‘Islam Nusantara’, Upaya Mengkotak-kotakkan Islam?
Pemunculan istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam
di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak
belakang dengan 'Islam Arab' telah menimbulkan pro dan kontra di
kalangan penganut Islam di Indonesia.
Walaupun dianggap bukan
istilah baru, istilah Islam Nusantara belakangan telah dikampanyekan
secara gencar oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama,
NU.
Dalam pembukaan acara Istighotsah menyambut Ramadhan dan
pembukaan munas alim ulama NU, Minggu (14/06) di Masjid Istiqlal,
Jakarta, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, NU akan terus
memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara.
"Yang paling
berkewajiban mengawal Islam Nusantara adalah NU," kata Said Aqil, yang
dibalas tepuk tangan ribuan anggota NU yang memadati ruangan dalam
Masjid Istiqlal.
Menurutnya, istilah Islam Nusantara merujuk pada
fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya
"dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan
keras."
"Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya,
melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus
budaya," katanya.
Dari pijakan sejarah itulah, menurutnya, NU
akan terus mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu "Islam yang
ramah, anti radikal, inklusif dan toleran."
Said Aqil menegaskan,
model seperti ini berbeda dengan apa yang disebutnya sebagai "Islam
Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara."
Jokowi dukung Islam Nusantara
Ketika awal mula dikampanyekan, muncul dukungan terhadap model Islam
Nusantara yang disuarakan kelompok atau tokoh perorangan Islam yang
berpaham moderat. Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam
membuka Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal, Minggu (14/06),
menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara.
"Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun,
Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh
toleransi," kata Presiden Jokowi.
Selain Presiden Jokowi, suara
senada sebelumnya juga disuarakan sejumlah pejabat Indonesia lainnya,
termasuk Presiden Jusuf Kalla yang lebih sering memakai istilah Islam
Indonesia. Tetapi secara hampir bersamaan lahir pula kritikan dan
penolakan terhadap istilah Islam Nusantara, yang diwarnai perdebatan
keras terutama melalui media sosial atau dalam diskusi terbuka.
Secara garis besar, penolakan pada istilah Islam Nusantara karena
istilah itu seolah-olah mencerminkan bahwa ajaran Islam itu tidak
tunggal.
Buah Pemikiran Masih Dangkal
Ketua Bidang Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, H. Gusrizal Gazahar, Lc. M.Ag.
“Kita kadang-kadang melihat hubungan antara budaya dengan Islam itu
terlalu sempit, seolah-olah kita mempraktekkan ajaran Islam yang dulunya
adalah budaya Arab. Memang orang Arab itu punya tradisi sebelum
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam datang membawa risalah Islam. Itu
tidak bisa diingkari,” jelas Gusrizal.
Ketika budaya diadopsi
seperti itu apakah tetap masih bisa dikatakan sebagai budaya nusantara?
Menurut Gusrizal juga tidak bisa, sebab umat Islam mengamalkan ajaran
tersebut sebagai syariat Islam.
“Jadi membawa budaya menjadi
Islam begini, Islam begitu, atau Islam Nusantara, saya rasa itu
pemikiran yang sangat dangkal. Dan itu masih pemikiran dalam ranah
bidayah (permulaan, red) saja,” tegas Gusrizal. (Atjehpost)
Tentang Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar