“Boro-boro
damai, beli bedak aja susah!” keluh Baidah bersungut-sungut.
Baidah
(35 tahun) wanita korban konflik RI – GAM beberapa waktu silam itu menggerakkan
tangannya maju-mundur. Mukanya memuram.
Ditanya
tentang perasaannya setelah Aceh damai dengan RI, Baidah malah menggerutu
ketus.
“Damai hanya untuk mereka yang lidahnya panjang menjulur sampai menyentuh perut yang buncit.” tambah Baidah.
Tangannya
masih maju-mundur memegangi tangkai setrika. Beberapa baju laundry usai digosok. Keringat mulai membanjiri tubuhnya. Semangat
sekali ia menuntaskan pekerjaannya. Etos kerja yang lahir dari kesungguhan dan
profesionalitas mengkristal dalam diri Baidah.
Baidah
menjadi karyawan pada salah satu laundry
kecil di seputar Darussalam. Di usianya yang ke-35 tahun ia harus membesarkan
anak perempuan satu-satunya tanpa suami. Ia harus berpisah selamanya dengan
sang suami. 13 tahun yang lalu suaminya divonis gila. Entah kenapa sebabnya. Baidah
tak senang bercerita tentang itu. Desas-desus dari sekitar, suami Baidah
mengalami trauma konflik.
Kini
bila ditanya tentang arti perdamaian kepadanya, selalu saja ada yang terasa
teriris perih di hatinya. Selalu akan ada yang mengingatkan pada perihnya masa
lalu. Parahnya lagi, masa kini pun tak ubahnya masa lampau, masih saja merasa
perih. Keperihan ini adalah luka yang tiada berujung.
Saban
hari Baidah datang dan pergi ke tempat penampungan baju kotor. Ia mulai lihai
mengurusi pakaian kotor. Baginya, damai itu seperti pakaian kotor yang berubah
menjadi bersih. Sebuah kondisi suram masa lampau menuju terangnya cahaya hari
ini. Tapi jangan tanyakan apakah Baidah merasa damai?
Baidah
tak merasakan indahnya bangku kuliah. Boro-boro kuliah, lebih dari setengah
impiannya dibunuh serdadu berahang keras. Tapi menjadi pegawai laundry membuatnya bersyukur. Setidaknya
pakaian-pakaian dosen dan mahasiswa dia yang bersihkan. Mereka bisa damai masuk
kuliah karna jasa Baidah.
Tidak
seperti wanita urban kebanyakan, Baidah adalah wanita kampung yang jarang
memoles wajahnya dengan rupa-rupa kosmetik. Harganya terlalu mahal. Harga kosmetik
bermerek itu setara dengan harga beras untuk di makan sebulan. Parahnya, kosmetik
wanita itu tidak cukup satu. Jenisnya beraneka ragam sesuai dengan fungsinya
masing-masing.
Sebelum
memakai bedak, wajah harus dibersihkan terlebih dahulu menggunakan susu
pembersih. Setelah itu memakai toner
dan dibubuhi alas bedak sebelum kemudian dipoles menggunakan bedak padat. Agar
wajah terlihat merona menggunakan blush-on.
Eye brow dibubuhkan untuk mempertegas
alis dan eye liner untuk mempertegas
sorot mata. Mascara dan eye shadow pun tak boleh tertinggal.
Kosmetik penutup adalah lipstick,
biasanya dipakai paling akhir dalam tata rias harian seorang wanita.
Betapa
ribetnya bukan? Untuk keperluan itu saja, tak sedikit kocek yang harus
dikeluarkan. Itulah alasan mengapa Baidah tak bersolek.
Maka
menjadi lumrah ketika Baidah bersungut-sungut saat berkata damai tak hinggap di
hatinya. Ia marah betul dengan artis-artis Korea. Baginya penjajah zaman kini
adalah Negara Korea dengan sederet artis cantik dan mulus. Semua orang menuntut
para wanita harus secantik artis Korea. Setiap berpapasan dengan gadis-gadis Korea
pasti baidah akan membunuh mereka di layar kaca.
Herannya
lagi, artis lelaki korea pun cantik dan mulus seperti wanita. Membuat baidah
semakin jengah jika membandingkan kondisi ini dengan realita hidupnya.
Kalau
boleh jujur, Baidah selalu berharap agar tak ada lagi orang yang menuntutnya
harus lebih cantik dari laki-laki Korea.
Damai
itu adalah saat dimana wajah bisa dipoles aneka ragam kosmetik. Lalu, bagaimana
itu bisa terjadi jika sekedar menenangkan perut yang kerap berdangdutan saja
kerepotan. Betapa susahnya jadi wanita di setiap putaran zaman.
Tersebutlah sebuah negeri. Dimana rakyat diminta mengabdi sebaik-baiknya. Rakyat diminta untuk patuh dan setia pada penguasa. Pemimpin harus dilayani rakyat sedangkan rakyat dibiarkan meminum air mata. Rakyat diminta hemat dan tahan lapar sedang pemimpinnya makan sekenyang-kenyangnya. Alih-alih menciptakan kedamaian, mereka malah menggali pusara untuk siapapun yang ingin cepat kembali pada-Nya. Baidah tidak yakin itu bukan negerinya.
Masalah
di seluruh negeri dimulai dari hanya masalah perut. Takkan ada pertikaian bila
perut kenyang. Takkan ada yang menjerit-jerit di bawah terik matahari kalau
perutnya terisi makanan. Takkan ada yang mengangkat belati lalu menancapkannya
pada sembarang dada kalau ruang yang hanya sejengkal itu bebas dari rasa lapar.
Tugas
pemimpin hanya memastikan semua rakyatnya kenyang. Kenyang dari semua tuntutan
hidup terkait sandang, pangan, papan.
“Kalau
gak sanggup jadi pemimpin, kasih ke
aku aja.” ujar Baidah serius.
Meskipun
Baidah hanya lulusan SMA ia cukup dihargai di kampungnya. Ia kerap dihargai
karna punya prinsip keras untuk kemajuan desanya. Orangnya kritis.
Darussalam adalah rahim, tempat dimana para aktivis dilahirkan. Merekalah yang dahulunya dikenal Baidah sangat kencang bersenandung lagu perdamaian. Kini mereka yang punya kuasa atas segala apa. Realitanya mereka hanya diam di atas kursi pesakitan. Karna sejatinya yang sakit bukanlah fisiknya tapi yang sakit adalah jiwanya.
Tubuh
mereka mulai nyaman dengan kursi empuk jabatan. Tak heran perut jadi semakin
buncit karena terlalu banyak makan dan lupa sesiapa. Matanya menyipit nyaris
tertutup karena tak mau lagi melihat derita nestapa. Telinga mengecil karena
tak kuasa mendengar rengekan rakyat jelata. Benarlah apa yang dikatakan Baidah ‘Damai hanya untuk mereka yang lidahnya
panjang menjulur sampai menyentuh perut yang buncit’.
Dahulu
ia ingat betul. Masih mengakar di batok kepalanya, kalimat-kalimat indah nan heroik
yang dilapazkan para pejuang muda Darussalam, ‘kita bebaskan Aceh! Agar tanah yang subur dan kaya ini jadi milik
kita. Agar tak ada lagi sebentuk ketidakadilan. Agar tak ada lagi
kesusah-sengsaraan. Agar tak ada lagi anak kurus tak sekolah. Agar tak ada lagi
wanita-wanita yang menangis di sudut malam’.
Kalimat-kalimat
itu memang benar. Mereka selalu benar. Yang salah adalah Baidah. Ia terlalu
percaya pada mereka. Ya, seharusnya Baidah lah yang menyesali kesalahannya.
Wanita yang terlahir dari rahim tanah Aceh. Besar di sekeliling bukit barisan. Yang
hanya mampu menumpahkan airmata di lapangan tempat para pejuang disemayamkan.
Tak lebih dari itu.
Tidak cukup ruang dan waktu bagi seorang Baidah untuk meratapi diri. Sudahlah zaman tak berkenan bermurah hati, ditambah lagi kini bahkan mimpi sudah di hukum mati. Mengalah pada ketidakharmonisan zaman bukan berarti mengalah pada keadaan.
Baidah
tak butuh uluran tangan siapapun. Baginya, wanita memang kadang bisa sangat
rapuh seperti kapas, tapi wanita juga bisa lebih kuat dari batu karang. Semua masalah
dalam hidup membuatnya harus bisa tegak berdiri setegar batu karang. Meski
lebih tepatnya adalah mencoba ditegar-tegarkan.
Baidah
mungkin tak merasakan damai (sebagai efek dari perjanjian Helsinki)
mengejawantah pada tataran aplikasi nyata. Tapi ia sungguh sangat berharap anak
perempuan semata wayangnya dan semua anak perempuan yang lahir di tanah rencong,
tak menjadi Baidah-Baidah yang baru.
“Bisa
minta tolong?” tanya Baidah penuh harap.
“Tolong
jangan tanyakan lagi apapun tentang damai padaku.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar