/
Artikel Terbaru
Artikel Terbaru ...

Kata Bapak, Jangan Baca Novel!

Published On: 06.34.00 By : DC Habibillah In : , ,
Semua bermula saat aku terlihat masih segar dengan seragam putih biru. Saat SMP dimana pita suara terkoyak dan suara terdengar nge-bass. Saat dimana ketertarikan pada si pemilik jilbab biru muda mulai muncul meletup-letup. Disinilah kadang aku merasa butuh tempat teduh dari sengatan panasnya lingkungan yang membahaya. Sosok yang bisa jadi panutan untuk dicontoh sangat dibutuhkan. Yaitu sosok muda yang religius, yang cerdas, yang penuh empati, yang berani, yang punya karisma. Tapi sosok pemuda teduh yang dapat kujadikan contoh itu tak mewujud di sekitarku.

            Tidak banyak seorang anak menghabiskan waktu berdiskusi dengan Ayahnya. Berbeda dengan aku. Aku sangat suka berdiskusi terkait apapun dengan pria berkacamata yang kupanggil bapak. Bapakku adalah sosok yang peduli, humble dan suka sekali bercanda. Aku sangat menyukai sikapnya yang tampil apa adanya.

Meskipun aku kerap berdiskusi bersamanya, tapi untuk urusan cinta aku tak suka membahas tuntas dengan bapak. Biasanya bapak selalu bercerita tentang pengalaman pribadinya saat bertemu ibu, saat bagaimana bapak mati-matian merebut hati ibu dan saat dimana lika-liku senang susah mengawali hidup bersama ibu. Cerita bapak kadang membuatku tertawa terpingkal dan merayap sedih. Kisahnya asik tapi tak bisa dijadikan contoh.

            Waktu itu di ruang tamu aku sedang asik sekali membaca sebuah novel mini. Novel itu rekomendasi dari ustad muslim, guru ngajiku. Ya, aku ikut pengajian, meski teman-temanku tak percaya. Akupun sebenarnya tidak tertarik untuk ikut pengajian, tapi itu saat aku belum kenal dengan sosok ustad muslim.

Ustad muslim benar-benar seru dan asik. Bila ia menyampaikan materi tak pernah menghakimi. Ia juga sangat meremaja dan banyak kisah-kisah yang diceritakan dengan mimik dan gerak tubuh yang menjiwai. Ustad muslim memiliki suara yang bagus. Dialah yang pertama sekali perkenalkanku dengan musik religi nasyid.

            Kisah yang ditulis dengan judul ‘Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP)’ masih saja kubacai sampai aku tak sadar bapak telah berada di depanku.

“Ke-ti-ka Mas Ga-gah Per-gi, Hel-vy Tia-na Ro-sa” bapak membaca persuku kata. Kacamatanya turun lima mili.

Segera kututup buku. Aku tau bapak tak suka melihatku membacai cerita fiksi. Sepertinya bapak akan marah. Benar saja. Meski tak menghardik bapak tetap menunjukkan wajah yang berisi amarah yang ditahan. Bapak selalu mengulangi perkataan terdahulu bahwa membaca buku fiksi itu tidak ada guna dan menghabiskan waktu. Katanya, membaca novel itu akan membuat orang menjadi cengeng dan lemah. Katanya, orang yang bodoh saja yang mau membaca cerita bohong.

“Pak, kekuatan mengubah orang lain dari buruk menjadi baik itu lebih mengena lewat tulisan novel dibanding kitab-kitab non fiksi. Walaupun adek enggak bilang lebih penting novel daripada buku aqidah dan fiqih. Saat orang membaca tokoh dalam sebuah novel orang selalu berusaha ingin menjadi tokoh tersebut. Nah, ketika semangat menjadi baik sudah meluap-luap dia akan mencari bagaimana caranya, barulah kemudian karangan non fiksi akan memandunya lewat kitab-kitab”

Bapak tak lantas terima pendapatku. Pada akhirnya diskusi menjadi panjang seperti biasa. Bagiku keteguhan hati bapak mengatakan bahwa novel tak berguna oleh karena belum dilihatnya ada bukti orang yang berubah karena karya fiksi. Aku hanya bisa bertekad dalam hati agar sanggup merubah diri sendiri.   

Aku tak pernah menyangka bisa sebijak itu. Tapi begitulah. Sejak sebulan sebelum itu aku sering sekali membaca buku-buku fiksi seperti cerpen dan novel. Tentu aku memilah-milah jenis karangan fiksi. Untuk anak remaja seusiaku aku lebih senang membaca cerita yang ringan dengan bahasa yang sederhana dan meremaja.      

Agar tak salah baca. Akupun sering meminta rekomendasi buku novel kepada ustad muslim. Termasuk buku KMGP yang benar-benar telah mengubah arah hidupku ini adalah rekomendasi dari ustad muslim. Pencarian sosok pemuda panutan itu kutemui dalam buku KMGP yang diwakili oleh tokoh mas gagah. Tokoh Mas Gagah telah menginternalisasi dan mengkristal dalam diriku.

Menariknya, saat teman-teman dekatku tau aku telah berubah. Mereka bukannya menjauh, malah semakin menggodaku. Secara langsung dan tidak langsung mereka mengatakan salut dan kagum. Seperti yang disampaikan Rini dan Audi (bukan nama asli). Meski begitu tak sedikit pula yang tidak suka dengan perubahan sikapku.

Bapak adalah orang yang paling merasakan perubahan sikapku. Dalam beberapa hal aku masih terlihat seperti dulu, seperti kebiasaan menggunakan celana jeans, baju kaos, gaya rambut ala korea, jam tangan segede balok dan gelang metal melingkar di pergelangan tangan. Tapi bapak benar-benar terkejut melihat aku semakin rajin shalat berjamaah di samping rumah.

“Yang wajib itu tutupin aurat, pak. Bukan pake baju koko, sarung dan kopiah” ujarku sambil tersenyum saat bapak bilang kalau shalat itu pake baju koko. Sebenarnya aku belum siap saja merubah penampilanku.

Bapak senang saja dengan perubahanku. Tapi ia agak risih juga jika seandainya aku nanti akan berlebihan dalam beragama. Bapak ingin agar aku biasa-biasa saja dalam beragama. Entahlah, akupun tak paham maksudnya.

Begitulah sikap bapak melihat perubahanku sampai satu ketika amarahnya pecah. Ia benar benar marah. Selama ini aku tak pernah melihat bapak marah dengan sejadi-jadinya seperti ini.

“Susah ya! Punya anak ulama!” teriak bapak dari bilik kamar tripleknya.

Tak ayal lagi seisi rumah menjadi senyap. Hanya suara televisi yang masih menyala. Sejenak kak Heni mematikan TV.

“Braakk!” bapak menggebrak meja di dalam kamarnya.

Kemarahannya memang sudah sampai ke ubun-ubun. Pasalnya, bapak memintaku untuk membeli satu pack rokok kesukaannya. Bertepatan dengan itu kak Heni juga nitip membeli bahan-bahan menjahit. Nah, yang pertama kubeli adalah pesanan kak Heni. Ternyata uang kak Heni kurang, jadi sebagian uang yang bapak beri aku pakai untuk membeli pesanan kak Heni.

Apesnya, ternyata sisa uang bapak untuk membeli rokok itu menjadi kurang. Sedangkan aku lupa membawa uang barang sepeserpun. Aku tak sampai berani membeli rokok per bungkus karena pesanan bapak itu satu pack besar.

Aku pulang ke rumah tanpa pesanan rokok bapak dengan harapan akan kembali lagi ke warung. Tapi ternyata hujan mengguyur bumi. Hari pun sudah gelap, 15 menit lagi azan magrib akan menggema.

Melihat aku tak membawa apa-apa, tanpa tedeng aling-aling bapak memarahiku. Saat itu aku benar-benar terkejut. Lidah pun menjadi kelu.

“Sengaja kamu mau bunuh bapakmu ini ya? Yang merokok kan bapak. Biar bapak yang mati!” Ah… menohok sekali sindiran bapak.

Bapak memang perokok berat. Akhir-akhir ini aku selalu saja membahas tentang bahaya rokok dan tentang hukum rokok dalam Islam. Meskipun dulu aku anak yang bergaul dengan lingkungan yang kurang baik. Tapi Alhamdulillah aku tak terjebak dengan tuhan sembilan senti itu.

Karena seringnya aku mengingatkan bahaya rokok pada bapak mungkin membuat bapak berpikir kejadian yang tak sengaja ini merupakan upayaku untuk mengerjai bapak. Aku masih ingat waktu itu tepatnya di akhir bulan November tahun 2007 adalah diskusi yang sangat panjang antara aku dan bapak tentang rokok.

“Buktinya bapak masih hidup, banyak tuh yang enggak ngerokok tapi matinya cepat. Sakit dan mati itu masalah takdir saja” ujar bapak membela diri saat kusampaikan merokok bisa menyebabkan kematian.

“Iya, pak. Sakit dan kematian masalah takdir. Makanya kita berusaha agar takdir kematian kita bukan karena rokok” sulit sekali menyampaikan kebenaran bahaya rokok kepada perokok berat.
“Lagi pula hukumnya makruh” ucap bapak lirih sekali terdengar di telingaku.

“Makruh?” tanyaku agresif. Aku harus mengontrol kata-kata agar tidak terkesan menggurui atau bernada tinggi. Bagaimanapun aku seorang anak. Aku sangat cinta bapak.

“Pak, setau adek enggak ada satupun ulama rujukan dunia yang memakruhkan status rokok. Justru keharamannya jelas,” ragu aku mengatakan ini. Khawatirnya ini bisa jadi salah persepsi. Kulanjutkan lagi,

“Merokok itu dianggap membunuh diri. Sudah tau mengandung ratusan zat berbahaya bagi tubuh tapi masih tetap dihisap. Sama seperti menenggak racun. Bedanya merokok membunuh diri secara perlahan. Perihal hukum makruh yang disampaikan ‘ulama’ di Indonesia. Adek tidak tau mereka mengambil rujukan darimana” akhirnya semua tuntas kusampaikan.

Beberapa waktu lalu, sebelum diskusi aku memang sudah membaca banyak rujukan tentang bahaya rokok dan hukumnya dalam pandangan Islam. Ini kulakukan lagi-lagi hanya karena aku sangat cinta bapak. Aku tidak mau bapak kenapa-kenapa.

Seperti biasa dalam setiap diskusi aku memang tidak pernah menang. Tapi aku mulai mempengaruhi cara berpikir bapak sedikit banyak. Bagiku tak perlu menang. Kuharap dalam kesendirian bapak akan berpikir semua yang kukatakan padanya ada benarnya juga.

Diskusi ini ditutup dengan kata ampuh bapak “Ini pasti gara-gara Mas Gagah”.

Kuat dugaanku marahnya bapak itu karena teringat diskusi tentang rokok ini. Aku memang ingin bapak berhenti merokok. Tapi bukan dengan cara membangkang saat diminta membeli rokok. Ini hanya salah paham. Dan dalam pada itu bapak sudah tak mau dengar alasan.

Pada akhirnya bapak pergi sendiri ke toko, padahal di luar hujan sedang deras-derasnya. Suara speaker masjid meraung-raung memperdengarkan lantunan indah suara Syeikh Mishari Rasyid. Tinggallah aku yang diam seribu bahasa. Menyesal, sedih, tertekan dan marah bercampur jadi satu mengaduk-aduk isi hati.

Tak berselang lama kejadian itu, bapak sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Hasil foto roentgen nya menunjukan sebagian dari paru-paru bapak sudah mengalami kerusakan. Penyebab utamanya dikarenakan rokok yang sering dikonsumsi bapak. Sakit parah bapak ini menyebabkan bapak harus hidup dengan tabung oksigen berhari-hari di rumah sakit.

Aku benar-benar terpukul sekali. Jika waktu bisa berputar kembali. Aku akan sengaja menghalangi bapak untuk merokok. Tak perduli bapak memaki-maki atau bahkan memukuli diriku.

Beberapa minggu lamanya bapak tak bisa bernapas lega. Saat itu yang paling membuatku terharu adalah saat dimana bapak berkata jujur padaku. Kata-katanya terdengar seperti penyesalan. Atau mungkin bisa jadi seperti petuah.

Aku duduk di samping tempat tidur bapak di rumah sakit dengan baju koko lusuh. Kulihat selang-selang yang entah apa gunanya menghubungkan antara tubuh bapak dengan mesin-mesin. Kusaksikan ini adalah titik terakhir dimana bapak memutuskan untuk tidak merokok lagi.

“Sebenarnya bapak percaya adek. Bapak enggak pernah marah sama adek. Mengenai rokok, bapak percaya itu tidak baik. Cuma bapak tidak bisa meninggalkannya karena candu.”

Dari bahasa tatapan mata bapak, kudapati kejujuran penyesalan. Seolah-olah bapak ingin melanjutkan kata-katanya ‘Begitupun dengan semua diskusi kita. Bapak bangga dengan kamu. Tentang cara berpikir kamu. Tentang perubahan sikapmu.’

Begitulah bapak. Selalu kekurangan bahasa untuk mengungkapkan cinta pada anaknya. Tapi cukup bagiku bahasa tatapan matanya.

Bapak tersenyum dan menggenggam tanganku lantas berkata,

“O ya. Novel Mas Gagah masih ada? Bapak mau baca.”      

Tentang Penulis

Komentar

2 komentar:

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com