SekolahMurabbi.com - Ada saatnya ketika pernikahan
bahagia berubah menjadi hidup yang amat menyiksa. Bulan madu telah kelar, bunga
mulai berduri, angin sepoi berubah menjadi badai, bahkan terang cahaya
berangsur menjadi gulita nan mencekam. Sebenarnya, perubahan hanyalah siklus.
Hanya saja, ada begitu banyak pasangan yang kurang sabar dan ingin segera
mengakhiri ujian yang dihadapinya.
Tangis wanita ini tak kunjung
mereda. Beban hidup seakan menggelayut manja di pundak, pikiran, dan hatinya;
enggan beranjak, bahkan semakin bertambah. Upaya teknis sudah diupayakan, tapi
masalah justru bertambah seiring berkurangnya kadar dan kualitas optimis dan
baik sangkanya kepada Allah Ta’ala.
Mulanya, ia diuji dengan suaminya
yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Bolak-balik ke banyak tempat, tapi
nihil. Semakin sering mencoba, lak-laki agak gemuk yang menjadi imamnya itu
justru semakin banyak mendapati kegagalan. Nasib baik, dalam pikiran sepasang
suami-istri ini, seakan tak berpihak padanya.
Ketika akhirnya mendapatkan
pekerjaan, rupanya masalah berganti. Gaji stagnan, sementara kebutuhan rumah
tangga meningkat. Anak-anak lahir, membesar, biaya kesehatan, pendidikan, dan
banyak hal lainnya. Saat itu, sepasang insan yang dimabuk cinta ini terlihat
gagah menghadapi badai masalah. Bahkan, mereka semakin kencang berpelukan,
seraya saling menguatkan.
Waktu berlalu, anak terus
bertambah. Masalah pun semakin besar. Muasalnya, saat si istri dilanda sakit.
Otomatis, seiring berkurangnya jatah umur, tingkat kecantikan wanita itu pun
mulai luntur, memudar, dan seakan hilang. Mirisnya, sosok yang tadinya cantik
ini berubah menjadi jelek, bukan di mata orang lain, tapi dalam pandangan
laki-laki yang seharusnya mencintai dan membesarkan hatinya itu.
Sang suami, tak bisa menyembunyikan
rasa bosannya terhadap istri. Apalagi, saat itu, usia laki-laki ini memasuki
puber kedua, sehingga kebutuhan biologisnya pun meningkat, bukan malah menurun.
Bagi sang istri, saat sakit itulah
dirinya butuh penguatan lebih. Ia berharap, suami ada untuk dirinya sepanjang
hari, di setiap waktu. Inginnya, sang suami senantiasa melayani; mendapatkan
senyum manis setiap pagi hingga malam, lalu berada dalam rehat malam nan
menentramkan dalam balutan pelukan penuh cinta.
Sayangnya, ingin hanyalah ingin.
Sama sekali hanya mimpi. Tak ada wujud sedikit pun. Sang suami justru menjauh.
Seperti abai, melupakan nafkah, bahkan mulai terdengar suara tak sedap dari
tetangga kanan-kiri.
Sang istri, sejatinya masih bisa
tersenyum dan berbaik sangka. Masalahnya, saat mengetahui perubahan sang suami
secara drastis ini, ia pun tak terlalu kuat untuk menepis buruk sangka yang
hinggap di pikirannya; mungkinkah suamiku ‘jajan’? Atau, sudah nikah siri? Jika
tidak, kepada siapa dia memenuhi kebutuhan biologisnya? Bukankah tengah alami
puber? Dan, dia menolak ajakanku.
Sang istri pun dihadapkan pada
imajinasi masa lalu; padahal, aku yang mencarikan pekerjaan untuknya. Padahal,
akulah yang membanting tulang dan memeras keringat saat hidup kami susah. Dan,
kini, ia menikam dari belakang, saat aku sakit, dan karirnya tengah menanjak.
Ya Allah… Berikan kesabaran dan
kekuatan kepada kaum Muslimin yang tengah diuji dengan pasangannya, apa dan
bagaimana pun bentuknya.
(Keluargacinta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar