/
Artikel Terbaru
Artikel Terbaru ...

Damai Untuk Baidah

Published On: 06.47.00 By : DC Habibillah In : , ,

“Boro-boro damai, beli bedak aja susah!” keluh Baidah bersungut-sungut.

Baidah (35 tahun) wanita korban konflik RI – GAM beberapa waktu silam itu menggerakkan tangannya maju-mundur. Mukanya memuram.  

Ditanya tentang perasaannya setelah Aceh damai dengan RI, Baidah malah menggerutu ketus.

“Damai hanya untuk mereka yang lidahnya panjang menjulur sampai menyentuh perut yang buncit.” tambah Baidah.

Tangannya masih maju-mundur memegangi tangkai setrika. Beberapa baju laundry usai digosok. Keringat mulai membanjiri tubuhnya. Semangat sekali ia menuntaskan pekerjaannya. Etos kerja yang lahir dari kesungguhan dan profesionalitas mengkristal dalam diri Baidah.     

Baidah menjadi karyawan pada salah satu laundry kecil di seputar Darussalam. Di usianya yang ke-35 tahun ia harus membesarkan anak perempuan satu-satunya tanpa suami. Ia harus berpisah selamanya dengan sang suami. 13 tahun yang lalu suaminya divonis gila. Entah kenapa sebabnya. Baidah tak senang bercerita tentang itu. Desas-desus dari sekitar, suami Baidah mengalami trauma konflik.

Kini bila ditanya tentang arti perdamaian kepadanya, selalu saja ada yang terasa teriris perih di hatinya. Selalu akan ada yang mengingatkan pada perihnya masa lalu. Parahnya lagi, masa kini pun tak ubahnya masa lampau, masih saja merasa perih. Keperihan ini adalah luka yang tiada berujung.

Saban hari Baidah datang dan pergi ke tempat penampungan baju kotor. Ia mulai lihai mengurusi pakaian kotor. Baginya, damai itu seperti pakaian kotor yang berubah menjadi bersih. Sebuah kondisi suram masa lampau menuju terangnya cahaya hari ini. Tapi jangan tanyakan apakah Baidah merasa damai?

Baidah tak merasakan indahnya bangku kuliah. Boro-boro kuliah, lebih dari setengah impiannya dibunuh serdadu berahang keras. Tapi menjadi pegawai laundry membuatnya bersyukur. Setidaknya pakaian-pakaian dosen dan mahasiswa dia yang bersihkan. Mereka bisa damai masuk kuliah karna jasa Baidah.

Tidak seperti wanita urban kebanyakan, Baidah adalah wanita kampung yang jarang memoles wajahnya dengan rupa-rupa kosmetik. Harganya terlalu mahal. Harga kosmetik bermerek itu setara dengan harga beras untuk di makan sebulan. Parahnya, kosmetik wanita itu tidak cukup satu. Jenisnya beraneka ragam sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Sebelum memakai bedak, wajah harus dibersihkan terlebih dahulu menggunakan susu pembersih. Setelah itu memakai toner dan dibubuhi alas bedak sebelum kemudian dipoles menggunakan bedak padat. Agar wajah terlihat merona menggunakan blush-on. Eye brow dibubuhkan untuk mempertegas alis dan eye liner untuk mempertegas sorot mata. Mascara dan eye shadow pun tak boleh tertinggal. Kosmetik penutup adalah lipstick, biasanya dipakai paling akhir dalam tata rias harian seorang wanita.

Betapa ribetnya bukan? Untuk keperluan itu saja, tak sedikit kocek yang harus dikeluarkan. Itulah alasan mengapa Baidah tak bersolek.

Maka menjadi lumrah ketika Baidah bersungut-sungut saat berkata damai tak hinggap di hatinya. Ia marah betul dengan artis-artis Korea. Baginya penjajah zaman kini adalah Negara Korea dengan sederet artis cantik dan mulus. Semua orang menuntut para wanita harus secantik artis Korea. Setiap berpapasan dengan gadis-gadis Korea pasti baidah akan membunuh mereka di layar kaca.

Herannya lagi, artis lelaki korea pun cantik dan mulus seperti wanita. Membuat baidah semakin jengah jika membandingkan kondisi ini dengan realita hidupnya.

Kalau boleh jujur, Baidah selalu berharap agar tak ada lagi orang yang menuntutnya harus lebih cantik dari laki-laki Korea.

Damai itu adalah saat dimana wajah bisa dipoles aneka ragam kosmetik. Lalu, bagaimana itu bisa terjadi jika sekedar menenangkan perut yang kerap berdangdutan saja kerepotan. Betapa susahnya jadi wanita di setiap putaran zaman.

Tersebutlah sebuah negeri. Dimana rakyat diminta mengabdi sebaik-baiknya. Rakyat diminta untuk patuh dan setia pada penguasa. Pemimpin harus dilayani rakyat sedangkan rakyat dibiarkan meminum air mata. Rakyat diminta hemat dan tahan lapar sedang pemimpinnya makan sekenyang-kenyangnya. Alih-alih menciptakan kedamaian, mereka malah menggali pusara untuk siapapun yang ingin cepat kembali pada-Nya. Baidah tidak yakin itu bukan negerinya.

Masalah di seluruh negeri dimulai dari hanya masalah perut. Takkan ada pertikaian bila perut kenyang. Takkan ada yang menjerit-jerit di bawah terik matahari kalau perutnya terisi makanan. Takkan ada yang mengangkat belati lalu menancapkannya pada sembarang dada kalau ruang yang hanya sejengkal itu bebas dari rasa lapar.

Tugas pemimpin hanya memastikan semua rakyatnya kenyang. Kenyang dari semua tuntutan hidup terkait sandang, pangan, papan.

“Kalau gak sanggup jadi pemimpin, kasih ke aku aja.” ujar Baidah serius.

Meskipun Baidah hanya lulusan SMA ia cukup dihargai di kampungnya. Ia kerap dihargai karna punya prinsip keras untuk kemajuan desanya. Orangnya kritis. 

Darussalam adalah rahim, tempat dimana para aktivis dilahirkan. Merekalah yang dahulunya dikenal Baidah sangat kencang bersenandung lagu perdamaian. Kini mereka yang punya kuasa atas segala apa. Realitanya mereka hanya diam di atas kursi pesakitan. Karna sejatinya yang sakit bukanlah fisiknya tapi yang sakit adalah jiwanya.

Tubuh mereka mulai nyaman dengan kursi empuk jabatan. Tak heran perut jadi semakin buncit karena terlalu banyak makan dan lupa sesiapa. Matanya menyipit nyaris tertutup karena tak mau lagi melihat derita nestapa. Telinga mengecil karena tak kuasa mendengar rengekan rakyat jelata. Benarlah apa yang dikatakan Baidah ‘Damai hanya untuk mereka yang lidahnya panjang menjulur sampai menyentuh perut yang buncit’.

Dahulu ia ingat betul. Masih mengakar di batok kepalanya, kalimat-kalimat indah nan heroik yang dilapazkan para pejuang muda Darussalam, ‘kita bebaskan Aceh! Agar tanah yang subur dan kaya ini jadi milik kita. Agar tak ada lagi sebentuk ketidakadilan. Agar tak ada lagi kesusah-sengsaraan. Agar tak ada lagi anak kurus tak sekolah. Agar tak ada lagi wanita-wanita yang menangis di sudut malam’.

Kalimat-kalimat itu memang benar. Mereka selalu benar. Yang salah adalah Baidah. Ia terlalu percaya pada mereka. Ya, seharusnya Baidah lah yang menyesali kesalahannya. Wanita yang terlahir dari rahim tanah Aceh. Besar di sekeliling bukit barisan. Yang hanya mampu menumpahkan airmata di lapangan tempat para pejuang disemayamkan. Tak lebih dari itu.

Tidak cukup ruang dan waktu bagi seorang Baidah untuk meratapi diri. Sudahlah zaman tak berkenan bermurah hati, ditambah lagi kini bahkan mimpi sudah di hukum mati. Mengalah pada ketidakharmonisan zaman bukan berarti mengalah pada keadaan. 

Baidah tak butuh uluran tangan siapapun. Baginya, wanita memang kadang bisa sangat rapuh seperti kapas, tapi wanita juga bisa lebih kuat dari batu karang. Semua masalah dalam hidup membuatnya harus bisa tegak berdiri setegar batu karang. Meski lebih tepatnya adalah mencoba ditegar-tegarkan.

Baidah mungkin tak merasakan damai (sebagai efek dari perjanjian Helsinki) mengejawantah pada tataran aplikasi nyata. Tapi ia sungguh sangat berharap anak perempuan semata wayangnya dan semua anak perempuan yang lahir di tanah rencong, tak menjadi Baidah-Baidah yang baru. 

“Bisa minta tolong?” tanya Baidah penuh harap.

“Tolong jangan tanyakan lagi apapun tentang damai padaku.”


***

Tentang Penulis

Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com