SekolahMurabbi.com - Cinta itu setengah-setengah. Setengahnya
kebahagiaan, setengahnya lagi perjuangan. Dan keduanya tak pernah bisa
dipisahkan. Kau takkan dapatkan nikmatnya kebahagiaan bila tak kaurasai
hebatnya perjuangan. Itu sama mustahilnya dengan mengharap pohon berbuah tapi
tak pernah mau menanam benih di tanah ladang.
Cinta itu setengah-setengah.
Setengahnya memiliki, setengahnya lagi ikhlas jika nantinya kehilangan.
Mencintai yang fana tak boleh terlalu berlebihan. Sebab cinta buta adalah awal
dari penderitaan. Kelak mereka yang tak memiliki setengah yang kedua di hatinya
takkan siap menghadapi hidup saat hikayat cintanya menemui titik akhir bernama
perpisahan.
Cinta itu setengah-setengah.
Setengahnya terang-terangan, setengahnya lagi dilakukan diam-diam. Maka abadilah
cinta kaum muslimin yang karena Allah. Ketika bertemu, jabatan tangan, tatapan
mata dan bincang-bincang mereka adalah ungkapan cinta. Ketika berpisah, ke-salingcinta-an
terungkap dalam doa-doa yang dipanjatkan. Sebelum mereka, Rasul akhir zaman
telah lebih dulu meneladankan. Ia habiskan sebagian usianya berdiam diri di gua
Hira’, memikirkan umat yang dicintainya sedang berada di titik nadir peradaban.
Lalu ketika perintah datang, ia tak sedikitpun ragu menyatakan cintanya
terang-terangan. Cinta itu, kita tahu, bernama dakwah Islam.
Cinta itu setengah-setengah.
Setengahnya memberi, setengahnya lagi penerimaan. Menjadi pencinta berarti siap
memberikan cinta untuk yang dicinta. Menjadi pencinta juga berarti siap
menerima segala respon balik pemberian. Entah itu penghargaan, pujian, atau
bahkan penolakan yang penuh caci maki dan hujatan. Jika ada orang yang siap
memberi tapi tak siap menerima, ia sesungguhnya belum memahami hakikat mencintai.
Lekaslah berkaca pada teladan terbaik kita, Rasulullah saw. Betapa ketika ia
mendakwahkan cinta, yang diterimanya dari orang-orang yang dicintainya adalah
kata-kata menyakitkan, perlakuan penuh kebencian, percobaan pembunuhan, bahkan tantangan
untuk perang. Tapi cintanya tak padam. Seusai perang Badar, tawanan-tawanan itu
bahkan dibebaskan. Ini bahasa cinta yang sulit kita pahami logikanya.
Cinta itu setengah-setengah.
Setengahnya syukur, setengahnya lagi kesabaran. Sebab cinta adalah romantika
kehidupan, kau takkan mampu menjalaninya dengan syukur sebagai bekal. Dalam perjalanan
cinta, ada saat-saat di mana kau tak temui harapan sesuai keinginan. Jika tak memiliki
sabar, mungkin kau akan memilih berhenti dan berpaling ke lain haluan. Tersebutlah
Thaif dan saat-saat setelah ‘Amul Huzni, tempat dan waktu di mana Rasulullah
saw. mengajarkan kita tentang menjalani cinta dengan kesabaran. Selepas kehilangan
Khadijah dan Abu Thalib, dua sosok yang menamenginya selama ini, penduduk Thaif
menolak dakwahnya dengan keras hingga terompahnya memerah teraliri darah. Masuk
akal jika malaikat menawarkan kaum itu dibinasakan. Bukannya mengiyakan,
Rasulullah malah mendoakan Thaif. Ini bahasa cinta yang sulit kita pahami
logikanya.
Cinta itu setengah-setengah.
Setengahnya kemesraan, setengahnya lagi penghormatan. Kemesraan menjaga cinta
tetap menyala, tapi penghormatan menjadikannya lebih terhormat. Begitulah Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali dan sahabat-sahabat yang mulia mencintai Rasulullah
saw. Mesra hingga lutut-lutut mereka bertemu dalam setiap majelis halaqah.
Hormat hingga tak ada satu orangpun yang memanggil sang Nabi kecuali dengan
panggilan “ya Rasulullah”.
Begitulah cinta adanya. Kau takkan
pernah menjadi pencinta yang sempurna andai hanya memiliki setengahnya saja. Maka
jadilah bahagia tapi tak lupa menjaga semangat perjuangan, memiliki namun siap
ikhlas jika harus kehilangan, memesrai dengan menggenapkan penghormatan, memberi
sekaligus menghargai segala pemberian, mengekspresikannya terang-terangan sembari
tetap menyalakannya dalam diam dan memanjatkan syukur atas segenap kelebihannya,
lalu bersabar atas segala kekurangannya.
Berat? Bisa jadi. Tapi begitulah
cinta sejatinya. Dan kukabari kau, Kawan. Pencinta sejati di dunia ini
jumlahnya hanya segelintir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar