Kalah
dan menang adalah kisah tentang peneguhan jati diri sebelum kisah pertarungan
untuk tetap hidup. Ini merupakan tema besar dalam sejarah kehidupan manusia.
Sebab jati diri adalah akar segala kreasi kemanusiaan kita. Juga kreasi untuk
bisa bertahan hidup. Tak peduli itu dilakukan dengan pengetahuan atau tidak
dengan pengetahuan. Dengan kesadaran atau setengah kesadaran.
Kekalahan
pertama kali selalu terwujud di ruang pertarungan identitas. Kehilangan
identitas yang kita junjung merupakan bencana paling besar. Ketika identitas
hilang, maka hidup pun memasuki situasi tanpa nilai. Mencari akar identitas
juga semakin tidak punya jalan. Lalu segalanya tumbuh dalam kapasitas tidak
maksimal. Atau akan ada perasaan menang yang pada dasarnya adalah kekalahan itu
sendiri. Selanjutnya kekalahan itu akan merembet dalam bentuk sikap dan
perilaku. Ketidakmampuan mengendalikan nafsu lalu menghempaskan si pemilik jiwa
ke dalam hari-hari yang kosong. Orang-orang yang menikmati pesona dunia dengan
cara yang menyimpang akan terhantar pada hujung kekalahan.
Hidup
yang sulit, pertarungan yang berat, persaingan yang ketat, yang mungkin membuat
langkah kita terseok-seok, tak seharusnya membuat kita lantas menjadi kalah.
Karena kalah artinya berhenti. Hilang dari orbit yang benar.
Menurut Ibnul Qayyim, kesabaran terberat adalah mengalahkan diri sendiri. Beratnya kesabaran tergantung pada faktor pendorong perilaku yang membuat seseorang menyimpang.
Ketika
seseorang tidak punya keinginan kuat untuk melakukan penyimpangan, maka sabar
akan menjadi sangat mudah baginya. Namun ketika seseorang punya keinginan kuat
untuk melakukan penyimpangan, maka sabar akan menjadi sangat berat baginya.
Sabar yang memiliki tempat yang tinggi di sisi Allah adalah sabar yang dilakukan seseorang dalam kondisi ia memiliki sarana yang sangat memadai untuk tidak sabar. Ia memilih menang padahal sarana untuk menjadi kalah sangat melimpah.
Kehidupan
jelas tidak selalu ramah. Terkadang kita harus tertatih-tatih di dalamnya. Dunia
pun silih berganti menampakkan wajahnya. Kadang tampak menggairahkan, kadang
juga tampak sangat menyeramkan. Namun, betapa pun pahit kehidupan kita, tak
seharusnya itu melahirkan kerusakan permanen. Kalaupun sesekali kita berduka,
merasa sakit, ketakutan, kehilangan dan sebagainya, cukuplah sejenak. Segeralah
bangkit, dengan segenap daya yang kita punya. Kemandekan bagaimanapun ada
batasnya. Jangan sampai kegetiran hidup membuat kita berkubang makin dalam dan
tidak pernah keluar lagi kecuali melahirkan tindakan fatal. Menghancurkan diri
sendiri hingga orang lain.
Kalah
dan menang itu pilihan kita. Jangan pernah menyalahkan kondisi kehidupan.
Sebagai manusia dewasa, kita harus bisa mengendalikannya. Orang-orang yang
kalah adalah orang-orang yang membiarkan jiwanya ditaklukkan oleh kegetiran hidup.
Mereka tidak punya seni pengalihan yang positif, kecuali ke arah kehancuran.
Tantangan yang merupakan kelumrahan hidup, jadi raksasa yang tak mampu
ditaklukkan. Orang-orang yang kalah, adalah orang-orang yang gagal memaknai,
bahwa kejutan dan gempuran adalah keniscayaan, bahwa kejutan dan gempuran
justru untuk membawa kepada kematangan, bahwa tekanan merupakan fithrah, dan bahwa
ujian dari Allah adalah untuk menaikkan derajat dan martabat disisiNya. Islam
menetapkan setiap manusia akan diuji untuk menjadi calon terbaik.
Mari
kita jawab sendiri, seberapa mampukah kita memaknai gempuran dalam perjalanan
hidup kita? Semoga kita tidak sedang memilih menjadi orang-orang yang kalah.
Majalah Tarbawi edisi 153 Th. 8 Rabiul Awal 1428 H/12 April 2007 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar