SekolahMurabbi.com - Apa yang baru-baru ini menimpa para jamaah haji di Mina mengundang reaksi besar-besaran dari publik. Reaksi ini tentu saja muncul setelah media memberitakan. Jadi sejatinya, reaksi publik bukan terhadap tragedi Mina, tetapi terhadap kejadian dari sudut pandang pemberitaan.
Bila diperhatikan, kita menemukan
fakta bahwa secara keseluruhan media—dan kemudian publik—terpecah menjadi dua
kubu. Pertama, media yang menyalahkan dan menuntut Arab Saudi selaku tuan rumah
untuk bertanggungjawab atas tragedi itu. Kedua, media yang melihat bahwa
tragedi Mina sebagai human error dan tidak serta-merta menuding Arab
Saudi sebagai satu-satunya pihak yang terlibat.
Media jenis pertama adalah yang
pertama kali muncul ke publik. Tragedi Mina diberitakan sebagai buntut dari
kedatangan pangeran kerajaan di TKP. Secara serentak kemudian mereka
melampirkan bukti berupa video pendukung.
Publik bereaksi. Masyarakat yang
cerdas segera mencari tahu kevalidan video. Akhirnya terungkap bahwa video itu
adalah video lama sekitar tiga tahun yang lalu. Tapi sebagian besar media tadi
enggan mengklarifikasi. Sebab tugas mereka adalah meyakinkan masyarakat bahwa
Arab Saudi harus bertanggungjawab.
Ketika video terbukti gagal, mereka
mencoba memunculkan isu lain. Misalnya menyebarkan foto pengurusan jenazah
korban oleh pihak kerajaan. Dalam foto yang entah benar atau tidak itu, jenazah
terlihat ditumpuk menggunung sehingga terkesan tidak manusiawi. Foto ini
kemudian dibantah lagi oleh publik dengan foto lain yang memperlihatkan bahwa
jenazah diurus sebagaimana mestinya. Entha kemudian akan ada isu apa lagi yang
akan dimunculkan.
Media jenis kedua memberitakan
tragedi terjadi sebagai akibat dari berbagai faktor. Faktor terkuat adalah
adanya jamaah yang melawan arus. Ketika diusut, ternyata memang benar adanya
jamaah yang melawan arus. Sebagian besar (atau bahkan semua?) jamaah itu
berasal dari Iran, negara Syiah yang sekarang sedang memiliki hubungan politik
yang tidak baik dengan Arab Saudi. Tak heran bila kemudian beberapa orang
menganalisa bahwa kejadian ini memiliki keterkaitan.
Nah, ketika isu ini muncul ke
permukaan, media kubu pertama kembali memainkan peran. Media-media tersebut
menganggap media kubu kedua selalu mencari kambing hitam atas masalah yang ada.
Padahal sudah jelas, seharusnya yang disalahkan itu mesti Arab Saudi, tidak
boleh yang lain. Tamu tidak mungkin melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh
tuan rumah. Begitulah kira-kira.
Padahal kalau dicermati, sebenarnya
justru media pertamalah yang mencari-cari kambing hitam. Lihatlah, bagaimana
mereka begitu cepat mencari berbagai cara, termasuk mengunggah video hoax,
demi mengkambinghitamkan Arab Saudi atas tragedi Mina.
Lihat juga bagaimana mereka menuduh
petugas haji tidak becus dalam mengurusi jamaah. Mereka lupa bahwa jamaah haji
yang mencapai jutaan itu berasal dari berbagai kalangan dengan tingkat
kecerdasan yang beragam. Artinya, bisa saja dari jamaah haji itu ada yang tidak
mengerti betul tentang peraturan-peraturan standar haji. Parahnya, mereka
mungkin melakukan pelanggaran di saat mereka tidak paham. Siapa yang sanggup
mengontrol sampai sejauh ini? Tuan rumah?
Akhirnya, sampailah kita pada sebuah
kenyataan bahwa semakin hari, kita semakin menemukan benang merah bahwa independensi
media adalah omong kosong. Media-media yang memiliki nama besar bahkan juga
tidak netral dalam menyampaikan berita. Jelas, ada figur-figur yang menyetir
dari balik layar. Berita sekarang menjadi sesuatu yang bisa dipesan.
Inilah zaman penuh fitnah. Hampir
semua yang kita dengar bukan lagi sebuah fakta tetapi hanya sebatas opini atas
apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ini sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh
Rasulullah saw. Kita hanya harus waspada dan tidak mudah percaya begitu saja.
Selamat datang, zaman penuh fitnah! (SM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar