SekolahMurabbi.com - Tidak dibenarkan memvonis bid’ah dan sesat terhadap sebuah pemahaman atau perbuatan, tanpa pertimbangan yang matang. Maka, penting kiranya diketahui kapankah sebuah perbuatan layak disebut bid’ah. Yaitu:
- Amalan tersebut tidak pernah
terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para
sahabat Radhiallahu ‘Anhum..
- Amalan tersebut tidak memiliki
dasar dalam Al Quran, As Sunnah, dan ijma’, baik secara rinci (tafshili)
atau global (ijmali), baik dalam bentuk perintah, contoh, dan
taqrir.
- Amalan tersebut telah diyakini oleh pelakunya sebagai bagian dari ajaran agama yang mesti dijalankan.
Jika semua
keadaan ini telah terpenuhi oleh sebuah amalan, maka tidak syak lagi bahwa
amalan itu adalah bid’ah yang terlarang. Tetapi, para ulama berbeda pendapat
tentang amalan yang tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan para sahabatnya, namun secara global amalan tersebut ada dalam
Al Quran baik tersurat atau tersirat, atau As Sunnah. Apakah hal itu sudah
masuk bid’ah? Contohnya adalah membaca Shadaqallahul ‘Azhim setelah
membaca Al Quran. Bacaan Shadaqallahul ‘Azhim memang tidak pernah ada
pada masa Rasulullah, dan tidak pula masa para sahabat. Tetapi, para ulama yang
membolehkannya berdalil dari beberapa ayat, yakni Ali Imran (3): 95, dan Al
Ahzab (33): 22).
Selain itu,
ada beberapa sudut pandang untuk menilai sebuah amalan.
- Tinjauan Az Zaman
(waktu). Puasa wajib pada bulan Ramadhan, puasa sunah senin-kamis,
puasa tasu’a (9 Muharram) dan asyura (10 Muharram), puasa zulhijjah (9
Zulhijjah), puasa Sya’ban, puasa 6 hari Syawal, puasa ayyamul bidh (13,
14, 15 tanggalan hijriah), atau shalat dhuha pada waktu dhuha, shalat lima
waktu pada waktunya masing-masing, shalat Jumat pada hari Jumat, pergi
haji pada zulhijjah, dan yang semisalnya, ini semua memiliki dasar
dan masyru’ (disyariatkan). Ada pun jika ada yang menganjurkan
puasa anu pada bulan tertentu dengan fadhilah anu, atau shalat anu pada
waktu anu dengan fadhilah anu, mengkhususkan malam tertentu untuk shalat
tahajud tanpa malam lainnya secara terus menerus, nah .. semua
tidak ada dalilnya sama sekali, maka tidak boleh.
- Tinjauan Al Makan (tempat).
Meyakini fadhilah shalat di Masjidil haram, Masjid Nabawi, dan masjid Al
Aqsha, atau meyakini mustajabnya berdoa di multazam, dan yang semisalnya,
maka ini semua memiliki dasar dan masyru’. Tetapi, menganjurkan
manusia mengunjungi tempat tertentu dengan berkeyakinan fadhilah tertentu
pula, maka ini membutuhkan dalil.
- Tinjaun Al ‘Adad (jumlah/bilangan).
Melafazkan istighfar antara 70 sampai 100 kali dalam sehari, atau tasbih,
tahmid, dan takbir, masing-masing 33 kali setelah shalat fardhu, atau
mengulang-ngulang doa sampai tiga kali, atau membaca Laa ilaha illallahu
wahdahu laa syarikalah ..dst, sebanyak tiga kali setelah shalat fardhu,
dan sepuluh kali setelah subuh dan maghrib, atau puasa enam hari syawal,
tiga hari tengah bulan hijriyah, dan yang semisalnya, maka semua ini
adalah memiliki dasar dan masyru’. Tetapi, menganjurkan dan membiasakan
berdzikir dengan jumlah tertentu, puluhan, ratusan, bahkan ribuan, dengan
keyakinan tertentu, maka ini juga harus membutuhkan dalil. Jika tidak ada,
maka tertolak.
- Tinjauan Al Jins
(jenis). Jika seorang bayi lahir lalu dilakukan beberapa jenis ritual
seperti didoakan, tahnik (memasukkan kurma (boleh madu) ke mulut bayi), aqiqah, cukur rambut, dan pemberian nama, maka
jenis ini semua masyru’. Tetapi, membuat jenis ritual sendiri, misal
jika ingin dapat jodoh, mesti puasa dulu, mandi kembang tengah
malam, dan semisalnya, maka mengarang-ngarang jenis ibadah ini wajib
mendatangkan dalil, jika tidak ada, maka tertolak.
- Tinjauan Al Maqshud (maksud dan tujuan). Jika seseorang puasa Sya’ban agar catatan amalnya diangkat ketika dia puasa, puasa 6 hari Syawal supaya mendapatkan pahala sebagaimana puasa setahun penuh, membaca surat Al Mulk agar terhindar dari azab kubur, dan semisalnya, semua ini benar dan memiliki dalil shahih. Tetapi, puasa dengan maksud agar memiliki kesaktian, membaca surat tertentu agar kebal, maka ini semua tidak berdasar. (Al-Intima’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar