Orang yang sedang futur seringkali memisahkan diri dari jamaah. (Sumber: negeriseribukata.blogspot.com) |
SekolahMurabbi.com - “Akh, antum kenapa gak datang liqa'?”
“Afwan jiddan, akhi. Ana lagi futur.”
“Afwan ukhti, kajian jumatan kemarin kok gak hadir ya?”
“Hiks… hiks… ukhti, ana lagi futur.”
Percakapan serupa terdengar di berbagai kesempatan lainnya. Bisa
jadi tidak terang-terangan mengakui kefuturan, tapi berkelit dengan dalih-dalih
duniawi lainnya yang prioritasnya tidak lebih penting dari menghadiri liqa’
atau kajian. Futur, penyakit lima huruf itu, acapkali dijadikan kambing hitam
atas absennya seorang muslim di majelis-majelis kebajikan.
Sebenarnya masalahnya bukan ketika seseorang mengalami
kefuturan. Sebab rasanya kebanyakan—jika bukan semua—manusia pernah
merasakannya. Dengan kata lain, futur adalah sesuatu yang tak bisa
terhindarkan. Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Madrijus Salikin, berkata, “Saat-saat
futur bagi para salikin (orang-orang yang meniti jalan menuju Allah)
adalah hal yang tak dapat terhindarkan.”
Yang menjadi masalah adalah ketika berlama-lama apalagi
menikmati futur. Liqa’ pekan pertama bulan ini tidak datang dengan alasan
futur. Rupanya liqa’ pekan kedua, alasannya juga sama. Ini yang masalah. Kajian
tsaqafah rutin pekan lalu absen. Pekan ini juga. Ketika ditanya, alasannya
sama. Ini musibah.
Saya rasa kita semua sepakat bahwa futur adalah penyakit,
tepatnya penyakit ruh. Itu artinya orang yang sedang futur adalah orang sakit. Maka
jika ada orang yang senang berlama-lama menderita sakit apalagi menikmatinya,
itu pertanda ada yang tak beres dengannya. Kalau bukan pikirannya yang sedang
kacau, bisa jadi jiwanya bermasalah. (Coba sesekali yang sering
mengkambinghitamkan si futur diperiksa kondisi kejiwaannya!)
Maka ketika futur hinggap di ruh antum, melemahkan semangat
dakwah antum yang sebelumnya merah saga, mengurangi amalan-amalan sunnah antum
yang dulunya tak pernah bolong, mengeraskan hati antum hingga nasehat demi
nasehat terpantulkan; yang harus antum camkan adalah hadits berikut ini.
“Sesungguhnya seorang hamba itu ada yang melakukan amalan
ahli neraka padahal ia termasuk ahli surga, dan ada pula yang mengamalkan
amalan ahli surga padahal ia termasuk ahli neraka. Sesungguhnya amal itu
tergantung pada KESUDAHANNYA.” (HR. Bukhari).
KE-SU-DAH-AN alias akhir. Bayangkan bagaimana jadinya jika
malaikat maut mendatangi antum yang berstatus futur mode on. Di saat itu, antum
tidak berada dalam kondisi ruhiyah terbaik seperti sebelumnya. Amalan sunnah
tak ada, amanah demi amanah terbengkalai dan antum sibuk dengan urusan duniawi
yang tak pernah usai. Rugi! Antum tidak mengakhiri performa dengan meyakinkan. Mungkin
tidak sampai ke tahap su-ul khatimah (na’udzubillah), tapi mungkin antum masuk
ke husnul khatimah kasta paling bawah. Ah, rugi betul itu!
Segera! Segera lakukan terapi agar futur menjauh dari ruh
antum. Segera akhiri ke-menyendiri-an itu (bukan kesendirian, jangan salah
paham). Futur seringkali menyerang orang yang terpisah dari jamaah. Sabda Rasul
saw., “Syetan itu akan menerkam manusia yang menyendiri, seperti
serigala menerkam domba yang terpisah dari kawanannya.” (HR. Ahmad). Ketika
performa ibadah mulai terasa menurun, jangan jauh-jauh dari jamaah orang-orang
shalih. Sebab itu gejala futur. Ketika terbersit keinginan untuk menunda-nunda
pekerjaan dan amanah, cepatlah minta nasihat dari mereka yang sedang on fire. Sebab
itu juga gejala futur. Ketika urusan duniawi mulai menggeser posisi ukhrawi di
hati, lekaslah menyibukkan diri dalam kerja-kerja jamaah. Sebab itu pun gejala
futur.
Lalu, banyak-banyaklah bermuhasabah, mengingat mati, nikmat
surga dan azab neraka. Bila perlu, menangislah. Kalaupun tidak bisa, pura-puralah
menangis. Air mata yang mengalir kerapkali sukses meluluhkan hati yang membaja.
Terakhir, jadikan futur sebagai titik balik untuk meroketkan
kualitas dan kuantitas ibadah. Analoginya mungkin seperti seorang narapidana
yang baru saja dilepaskan dari tahanan. Ia akan menjadi warga terbaik di kotanya
untuk membuktikan kepada kepala negara bahwa ia memang layak untuk dibebaskan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang futurnya membawa ke arah muraqabah (merasa diawasi oleh Allah) dan
senantiasa berlaku benar, tidak sampai mengeluarkannya dari ibadah-ibadah
fardhu, dan tidak pula memasukkannya dalam perkara-perkara yang diharamkan,
maka diharapkan ia akan kembali dalam kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.”
(Kitab Madrijus Salikin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar