Oleh : Farid Nu'man
Hadits: "Janganlah seorang wanita pergi keculi dengan mahramnya" (HR. Bukhari - Muslim. Lu' Lu' wal Marjan No. 850)
Hendaknya memahami benar konteks larangan hadits ini. Sebab ('Illat) larangan hadits ini adalah karena jika wanita pergi sendirian tanpa suami atau mahram pada zaman unta dan keledai menempuh gurun atau jalan-jalan sepi dikhawatirkan terjadi sesuatu atasnya atau melahirkan fitnah baginya.
Jika kondisi zaman telah berubah seperti zaman ini, di mana perjalanan sudah menggunakan kapal, pesawat, bis, yang penumpangnya puluhan bahkan ratusan. Kondisi ini tentu amat sulit bagi seseorang untuk berbuat senonoh dan melecehkan wanita, karena di depan banyak manusia. Maka, tak mengapa ia pergi sendiri dengan syarat memang keamanan telah terjamin.
Bahkan, hal ini diperkuat oleh beberapa hadits berikut.
PERTAMA. dari Adi bin Hatim, secara marfu': "Hampir datang masanya wanita naik sekedup seorang diri tanpa bersama suaminya dari Hirah menuju Baitullah." (HR. Bukhari)
Hadits ini merupakan pujian atas kejayaan Islam pada masa yang akan datang, sehingga keadaan sangat aman bagi wanita untuk bepergian jauh seorang diri. Hadits inilah yang dijadikan IMAM IBNU HAZM membolehkan wanita untuk keluar seorang diri tanpa mahram. Maka janganlah kita heran justru banyak ulama yang membolehkan wanita pergi seorang diri jika adalam keadaan aman dan jauh dari fitnah.
KEDUA. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa 'Aisyah dan ummahatul mukminin lainnya, pergi haji pada zaman khalifah Umar Al Faruq tanpa mahram yang mendampinginya, justru ditemani oleh Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Dan tak satu pun sahabat lain yang menentangnya, sehingga kebolehannya ini dianggap sebagai ijma' sahabat. (Fathul Bari, 4/445)
Sebagian ulama membolehkan seorang wanita bepergian ditemani oleh wanita lain yang tsiqah. IMAM ABU ISHAQ ASY SYAIRAZI dalam kitab Al Muhadzdzab, membenarkan pendapat BOLEHNYA seorang wanita bepergian (haji) sendiri TANPA MAHRAM jika keadaan telah aman.
Sebagian ulama madzhab Syafi'i membolehkannya pada SEMUA JENIS BEPERGIAN, bukan cuma haji. (Fathul Bari, 4/446. Al halabi)
Ini juga pendapat pilihan IMAM IBNU TAIMIYAH, sebagaimana yang dijelaskan oleh IMAM IBNU MUFLIH dalam kitab Al Furu', dia berkata: "Setiap wanita yang aman dalam perjalanan, bisa (boleh) menunaikan haji tanpa mahram. Ini juga berlaku untuk perjalanan yang ditujukan untuk kebaikan." Al Karabisi menukil bahwa IMAM SYAFI'I membolehkan pula dalam haji tathawwu' (sunah). Sebagian sahabatnya berkata bahwa hal ini dibolehkan dilakukan dalam haji tathawwu' dan SEMUA JENIS PERJALANAN TIDAK WAJIB seperti ziarah dan berdagang. (Al Furu', 2/236-237)
Al Atsram mengutip pendapat IMAM AHMAD BIN HAMBAL: " Adanya mahram tidaklah menjadi syarat dalam haji wajib bagi wanita.Dia beralasan dengan mengatakan bahwa wanita itu keluar dengan banyak wanita dan dengan manusia yang dia sendiri merasa aman di tengah-tengah mereka."
IMAM MUHAMMAD BIN SIRIN mengatakan: "Bahkan dengan seorang muslim pun tidak apa-apa."
IMAM AL AUZA'I mengatakan: "Bisa dilakukan dengan kaum yang adil dan terpercaya."
IMAM MALIK mengatakan: "Boleh dilakukan dengan sekelompok wanita."
IMAM ASY SYAFI'I mengatakan: "Bisa dilakukan dengan seorang wanita merdeka yang terpercaya." Sebagian sahabatnya berkata, hal itu dibolehkan dilakukan sendirian selama dia merasa aman." (Al Furu', 3/235-236)
Ini juga pendapat IMAM IBNUL ARABI dalam kitab 'Aridhah Al Ahwadzi bi Syarh Shahih At Tirmidzi.
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: "Dalam kutipan Al Karabisi disebutkan bahwa perjalanan sendirian bisa dilakukan sepanjang jalan yang akan ditempuhnya dalam kondisi aman." Jika perjalanan ini diterapkan dalam perjalanan haji dan umrah maka sudah sewajarnya jika hal itu pun diterapkan pada SEMUA JENIS PERJALANAN sebagaimana hal itu dikatakan oleh sebagian ulama." (Fathul Bari, 4/445) Sebab, maksud ditemaninya wanita itu oleh mahram atau suaminya adalah dalam rangka menjaganya. Dan ini semua sudah terealisir dengan amannya jalan atau adanya orang-orang terpercaya yang menemaninya baik dari kalangan wanita atau laki-laki, dan dalil-dalil sudah menunjukkan hal itu.
Ketahuilah, masalah ini adalah perkara muamalat, yang larangannya bisa diketahui karena adanya 'illat (sebab) dan maksud. Dalam konteks ini, 'illatnya adalah karena faktor bahaya. Ketika 'illat itu tidak ada maka larangan itu pun teranulir. Berbeda dengan masalah ibadah khusus (ta'abudiyah), yang dalam menjalankannya seorang muslim harus tunduk tanpa melihat pada sebab atau maksudnya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syathibi.
Demikian. Wallahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar