Oleh: Farid Nu'man Hasan
Berikut ini adalah kaidah-kaidah yang mesti diperhatikan oleh para da’i agar tidak salah dalam melangkah.
1. Al Qudwah qabla Ad Da’wah (Memberikan keteladanan sebelum mengajak)
Yaitu hendaknya para da’i memperhatikan dirinya dulu sebelum orang lain. Berupa perbaikan tauhidnya, akhlaknya, ruhiyahnya, penampilannya, tutur katanya, dan tentunya pemahamannya. Sebab seorang da’i adalah “model” di tengah masyarakatnya, mau tidak mau dia mesti siap menjadi teladan bagi yang lainnya. Dan, tidak mungkin diteladani kecuali yang memang pantas untuk itu.
Allah ﷻ berfirman:
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah: 44)
2. Al ‘Ilmu qabla Al ‘Amal
Yaitu hendaknya para da’i perhatian betul pada perkara ini. Sebab amal tanpa ilmu potensi merusaknya lebih besar. Amal yang didasari kebodohan dampak penyimpangannya begitu terbuka lebar. Oleh karenanya Allah ﷻ berfirman “fa’lam annahu laa ilaaha illallaah – maka ketahuilah bahwa tidak ada Ilah kecuali Dia.” (QS.Muhammad: 19). Allah ﷻ mendahulukan ilmu sebelum menegaskan ketuhanan diriNya. Ayat ini dijadikan pembuka oleh Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya, pada Bab: Al ‘Ilmu qablal Qauli wal ‘Amal – Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan. Sebab tidaklah shahih sebuah perkataan dan amal kecuali berdasarkan ilmu.
Dalam ayat yang lain:
قل هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني وسبحان الله وما أنا من المشركين
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf: 108)
Apakah Bashirah dalam ayat ini? Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:
أَيْ عَلَى حُجَّةٍ وَاضِحَةٍ، وَالْبَصِيرَةُ: الْمَعْرِفَةُ الَّتِي يَتَمَيَّزُ بِهَا الْحَقُّ مِنَ الْبَاطِلِ
Yaitu di atas hujjah yang nyata, “Al Bashirah” yaitu pengetahuan yang dengannya dapat membedakan antara Al Haq dan Al Bathil.” (Fathul Qadir, 3/71)
Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata:
الْعَامِل على غير علم كالسالك على غير طَرِيق وَالْعَامِل على غير علم مَا يفْسد اكثر مِمَّا يصلح فَاطْلُبُوا اللم طلبا لَا تضروا بِالْعبَادَة واطلبوا الْعِبَادَة طلبا لَا تضروا بِالْعلمِ فَإِن قوما طلبُوا الْعِبَادَة وَتركُوا الْعلم حى خَرجُوا بِأَسْيَافِهِمْ على امة مُحَمَّد وَلَو طلبُوا الْعلم لم يدلهم على مَا فعلوا
Orang yang beramal tidak berdasarkan ilmu bagaikan orang yang berjalan di atas jalan yang tidak benar. Orang yang beramal tanpa ilmu apa yang dirusaknya lebih banyak dibanding yang dia perbaiki, maka tuntutlah ilmu selagi dia tidak mengganggu ibadahmu, dan beribadahlah selama tidak mengganggu pencarian ilmu. Sesungguhnya ada kaum yang beribadah tapi meninggalkan ilmu akhirnya mereka memberontak dengan pedang mereka melawan umat Muhammad ﷺ (maksudnya kelompok Khawarij, pen), seandainya mereka mau menuntut ilmu niscaya mereka tidak akan melakukan itu. (Dikutip oleh Imam Ibnul Qayyim,Miftah Dar As Sa’adah, 1/83)
3. Al Faraaidh qabla An Nawaafil (Ajaklah kepada yang wajib sebelum kepada yang sunah)
Yaitu hendaknya para da’i mengajarkan dan menganjurkan umat kepada yang wajib-wajib dahulu. Baik yang wajib untuk diketahui dan yang wajib untuk diamalkan. Bukan berarti meremehkan yang sunah, tetapi ini merupakan tuntutan syariat itu sendiri dan jalan yang ditempuh da’wah Nabi ﷺdan para sahabatnya. Agar umat tidak bermalas-malasan pada kewajibannya, namun dia sangat semangat dan berbangga dengan yang sunah. Ajaklah kepada shalat lima waktu sebelum rawatibnya, puasa Ramadhan sebelum senin kamisnya, berbakti kepada orang tua sebelum kepada saudaranya, dan semisalnya.
Syaikh Zakariya bin Ghulam Al Bakistani mencontohkan:
كما لو أدى فعل نافلة إلى ترك فريضة كالذي يصلي بالليلطويلاً وينام عن صلاة الفجر ، فإنه لا يشرع له قيام الليلإذا كان ذلك سببا لتركه صلاة الفجر
Sebagaimana seandainya seorang melakukan shalat sunah yang membuat tertinggalnya shalat wajib. Seperti seorang yang shalat malam begitu lama, namun dia tertidur dari shalat subuhnya. (Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahlil Hadits, Hal. 114)
4. Al Ushuul qabla Al Furuu’ (Ajaklah kepada yang pokok dan dasar sebelum pada cabang-cabangnya)
Yaitu hendaknya para da’i mengingatkan kepada rukun Islam, rukun iman, aqidah yang benar, bahaya syirik, munafiq, dan pokok-pokok lain dari agama ini. Semua ini agar lahir keyakinan dan cinta yang mendalam kepada agama. Sebelum dia mengaajak dan mengajarkan kepada cabang-cabangnya, seperti jamak qashar, adab makan dan minum, dan semisalnya. Semua bagian ini, Insya Allah, akan mendapatkan perhatian juga yang penting sisi dasar-dasar agama ini sudah dicover dengan baik. Sebab bagusnya yang pokok berefek pada bagusnya yang cabang. Ini jika konteksnya da’wah kepada orang awam apalagi mualaf. Ada pun jika da’wah kepada kaum terpelajar dan sudah punya basic agama yang cukup tentu lain lagi prioritasnya.
Contoh sederhana dalam masalah ini adalah bahwa meyakini bahwa Al Quran sebagai kalamullah (firman Allah) merupakan pokok agama, dan kafir bagi yang mengingkarinya, tetapi meyakini membaca Bismillah dikeraskan atau dipelankan ketika membaca Al Fatihah adalah masalah cabangnya. Meyakinan bahwa zakat sebagai salah satu rukun Islam adalah pokok agama, dan kafir bagi yang mengingkari kewajibannya, tetapi membahas apakah ada zakat pada sayur mayur? Apakah ada zakat pada penghasilan? Ini adalah masalah cabang, yang tidak membuat kufur jika ada yang menyalahinya.
5. Al Ittifaaq qabla Al Ikhtilaaf (Ajaklah kepada perkara yang disepakati sebelum mengajarkan hal-hal yang diperselisihkan)
Yaitu hendaknya para da’i mengajak dan mengingatkan umat pada perkara-perkara yang disepakati oleh umat ini, dan telah menjadi aksiomatik dalam agama. Jangan lahirkan fitnah dengan menyeret mereka dalam perkara perselisihan yang para cerdik cendikia pun tidak pernah selesai dalam mendiskusikannya. Sebab, sikap itu lebih dekat pada perpecahan dan kotornya hati dibanding iman dan ridha kepada saudara sesama muslim.
Ajaklah umat kepada mengimani Allah ﷺ, agar meyakiniNya sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur hidup, yang menghidupkan dan mematikan, yang berhak disembah secara haq, dan pemilik otoritas tertingga dalam tasyri’ (perundang-undangan). Semua umat Islam sepakat ini, walau secara praktek di lapangan di antara mereka ada yang menyimpang dari kesepakatan ini. Jangan dulu ajak orang awam meributkan perbedaan salaf dan khalaf tentang makna “wajah Allah”, “tangan Allah”, “Allah bersemayam di atas arsy”, “Allah turun ke langit dunia”, dan semisalnya, yang justru membuat mereka bingung, bahkan akhirnya lari dari agama seperti yang terjadi di beberapa negara. Para mualaf kembali murtad lantaran sebagian da’i Islam saling mengkafirkan, lalu para mualaf diseret-seret untuk larut dalam perdebatan itu. Likulli maqaamin maqaal .... setiap kedudukan ada temanya masing-masing.
Contohnya lainnya, ajaklah umat kepada menjaga shalat yang lima, ajarkan kekhusyu’an, tumaninah, dan semisalnya. Semua sepakat atas hal ini. Jangan dulu ajarkan mereka tentang bahwa “ada lebih 20 pendapat tentang jarak dibolehkannya shalat qashar”, atau “15 pendapat tentang batas minimal jumlah jamaah untuk sahnya shalat jumat”, toh masalah-masalah seperti secara alamiah akan mereka cari juga dengan sendirinya seiring dengan kedewasaan ilmu dan usia.
6. Yassiruu walaa tu’assiruu (Permudahlah dan jangan persulit)
Yaitu ajak mereka kepada hal yang mudah selama ada dasarnya dan tidak mengandung dosa. Bukan mudah mencari yang enak-enak sesuai selera dan hawa nafsu tentunya.
Sebab agama ini memang mudah, Allah ﷻ berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”(QS. Al Baqarah: 185)
“Allah memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisa’: 28)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (dispensasi) yang diberikannya dilakukan, sebagaimana Ia juga suka jika ‘azimah (kewajiban awal sebelum dirukhshah)nya dikerjakan.” (HR. Ahmad dan Baihaqy. Imam Thabarany meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Shahih menurut Syaikh al Albany dalam Shahih alJami’ Ash Shaghir, no. 1881. Al Haitsami mengatakan dua jalur tersebut rijalnya tsiqah)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka jika rukhshahnya dilaksanakan, sebagaimana ia benci jika maksiat dikerjakan.” (HR.Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya, 5866, 5873. Ibnu Hibban dalam shahihnya, 2742. Al Haitsami mengatakan rijalnya shahih)
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha,“Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa.” (HR. Bukhari dan Muslim, Al Lu’lu wal Marjan. Kitab al Fadhail, Bab Muba’adatuhu Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lil Atsam …, No. 1502)
7. Basysyiruu walaa tunaffiruu (Berikan kabar gembira jangan buat orang lari)
Yaitu hendaknya para da’i menyeimbangkan antara kabar gembira dan peringatan. Terlalu banyak peringatan akan membuat umat lari, terlalu banyak kabar gembira akan membuat mereka terlena. Maka, seimbangkan antara keduanya sebagaimana Allah ﷻ dan RasulNya ajarkan.
Maka, beritakan tentang ajakan persatuan, ayatnya, juga haditsnya, walau kita katakan bahwa telah menjadi kenyataan sejarah jika umat ini berpecah. Tetapi perintah syar’inya adalah bersatu.
Beritakan tentang dosa-dosa dan ancamannya yang pedih, baik dunia dan akhirat, sebagaimana beritakan pula amal-amal mulia dan ganjarannya yang nikmat dan abadi, di dunia dan akhirat.
Hadits dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda: “Berikanlah kemudahan jangan mempersulit, berikanlah kabar gembira, jangan buat mereka lari.” (HR. Imam Bukhari. Al Lu’lu’ wal Marjan.Kitab al Jihad, Bab Fi al Amr at Taysir wa Tarku at Tanfir. no. 1131)
Demikian. Wallahu A’lam
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar