SekolahMurabbi.com - Tiga belas tahun lamanya kaum Muslimin tidak mendapatkan panggung yang tepat untuk menelanjangi keangkuhan dan kesemena-menaan Quraisy. Komandonya hanya satu: bersabar. Maka begitulah, di bawah intimidasi dan penindasan Quraisy, kaum Muslimin menjalankan perintah tanpa membantah. Bilal dan Khabbab ditindih batu panas, Yasir dan Sumayyah ditikam tombak hingga syahid, Zinnirah dan Nahdiyah ditimpakan berbagai siksaan.
Rupanya sabar adalah senjata ampuh
dalam dakwah. Keteguhan hati telah menebarkan pesona tersendiri bagi siapapun
yang memperhatikannya. Siksaan bahkan upaya pembunuhan Rasulullah bukan malah
meredupkan sinar Islam, justru mengantarkan Hamzah ibn Abdul Muththalib dan
‘Umar ibn Al-Khaththab, dua tokoh terpandang Quraisy, menyongsong hidayah di
tahun keenam nubuwwah.
Quraisy kelabakan. Setiap hari
mereka terus kecolongan dan upaya menghentikan pertumbuhan Islam nihil. Tapi
tak ada cara lain selain menggencarkan perlakuan sewenang-wenang terhadap
siapapun yang meninggalkan paganisme. Kita tahu kemudian Allah mewahyukan
perintah hijrah ke Madinah. Dan ini menjadi episode mula dari sejarah Islam
tahap selanjutnya.
Tiga belas tahun itu berakhir sudah.
Ini babak baru perjuangan yang memang sudah ditakdirkan Allah. Di Madinah,
Rasulullah menghimpun dan membangun masyarakat baru. Hingga tiba saatnya
mencoreng muka congkak Quraisy di mata bangsa Arab dan sekitarnya.
Badar telah dipilih Allah sebagai
tempat pertama setelah bertahun-tahun lamanya untuk menghinakan mereka yang
menghalang-halangi dakwah agamanya. Maka berangkatlah Rasulullah dan kaum
muslimin kesana. Dan takdir berjalan sebagaimana ketetapannya. Allah sungguh
Mahabenar. Ia tak membiarkan cahaya-Nya padam.
Di Badar, Quraisy Tak Berdaya
Badar adalah saksi bahwa kekuatan
sejatinya bukan urusan banyak-sedikitnya pasukan, tapi siap-tidaknya menatap
pertempuran. Kesiapan itu terbingkai dalam bara semangat juang dan kebrilianan
strategi. Semangat juang yang menyala-nyala adalah berkat keyakinan yang
terpatri dalam relung jiwa sementara strategi perang yang cemerlang adalah
hasil musyawarah pemimpin dan pasukan perang.
Keyakinan seringkali menuntut
pengorbanan sebagaimana halnya ‘Umar ibn Al-Kaththab membunuh pamannya, Al-Ash
ibn Hisyam. Atau seperti Mush’ab ibn Umair yang membiarkan saudara kandungnya
yang musyrik, Abu Aziz ibn Umair, menjadi tawanan Islam.
Sementara musyawarah adalah cara
paling baik merundingkan keputusan paling tepat. Strategi Rasulullah
memberhentikan pasukan di mata air Badar diganti dengan pendapat Al-Hubab ibn
Mundzir yang lebih jitu.
Maka benarlah janji Allah. Mereka
yang tak menginginkan dakwah Islam mekar mencari segala cara untuk memadamkan
cahaya-Nya. Tapi Allah jualah yang menjaga agamanya terus bersinar menemani
perjalanan zaman.
Terkaparlah armada perang dan
kavaleri berkuda Quraisy di hadapan 313 (satu riwayat lain menyebutkan 317)
pemuda yang mencari salah satu dari dua tujuan: menang atau mati syahid!
Bukan Akhir
Kemenangan Badar menampik anggapan
bahwa pembela panji-panji Islam adalah orang-orang lemah. Tiga belas tahun
sebelumnya muslimin memang ditindas, diteror, disiksa. Tapi tiga belas tahun
itu juga adalah masa pemantapan bahwa apa yang mereka yakini dan bela adalah
kebenaran yang berasal dari langit. Dan pemantapan keyakinan itu sesungguhnya
adalah persiapan perang yang sebenarnya. Juga, mungkin menjadi pembiasaan setiap muslim
agar terbiasa menghadapi kondisi-kondisi kritis. Intinya, mereka telah
dihadapkan pada situasi yang ‘lebih buruk’ dari perang. Dengan demikian, perang
bukanlah masalah. Ditambah bekal keyakinan menegakkan kebenaran dan balasan
yang didapat jika gugur di medan perang, maka gagah-gigihlah mereka berjuang
hingga menang.
Tapi Badar bukan stasiun terakhir
dari perjuangan Rasulullah. Ia adalah panggung perang untuk kemudian menjadi
kemenangan pertama yang mengantarkan Rasulullah dan muslimin ke
perjuangan-perjuangan berikutnya.
Badar seharusnya menjadi pelajaran
bagi para pendakwah untuk tidak terlalu larut dalam euforia kemenangan lalu
lupa mempersiapkan ‘perang’ berikutnya. Juga, meskipun perjuangan ini ditolong
oleh Allah, itu bukan berarti pendakwah melupakan ikhtiar-ikhtiar manusiawinya.
Tetaplah bersiaga, tetaplah berjalan
dalam koridor dakwah. Tetaplah menjalankan strategi dari qiyadah. Sebab perang
berikutnya di Uhud adalah bukti bahwa pembangkangan terhadap pemimpin merupakan
syarat pertama kekalahan dakwah.
Allahu akbar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar