telat, “Kayaknya gak juga. Gak penting-penting sekali.”

Teman di sampingnya menyahut, “Iya. Mengapa harus tiap hari?”

Kelas mulai gaduh. Mereka mempertahankan pendapat masing-masing.

“Anak-anak, itulah namanya manusia.” Pernyataan saya membuat mereka terdiam.

Setelah kelas cukup tenang, saya melanjutkan, “Setiap manusia punya standar hidup ‘enak’ masing-masing. Ada yang menganggap hidup ini ‘enak’ asal tiap hari bisa bertemu orang tua. Tapi ada juga yang tidak mempermasalahkan itu.”

“Kalian lihat pengemis di lampu-lampu merah? Standar ‘enak’ mereka adalah bisa makan sehari sekali. Tak peduli makanan itu enak atau basi. Asal masih bisa dimakan, itu sudah cukup.”

Mereka serius memperhatikan. Beberapa saya lihat mengangguk-angguk.

“Kalau kalian pernah bertemu dengan saudara-saudara kita yang putus sekolah, mungkin standar ‘enak’ dalam hidup mereka adalah bisa bersekolah. Bandingkan dengan kalian. Apa yang kalian katakan tidak enak sekarang ternyata adalah hidup enak yang diinginkan orang lain, bukan?”

Kali ini beberapa mulai menunduk. Saya sengaja jeda beberapa detik untuk memberi mereka waktu berpikir.

“Jadi,” lanjut saya, “kalau mau hidup di asrama terasa enak dan nyaman, turunkan standar hidup kalian. Jadilah pribadi yang tidak cengeng, jadilah pribadi yang tangguh, jadilah pribadi yang tidak sebentar-sebentar ingat orang tua. Merantau adalah resiko penuntut ilmu. Ia terasa pahit tapi yakinlah, kelak buahnya akan manis.”

“Kalau kalian mau menerjemahkan ‘enak’ secara sederhana, itu tak hanya membuat kalian bisa menikmati hidup, tapi juga wujud dari bentuk syukur kepada Allah. Bayangkan, kapan kalian bersyukur jika setiap hari mengeluhkan makanan asrama yang tidak enak? Bayangkan pula betapa nikmatnya hidup di asrama kalau kalian menyadari bahwa di luar sana masih banyak saudara kita yang hanya bisa makan sekali sehari?”

“Anak-anakku, jika kalian terbiasa dengan standar ‘enak’ yang tinggi kelak kalian akan mudah susah, rapuh, galau, lemah ketika standar itu tidak kalian capai. Coba kalian pikir kalau Kurikulum 2013 ini KKM-nya 95. Yang naik kelas tiap tahun bisa dihitung jari. Bisa-bisa tidak ada. Betul?”

Setelah mereka mengangguk, saya lanjutkan lagi, “Tapi kalau kalian biasa dengan standar ’enak’ yang rendah, kalian akan tumbuh tahan banting, pekerja keras, dan tidak cengeng.”

“Hebatnya lagi, standar hidup itu bisa kita ciptakan masing-masing.”

Saya melihat ada yang berubah dari wajah-wajah mereka. Ah, semoga itu semangat perubahan. Semoga itu keinginan menurunkan standar ‘enak’.
By.

Standar Hidup ‘Enak’ dan ‘Tidak Enak’


SekolahMurabbi.com -  Indonesia, sebuah negeri yang memiliki kekayaan yang sangat luas. Kekayaan dari berbagai sisi budaya, bahasa, hasil pangan, lautan, hingga hutan dunia ada didalamnya. Sebuah lagu yang didendangkan band legendaris "Koes Plus" mensyairkan:
Bukan lautan tapi kolam susu, ikan dan udang menghampiri dirimu
Bukan lautan tapi kolam susu, kayu dan batu menjadi tanaman.
Inilah syair yang memantaskan Indonesia bagaikan surga dunia. Apapun bisa jadi apa-apa disebuah negeri Indonesia ini.

Tentu saja dibalik semua keindahan itu, kenyamanan itu terdapatlah orang-orang yang mengelolanya menjadi benar-benar surga dunia. Berbagai karya anak bangsa telah diluncurkan, telah diciptakan dengan sangat baik, dari mulai alat canggih Pemutus Kanker, Pesawat N250, Mobil hemat ESEMKA dan banyak karya lainnya. 

Saat ini Indonesia sedang sakit, MEA telah datang namun banyak belum siap dengan ini. Butuh obat untuk memperbaiki sikap dari yang memiliki wewenang untuk sebuah karya hebat. N250 yang diputuskan kontraknya, alat terapi kanker yang dianggap ilegal, hingga mobil ESEMKA yang dianggap berbahaya. 

Indonesia sakit yang sedang diuji oleh pemilik negeri ini. Ketika karya hebat ditolak, dijauhkan, hingga diacuhkan di negeri sakit ini dan saat itulah negera berkembang hingga maju menggaet karya hebat ini. Lalu Negeri ini semakin bertambah sakit, semakin sekarat hingga kejatuhan akan benar-benar terjadi melihat sikap yang berwenang acuh tak acuh, dan saling menyalahkan satu sama lain.

Perubahan tidak akan terjadi bila tidak adanya kerjasama yang baik. Perubahan yang terjadi bila semua orang, masyarakat sadar adanya sebuah perbaikan pada diri sendiri. Kurangi menyalahkan pemerintah tentang keadaan negeri sakit ini. Bekerja dengan baik, ikhlas dan sabar. 

Pemuda yang segera akan menggantikan semua tatanan sosial masyarakat, budaya hingga pemerintahan harus punya prinsip yang kuat. Perbaiki setiap kebiasaan buruk pada diri, jauhi sikap acuh tak acuh mulai peduli pada lingkungan sekitar. Contoh para pemuda sekaliber Ali bin Abi Thalib yang cerdas, Salman Al Farisi yang brilian, Muhammad Al Fatih yang Pemberani hingga belajar pemerintahan selayaknya Umar bin Abdul Aziz.

Pemuda yang tak goyah akan gemerlap dunia, pasti mudah menyembuhkan negeri yang sakit ini. Hanya sebuah kejelian dan kerja keras serta tawakkal pada Yang Maha Kuasa negeri ini akan menjadi yang kita harapkan. Sebuah negeri yang kaya dan surga dunia sehingga negeri  Indonesia dapat menjadi Baldatun Tayyiban wa Rabbun Ghaffur.

Rintik Hujan untuk Negeri Sakit
11 Januari 2016
Pemuda Peduli Bangsa
By.

Indonesia, Negeriku yang Sedang Sakit


SekolahMurabbi.com - Kaum itu punya kemampuan yang hebat: membangun rumah dengan cepat hingga sistem pengairan yang efektif. Namun suatu ketika kaum itu hilang dari permukaan bumi, tanpa jejak, dan hanya tinggal sejarah. Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?

Sejarah mencatat kaum ini hilang ditelan bumi, dihancurleburkan tanpa tersisa disebabkan oleh perilaku mereka yang aneh. Perilaku menyukai sesama jenis: pria dengan pria, dan wanita dengan wanita. Padahal telah diutus seorang nabi kepada kaum itu untuk menyadarkan perilaku aneh mereka, namun mereka tetap tidak sadar dan terus menerus menyimpang. Apakah nabi tersebut gagal? Tidak sama sekali. Inilah yang menjadi ibrah bagi kita semua untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Beribu-ribu tahun kemudian, perilaku aneh ini muncul kembali dengan nama yang keren, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Dengan pemahaman yang semakin masif ditambah logika aneh para pendukungnya, LGBT kini menjadi hal yang diperjuangkan atas nama kebebasan. 

Sudah banyak negara yang telah melegalkan LGBT, perkawinan sesama jenis hingga hak seorang bencong dibuatkan undang-undang pelegalannya. Bukan tidak mungkin Indonesia (negara muslim terbesar) ini akan melegalkan LGBT ini. Kenapa? Karena orang-orang yang paham bahayanya, paham dampak buruknya hanya diam dan hanya pasrah saja.

Kita tidak ingin sejarah kaum itu terulang. Maka sudah seharusnya kita menolak dengan tegas perilaku aneh LGBT ini. Pahamkan dengan baik masyarakat sekitar kita akan bahaya perilaku ini dari berbagai segi kehidupan, baik dari segi kesehatan, sosial dan budaya. Bergeraklah dengan masif selayaknya pendukung LGBT bergerak. Yang berada dalam pemerintahan tolak dengan tegas. Kalau bisa, buat UU Anti LGBT. Sebagai guru, ajarkan dengan baik anak-anak tentang bahaya perilaku aneh ini. Sebagai ustaz atau guru agama, ajarkan dampak serta azab yang akan terjadi bila perilaku aneh ini terus menerus terjadi. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah terpengaruh dengan LGBT; apakah dimusuhi dan dijauhkan? Tidak dan jangan sesekali melakukan itu. Korban perilaku aneh ini masih dapat disembuhkan dengan normal. Rehabilitasi dan sosialisasi dengan baik dan sopan santun. Semua orang masih dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka ini hanya salah orientasi saja, perbaiki dan pahamkan dengan baik orientasi yang benar seperti apa. Serta tentunya ketaatan pada Allah SWT akan senantiasa menjaga kita dari perilaku aneh ini.

Selasa,9 Februari 2016
Puskomda Aceh
By.

LGBT, Lawan!



SekolahMurabbi.comBerbohong adalah sebuah tindakan yang dibenci nabi SAW, walau dalam keadaan bercanda sekalipun. Sebuah kebohongan akan diikuti kebohongan lain untuk menutupi kebohongan pertama. Maka seseorang yang pernah berbohong sekali, akan sulit bagi orang lain untuk memercayainya kembali. Bahkan ada pepatah yang mengatakan “sekali berbohong, selamanya tidak dapat dipercaya”.
“ah, gak mau dengar, pembohong!”



Terkadang sering dalam lingkungan pergaulan sesama teman, kita temui tindakan-tindakan usil yang bertujuan untuk mengelabui. Pada akhirnya, kebiasaan usil itu melahirkan ke-kurangpercaya-an teman terhadap dirinya. Akan sertamerta dituding bohong jika orang tersebut membicarakan sesuatu. Hatta saat dia sedang serius sekalipun. Belum apa-apa sudah dituduh. Padahal tindakan menuduh tanpa bukti sama saja dengan fitnah. Pada akhirnya kita malah memfitnah orang lain berbohong.

“alah, mana ada. Bohong!”
“gak percaya, pasti kamu bohong!”

Rasulullah punya pengalaman pahit perihal tuduhan berbohong. Ketika beliau menyampaikan suatu berita benar kemudian semua orang mendustakannya. Yakni ketika peristiwa isra mi’raj. Adalah Abubakkar ra. satu-satunya orang yang membenarkannya seraya berkata :

”Jika memang benar Muhammad yang mengatakannya, maka dia telah berkata benar dan sungguh aku membenarkan lebih dari itu.”

Maka nabi SAW sangat tahu bagaimana rasanya dituduh berbohong, padahal ia berkata benar. Untuk itu Islam menyuruh umatnya untuk tidak menerima mentah-mentah atau menolak mentah-mentah sebuah berita tanpa tabayyun terlebih dahulu. Jangan seperti para pembenci Nabi. Menuduh tanpa bukti dan tidak mau mengakui kebenaran karena kesombongannya.

Sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah :
“sombong adalah tidak mau menerima kebenaran dan menganggap rendah orang lain “

Tidak menuduh orang lain berbohong adalah tindakan menghargai lawan bicara. Bukankah setiap kita akan merasa senag jika dihargai?


Jangan tuduh dia berbohong!




SekolahMurabbi.com - Apa yang kaulakukan ketika angklung diklaim Malaysia sebagai warisan budaya negaranya? Bisa jadi kau marah, menggelar demonstrasi atau sekedar memelintirkan nama negara jiran itu menjadi Malingsia. Intinya, kau tidak senang, Kawan. Aku juga sama. Ketika kita ditanya kenapa begitu ngotot mempertahankan angklung, jawabannya adalah karena angklung warisan budaya Indonesia turun-temurun. Selaku generasi kesekian dari bangsa ini, salah satu tugas kita adalah melestarikan peninggalan budaya.


Jawaban yang luar biasa.





Tapi ada pertanyaan lain, Kawan. Apa yang kaulakukan ketika budaya bangsamu justru dirusak oleh dirimu sendiri? Mungkin kau tidak segera menjawab, malah sambil mengernyitkan dahi mengajukan pertanyaan balik. Mana budaya bangsa yang saya rusak?



Baiklah, mari kita diskusi, Kawan. Definisi budaya menurut KBBI kita adalah adat istiadat, sedang adat istiadat berarti “tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat”.



Negara kita adalah negara timur, negara yang dikenal santun dan kokoh pada prinsip-prinsip ketimurannya. Atau boleh juga kita katakan, negara kita memiliki budaya yang santun dan ketimuran. Dua hal ini lantas tercermin dalam berbagai aktivitas, salah satunya adalah perayaan tahun baru masehi. Dulu, nenek moyang kita memperingati tahun baru dengan gaya timurnya yang santun. Masuknya tahun baru dijadikan momentum untuk bersyukur atas nikmat Tuhan.



Lho, ini kok jadi bahas tahun baru? Iya, sebab bagaimana sebuah bangsa menyambut tahun baru adalah budaya. Dan budaya kita adalah bersyukur, bukan membakar kembang api, petasan, mercon, meniup terompet atau membunyikan klakson kendaraan di jalan. Para pendahulu kita tidak mewariskan budaya aneh semacam itu.



Tapi seluruh dunia merayakan dengan cara yang sama. Siapa bilang? Arab Saudi yang kental dengan keislamannya biasa-biasa saja. Tidak ada ritual mubazir itu di sana. Okelah, mungkin kau akan berdalih dengan Islam-nya. Jepang, negara kecil di Asia Timur, penduduknya beragama Shinto, justru tidur lebih awal di malam tahun baru. Mereka lebih senang merayakan tahun baru di pagi harinya dengan pergi ke kuil seraya memanjatkan doa. Jadi siapa bilang seluruh dunia merayakan tahun baru dengan cara yang sama?



Hanya bangsa yang tidak memiliki identitas saja, atau bangsa yang malu dengan jati dirinya saja, yang suka ikut-ikutan menjiplak identitas bangsa lain.



Ayolah, kita buka mata dari sekarang. Rasanya sudah terlalu lelah melihat pemimpin-pemimpin kita menjadi pengekor setia negara-negara adikuasa. Padahal mereka, negara-negara adikuasa itu, tak pernah menjamin kesejahteraan bagi pengikutnya. Cukup sudah ikut-ikutan tak berdasar itu. Kenapa kita tak henti-hentinya mengkritik kebijakan pemerintah padahal diri sendiri juga melakukan hal yang sama? Siapa yang kita ikuti ketika merayakan tahun baru dengan petasan, kembang api dan sebagainya itu?



Maka mulai sekarang, mari menjadi generasi yang tak setengah-setengah melestarikan budaya. Generasi yang tak senang jika budayanya dijiplak tapi juga tak suka memiliki budaya menjiplak. Mari merasa bangga dengan budaya timur kita yang tak suka pemborosan dan perbuatan sia-sia. Saatnya kita munculkan jati diri bangsa kita yang sesungguhnya. Jati diri yang akan membuat bangsa kita dikenal di mata dunia.
By.

Menjadi Bangsa Yang (Tak) Dikenal


SekolahMurabbi.comTak ada da’i yang tak sibuk. Sejak bangun pagi, sejumlah agenda sudah menantinya sampai menjelang matanya tertutup kembali di larut malam selanjutnya. Mulai dari mengikuti kajian, mengisi halaqah, mengunjungi binaan, hingga bekerja mencari ma’isyah. Kesibukan ini makin menjadi-jadi apabila sang da’i juga seorang aktifis mahasiswa. Selain tugas keda’iannya, ia juga harus menghadiri rapat dan agenda-agenda organisasi di samping juga mengikuti perkuliahan di kelas-kelas kampus. Pokoknya sibuk!

Kesibukan-kesibukan ini lantas memunculkan fenomena baru yang sedikit menyesakkan dada ketika mendengarnya. Berdalihkan agenda lain, da’i yang mahasiswa terlambat masuk kelas. Dosennya sudah memulai perkuliahan sekitar lima menit yang lalu. Beralasankan acara lain, seorang da’i yang aktifis telat menghadiri musyawarah di organisasinya. Padahal peserta rapat sudah menunggunya dalam waktu yang lama.

Ini sungguh fenomena yang—saya menyebutnya—menyesakkan dada. Bagaimana tidak, bukankah ini teladan yang tidak baik untuk ditiru? Padahal sebaik-baik dakwah adalah keteladanan. Ketika seorang da’i gagal menyampaikan keteladanan kepada mad’unya, mengapa kemudian ia berpikir orang-orang di lingkungannya akan mendengarkan ucapannya? Coba antum bayangkan, ketika seorang da’i terlambat masuk kelas, apa yang dipikirkan oleh dosen dan mahasiswa di dalam kelas? Atau ketika da’i telat menghadiri rapat, apa yang ada di benak saudara-saudaranya yang telah menunggu sejak lama?

Saudaraku, uswatun hasanah-nya Rasul saw. yang mulia, saya yakin, bukan terletak di kelembutan tutur kata atau kesejukan pandangan mata beliau semata. Sebagian besar teladan kebaikan itu ada di sikap dan karakter Rasul saw. Buku-buku shirah yang kita baca membenarkan hal ini. Maka bukanlah suatu hal yang mengherankan jika kemudian Islam menyebar hingga ke dua pertiga dunia. Sebab sikap dan karakter—yang kita kenal sebagai akhlak—jauh lebih mencengangkan mata dunia.

Jadi, apapun alasan dan pembenaran yang digunakan, seorang da’i sudah jauh-jauh hari memiliki pemahaman yang mendalam terhadap syakhsiyah Islamiyah, khususnya dalam hal ini urusan mengatur waktu. Jangan biarkan ‘telat’ menjadi kebiasaan sebab kebiasaan adalah awal mula karakter. Merasa bersalahlah jika antum tak berhasil meneladankan kedisiplinan meskipun hanya sekali. Sebab kader dakwah itu harus tepat waktu, bukan telat waktu.
By.

Kader Dakwah Harus Tep(l)at Waktu


SekolahMurabbi.com - Tiga belas tahun lamanya kaum Muslimin tidak mendapatkan panggung yang tepat untuk menelanjangi keangkuhan dan kesemena-menaan Quraisy. Komandonya hanya satu: bersabar. Maka begitulah, di bawah intimidasi dan penindasan Quraisy, kaum Muslimin menjalankan perintah tanpa membantah. Bilal dan Khabbab ditindih batu panas, Yasir dan Sumayyah ditikam tombak hingga syahid, Zinnirah dan Nahdiyah ditimpakan berbagai siksaan.

Rupanya sabar adalah senjata ampuh dalam dakwah. Keteguhan hati telah menebarkan pesona tersendiri bagi siapapun yang memperhatikannya. Siksaan bahkan upaya pembunuhan Rasulullah bukan malah meredupkan sinar Islam, justru mengantarkan Hamzah ibn Abdul Muththalib dan ‘Umar ibn Al-Khaththab, dua tokoh terpandang Quraisy, menyongsong hidayah di tahun keenam nubuwwah.

Quraisy kelabakan. Setiap hari mereka terus kecolongan dan upaya menghentikan pertumbuhan Islam nihil. Tapi tak ada cara lain selain menggencarkan perlakuan sewenang-wenang terhadap siapapun yang meninggalkan paganisme. Kita tahu kemudian Allah mewahyukan perintah hijrah ke Madinah. Dan ini menjadi episode mula dari sejarah Islam tahap selanjutnya.

Tiga belas tahun itu berakhir sudah. Ini babak baru perjuangan yang memang sudah ditakdirkan Allah. Di Madinah, Rasulullah menghimpun dan membangun masyarakat baru. Hingga tiba saatnya mencoreng muka congkak Quraisy di mata bangsa Arab dan sekitarnya.

Badar telah dipilih Allah sebagai tempat pertama setelah bertahun-tahun lamanya untuk menghinakan mereka yang menghalang-halangi dakwah agamanya. Maka berangkatlah Rasulullah dan kaum muslimin kesana. Dan takdir berjalan sebagaimana ketetapannya. Allah sungguh Mahabenar. Ia tak membiarkan cahaya-Nya padam.

Di Badar, Quraisy Tak Berdaya
Badar adalah saksi bahwa kekuatan sejatinya bukan urusan banyak-sedikitnya pasukan, tapi siap-tidaknya menatap pertempuran. Kesiapan itu terbingkai dalam bara semangat juang dan kebrilianan strategi. Semangat juang yang menyala-nyala adalah berkat keyakinan yang terpatri dalam relung jiwa sementara strategi perang yang cemerlang adalah hasil musyawarah pemimpin dan pasukan perang.

Keyakinan seringkali menuntut pengorbanan sebagaimana halnya ‘Umar ibn Al-Kaththab membunuh pamannya, Al-Ash ibn Hisyam. Atau seperti Mush’ab ibn Umair yang membiarkan saudara kandungnya yang musyrik, Abu Aziz ibn Umair, menjadi tawanan Islam.

Sementara musyawarah adalah cara paling baik merundingkan keputusan paling tepat. Strategi Rasulullah memberhentikan pasukan di mata air Badar diganti dengan pendapat Al-Hubab ibn Mundzir yang lebih jitu.

Maka benarlah janji Allah. Mereka yang tak menginginkan dakwah Islam mekar mencari segala cara untuk memadamkan cahaya-Nya. Tapi Allah jualah yang menjaga agamanya terus bersinar menemani perjalanan zaman.

Terkaparlah armada perang dan kavaleri berkuda Quraisy di hadapan 313 (satu riwayat lain menyebutkan 317) pemuda yang mencari salah satu dari dua tujuan: menang atau mati syahid!

Bukan Akhir
Kemenangan Badar menampik anggapan bahwa pembela panji-panji Islam adalah orang-orang lemah. Tiga belas tahun sebelumnya muslimin memang ditindas, diteror, disiksa. Tapi tiga belas tahun itu juga adalah masa pemantapan bahwa apa yang mereka yakini dan bela adalah kebenaran yang berasal dari langit. Dan pemantapan keyakinan itu sesungguhnya adalah persiapan perang yang sebenarnya.  Juga, mungkin menjadi pembiasaan setiap muslim agar terbiasa menghadapi kondisi-kondisi kritis. Intinya, mereka telah dihadapkan pada situasi yang ‘lebih buruk’ dari perang. Dengan demikian, perang bukanlah masalah. Ditambah bekal keyakinan menegakkan kebenaran dan balasan yang didapat jika gugur di medan perang, maka gagah-gigihlah mereka berjuang hingga menang.

Tapi Badar bukan stasiun terakhir dari perjuangan Rasulullah. Ia adalah panggung perang untuk kemudian menjadi kemenangan pertama yang mengantarkan Rasulullah dan muslimin ke perjuangan-perjuangan berikutnya.

Badar seharusnya menjadi pelajaran bagi para pendakwah untuk tidak terlalu larut dalam euforia kemenangan lalu lupa mempersiapkan ‘perang’ berikutnya. Juga, meskipun perjuangan ini ditolong oleh Allah, itu bukan berarti pendakwah melupakan ikhtiar-ikhtiar manusiawinya.

Tetaplah bersiaga, tetaplah berjalan dalam koridor dakwah. Tetaplah menjalankan strategi dari qiyadah. Sebab perang berikutnya di Uhud adalah bukti bahwa pembangkangan terhadap pemimpin merupakan syarat pertama kekalahan dakwah.

Allahu akbar!
By.

Badar, Panggung Pertama Menuju Perang-perang Selanjutnya

Oleh: Burhan Shadiq


SekolahMurabbi.com -  Polemik soal syiah menyeruak lagi. Kali ini menyoal seorang tokoh yang memang sudah lama terindikasi syiah. Tapi karena sang tokoh nampak humanis dan sangat humble, maka ke-syiah-annya menjadi diterima.

“Dia syiah, tapi dia baik sama saya.” Kalimat ini akan menjadi sihir yang luar biasa, kalau diucapkan seorang selebriti islami.

Memang bicara syiah hari ini di negeri ini sangat dilema. Satu sisi umat harus tahu bahaya syiah. Tapi di sisi lain banyak pula Sunni yang membela syiah.

Di satu sisi, banyak akademisi sudah mencoba membongkar ancaman syiah. Tapi di sisi lain, banyak Sunni yang hidup di ketiak tokoh syiah. Sehingga indikator ummat menjadi susah. Dia syiah, bahaya. Tapi di sisi lain banyak tokoh Sunni mengagumi mereka.

Sebenarnya sederhana. Kita hanya butuh furqon. Alat pembeda yang tegas. Jika seseorang syiah, berarti kita harus menyikapi tegas.

Akan menjadi dilema, jika orang Sunni sudah mulai merasa kepotangan budi sama orang syiah. Dia susah bersikap pada akhirnya.

Jika orang Sunninya orang biasa, saya pikir tidak masalah. Tapi jika orang sunninya tokoh panutan, maka bahaya sikap lunaknya terhadap syiah ini. Dia merasa benar dengan sikap lunak terhadap syiah. Lalu pada akhirnya susah diberitahu bahwa orang yang dikagumi itu seorang syiah.

Sebaik apapun seseorang, jika dia syiah, maka perlu ada catatan khusus, syiah yang seperti apa, bagaimana pemikirannya dan lain-lain. Kita jadi terbelalak. Karena tokoh-tokoh panutan yang “okay” selama ini ternyata beberapanya tidak bsia bersikap tegas kepada syiah.

Ibaratnya kita mengatakan, “Mas itu singa loh.” Tapi karena dia sudah lama diberi makan Singa maka dia bilang, “Tapi dia singa yang baik kok. Dia kasih makan saya.”

Humanis, ramah dan baik hati, menjadi sebuah alat yang menyusahkan bagi seorang Sunni menyikapi syiah. Ahlus Sunnah sebaiknya belajar dari Yaman. syiah yang lembut, pada akhirnya bisa menghisap leher leher mereka.

Saya tidak sedang menebar kebencian. Karena memang sikap tegas harus kita miliki. Sejarah sudah cukup sebagai bukti. Sudah banyak ulama ulama Indonesia yang berdiri di bagian depan melawan syiah.

Dan perang dingin sudah dimulai. Bentrok horizontal juga sudah terjadi. Tokoh tokohnya juga sudah dipetakan secara jelas. Siapa syiah di negeri ini sudah rada gamblang.

Artinya kita tahu seseorang itu syiah tidak perlu menunggu dia deklarasi dia syiah. Penelitian ahli dan diamnya mereka soal tuduhan sudah jadi bukti syiahnya mereka. Sebab syiah itu bukan seperti liberalis yang bangga menyebutkan identitasnya. Mereka memiliki konsep taqiyyah yang licin.

Di negeri ini setidaknya ada syiah yang pede, ada setengah syiah yang abu abu, dan ada yang ter-syiah-kan tanpa sadar. Syiah pede yang sengaja dia bilang SAYA SYIAH. Jelas tanpa tedeng aling2. Syiah abu abu adalah syiah yang masih taqiyah. Dia syiah tapi tidak mau mengaku kalau syiah. Padahal bukti sudah banyak. Sementara yang ter-syiah-kan tanpa sadar adalah yang membela syiah mati-matian padahal dia Ahlusunnah.

Kajian-kajian soal syiah sudah sangat marak. Para ustad sudah berkali-kali ceramah. Di media semacam youtube juga sudah banyak. Semua bisa diakses. Ahlusunnah Indonesia juga sudah memberi peringatan sama NKRI soal ambisi politik syiah. Tapi belum ada respon yang memuaskan.

Jika respon NKRI telat, maka gurita syiah bisa sangat berbahaya. Tokohnya sudah merajalela. Mereka sudah berhasil membuat tokoh2 ahlusunnah melunak. “Okelah ana syiah, tapi ana baik kan sama ente?” Ahlusunnah pun mengangguk.

Inilah yang sedang berjalan. Sebuah penggiringan opini. “Mending syiah tapi lembut, daripada ahlusunnah tapi kasar.”

Atau ungkapan seperti ini, “Kalau toh dia syiah, dia dah kasih banyak hal sama saya. Daripada anda ahlus sunnah sukanya nuduh.”

Kemarin di Solo, seorang Mubaligh bilang, syiah ada yang sengaja keras dan militan. Ada pula yang disetting lembut. Syiah yang militan sengaja dipasang badan jika mereka diserang. Siap dengan opini opini tajam. Sementara syiah yang lembut, disetting untuk buat opini ke massa, jangan sampai kalian memusuhi syiah. Target minimal, massa netral sama syiah.

Maka syiah lembut mensetting dirinya dengan kajian kajian kitab ahlusunnah tapi dengan penjelasan ulama syiah. Wah…

Jika Islam melawan dan mulai kritis, mereka guyur Islam dengan kalimat humanis. “Semua sayang mahluk tuhan.” Tapi jika orang kafir bantai umat Islam, mereka diam.

Jika umat Islam cerdas dan mulai puritan, mereka beri kotak dengan label aneh-aneh. Tapi jika islam pluralis saja, mereka sayang-sayangi.

Syiah berhasil tampil lembut dan nampak santun. Sementara Ahlusunnah tidak bisa sesantun dan selembut itu. Syiah masuk di lini dakwah budaya. Sementara puritan Ahlusunnah seolah-olah anti budaya.

Mending syiah tapi gelar doktor daripada Ahlussunah anti sama gelar dan kampus. This is what has happened.

Maka teman, bersiaplah kecewa jika tokoh favorit anda mendadak membela syiah mati matian. Bersikap adillah, lihatlah al haq pada hakekat al haq-nya, bukan pada tokohnya. Jika tokoh itu salah, maka jangan diikuti.

Maka mungkin kita kaget, “Loh kok sekelas dia bisa beropini gitu. Loh kok dia sama syiah gitu.” Siap siap kaget. Mungkin lama-lama terbiasa. Maka ikhwan akhwat ahlussunah. Giatkanlah lagi mengajinya, kajian-kajian manhaj. Agar kita paham siapa lawan siapa kawan.

Tidak semua yang berkilau itu keren. Sebab kilau cahaya akan membuat buta jika terlalu lama menatapnya.

Jadi sebaiknya pembinaan mulai fokus. Kajian-kajian juga mulai masuk pada tema tema manhaj. Siap-siap tarung di ranah sastra juga.

Melawan syiah ini, sudah mulai muncul aksi terbelah. Jelas melawan syiah tdak populer. Maka bergabunglah pada mereka yang konsisten terhadap manhaj Ahlussunnah. Mereka pegang manhaj ini sampai mati. Sebab ada kalanya lidah kita kelu jika bersikap terhadap syiah. Takut jika pengikut kita hilang. Suara kita berkurang. Banyaklah minta jawaban sama Ulama, jangan bergerak sendiri.

Sumber: Arrahmah.com
By.

'Guys, Hati-hati dengan Syiah'

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com