SekolahMurabbi.com - Tak sedikit lulusan SMA yang rela
merantau jauh-jauh meninggalkan keluarga sepertimu. Meninggalkan masa-masa
indah di usia remaja menuju tahapan berikutnya yang akan sedikit lebih sulit
dan menantang. Dua kata terakhir saya gunakan berdasarkan pengalaman saya yang
terpisah sangat jauh dari keluarga. Tapi percayalah, kesulitan dan tantangan
itu dibebankan sesuai dengan kadar kapabilitas masing-masing. Bukankah Allah
janjikan bahwa la yukallifullahu nafsan illa wus’aha, Ia tidak pernah
menguji hamba-Nya di luar batas kesanggupannya? Jadi, santai dulu.
Mengenai tujuan kuliah, saya yakin
sebagian besar akan memberikan jawaban lebih kurang seperti ini: saya ingin menuntut
ilmu dengan sungguh-sungguh, agar lulus memuaskan, hingga memudahkan
dalam mencari kerja dan kemudian bisa membahagiakan orang tua.
Sepakat? Dulu, saya juga memiliki alur pikir yang serupa. Karena itu, saya
kuliah dengan semangat membara. Apapun yang terjadi, saya harus mendapat nilai
A di KHS.
Seiring perjalanan, saya menemukan
hal-hal baru. Kuliah dengan tujuan mengejar nilai semata adalah hal yang kurang
tepat. Ya, ada yang terasa kurang di dalam lubuk hati sana. Ciee...
Tapi itu serius! Saya mencoba
berkontemplasi, meluangkan waktu untuk menyendiri. Saya temukan kenyataan bahwa
betapa selama ini Allah membimbing saya sampai saya dapatkan tujuan saya.
Kesalahannya, saya memiliki tujuan yang sangat dekat. Kuliah untuk mendapat
nilai A. Dapat memang. Tapi sayang seribu sayang. Begitu nilainya dapat,
ilmunya hilang.
Ini salah! Bukankah yang saya cari
di sini adalah ilmu, bukan nilai? Lalu saya berpikir jika saya sangat yakin
Allah membimbing saya menuju tujuan itu, berarti saya harus membuat tujuan
sejauh mungkin. Selama tujuan itu belum tercapai, pasti Allah akan menolong
saya asalkan saya menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Setelah
menemukan sebuah perenungan seperti itu, saya me-reset tujuan dari mendapat
nilai dosen ke mendapat ridha Allah. Saya yakin jika nilai yang saya
cari, ridha Allah belum dapat. Sebaliknya, jika ridha Allah yang saya cari,
nilai dari dosen pasti akan ketemu.
Pertanyaan lain yang menggelayut di
benak saya adalah: apakah saya hanya menuntut ilmu duniawi saja? Seberapa
banyak ilmu ini akan memperbaiki kualitas ibadah, pemahaman agama dan akhlak
saya? Seberapa berpengaruh ilmu-ilmu itu terhadap kehidupan akhirat saya?
Ilmu duniawi memang mampu membuat
saya takjub bahwa betapa Allah begitu teratus mengurusi hamba-Nya di muka bumi.
Misalnya, saya tahu bahwa bumi yang kita tempati ini senantiasa dalam “ancaman”
dari angkasa. Tapi Allah melindunginya dengan atmosfer. Atau juga, kehebatan
superkomputer yang pernah diproduksi manusia ternyata belum ada apa-apanya
dibandingkan otak, “komputer” ciptaan Allah. Ini menakjubkan tapi tetap saja
ada sesuatu yang membuat saya merasa kurang. Akhirnya saya putuskan bahwa saya
tidak boleh hanya menuntut ilmu duniawi saja. Saya harus mencari ilmu agama
yang akan memperbaiki ibadah dan akhlak saya. Begitulah, saya mengikuti
berbagai kajian keagamaan di kampus. Juga saya mencari teman-teman yang
mengingatkan saya pada akhirat.
Lulus memuaskan? Apa yang bisa
dibanggakan selain penghargaan akademis? Di luar sana, banyak sarjana-sarjana
yang lulus dengan IPK nyaris sempurna tapi menjadi pengangguran terdidik.
Ternyata IPK mendekati 4.00 itu tak banyak membantu (ini bukan berarti IPK
tinggi sama sekali tak berguna, ya) apalagi jika didapat dengan jalan yang
tidak halal, seperti menyontek saat ujian, menitip absensi pada kawan dan
sebagainya. Masih di luar sana, kita menjumpai paradoksnya, di mana justru
banyak pengusaha yang lahir bukan dari rahim pendidikan formal seperti bangku
kuliah. Saya menemukan satu hal lagi di sini. Bahwa masa depan yang menjanjikan
tidak ditentukan oleh IPK tapi kreatifitas dan kesempatan memanfaatkan peluang.
Bacalah kisah sukses almarhum Bob Sadino, Dahlan Iskan hingga Mario Teguh yang
sukses bukan via gelar sarjananya.
Membahagiakan orang tua? Kamu tidak
perlu menunggu sukses untuk membahagiakan keduanya. Mulailah dari sekarang untuk
melakukan hal-hal sekecil apapun yang bisa membuat mereka bahagia. Teleponlah
mereka secara rutin, bicaralah dengan lembut, jangan memaksakan kehendak,
selalu beritahu kabarmu dan mintalah nasihat. Posisikan dirimu sebagai anak
kecil yang senantiasa membutuhkan petuah berharga dari keduanya. Bukankah Allah
perintahkan kita dalam firman-Nya, wa bil walidayni ihsana? Satu lagi,
senantiasa doakan keduanya. Rabbighfirli wa li walidayya warhamhuma kama
rabbayani saghira.
So? Mari perbaharui niat. Innamal
a’malu binniyah. Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya. Mari
berniat ke sini semata-mata untuk mencari ridha Allah swt. Mari berniat
menuntut ilmu agar semakin paham betapa Allah Mahakaya dan Mahaluas ilmu-Nya,
dan kita manusia ini tak ada apa-apanya. Mari berniat merantau ke ibukota ini
tidak hanya menuntut ilmu dunia, tapi juga memperbaiki akhlak, ibadah, dan
meningkatkan pengetahuan keislaman. Mari berniat untuk menebar kebaikan semampu
mungkin agar semakin banyak yang merasakan manfaat dengan kehadiran kita. Mari
berniat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar