Semua bermula saat aku
terlihat masih segar dengan seragam putih biru. Saat SMP dimana pita suara
terkoyak dan suara terdengar nge-bass. Saat dimana ketertarikan pada si pemilik jilbab biru muda mulai muncul
meletup-letup. Disinilah kadang aku merasa butuh tempat teduh dari sengatan
panasnya lingkungan yang membahaya. Sosok yang bisa jadi panutan untuk dicontoh
sangat dibutuhkan. Yaitu sosok muda yang religius, yang cerdas, yang penuh
empati, yang berani, yang punya karisma. Tapi sosok pemuda teduh yang dapat
kujadikan contoh itu tak mewujud di sekitarku.
Tidak banyak seorang
anak
menghabiskan waktu berdiskusi dengan Ayahnya. Berbeda dengan aku. Aku sangat
suka berdiskusi terkait apapun dengan pria berkacamata yang kupanggil bapak.
Bapakku adalah sosok yang peduli, humble dan suka sekali bercanda. Aku sangat
menyukai sikapnya yang tampil apa adanya.
Meskipun
aku kerap berdiskusi bersamanya, tapi untuk urusan cinta aku tak suka membahas
tuntas dengan bapak. Biasanya bapak selalu bercerita tentang pengalaman
pribadinya saat bertemu ibu, saat bagaimana bapak mati-matian merebut hati ibu
dan saat dimana lika-liku senang susah mengawali hidup bersama ibu. Cerita
bapak kadang membuatku tertawa terpingkal dan merayap sedih. Kisahnya asik tapi
tak bisa dijadikan contoh.
Waktu itu di ruang tamu aku sedang asik sekali membaca
sebuah novel mini. Novel itu rekomendasi dari ustad muslim, guru ngajiku. Ya, aku
ikut pengajian, meski teman-temanku tak percaya. Akupun sebenarnya tidak
tertarik untuk ikut pengajian, tapi itu saat aku belum kenal dengan sosok ustad muslim.
Ustad muslim benar-benar seru dan asik. Bila ia
menyampaikan materi tak pernah menghakimi. Ia juga sangat meremaja dan banyak
kisah-kisah yang diceritakan dengan mimik dan gerak tubuh yang menjiwai. Ustad muslim memiliki suara yang bagus. Dialah
yang pertama sekali perkenalkanku dengan musik religi nasyid.
Kisah yang
ditulis dengan judul ‘Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP)’ masih saja kubacai sampai
aku tak sadar bapak telah berada di depanku.
“Ke-ti-ka Mas Ga-gah
Per-gi, Hel-vy Tia-na
Ro-sa” bapak membaca
persuku kata. Kacamatanya turun lima mili.
Segera
kututup buku. Aku tau bapak tak suka melihatku membacai cerita fiksi.
Sepertinya bapak akan marah. Benar saja. Meski tak menghardik bapak tetap
menunjukkan wajah yang berisi amarah yang ditahan. Bapak selalu mengulangi
perkataan terdahulu bahwa membaca buku fiksi itu tidak ada guna dan
menghabiskan waktu. Katanya, membaca novel itu akan membuat orang menjadi
cengeng dan lemah. Katanya, orang yang bodoh saja yang mau membaca cerita
bohong.
“Pak,
kekuatan mengubah orang lain dari buruk menjadi baik itu lebih mengena lewat
tulisan novel dibanding kitab-kitab non fiksi. Walaupun adek enggak bilang
lebih penting novel daripada buku aqidah dan fiqih. Saat orang membaca tokoh
dalam sebuah novel orang selalu berusaha ingin menjadi tokoh tersebut. Nah,
ketika semangat menjadi baik sudah meluap-luap dia akan mencari bagaimana caranya, barulah kemudian karangan non fiksi
akan memandunya lewat kitab-kitab”
Bapak
tak lantas terima pendapatku. Pada akhirnya diskusi menjadi panjang seperti
biasa. Bagiku keteguhan hati bapak mengatakan bahwa novel tak berguna oleh karena
belum dilihatnya ada bukti orang yang berubah karena karya fiksi. Aku hanya
bisa bertekad dalam hati agar sanggup merubah diri sendiri.
Aku
tak pernah menyangka bisa sebijak itu. Tapi begitulah. Sejak sebulan sebelum
itu aku sering sekali membaca buku-buku fiksi seperti cerpen dan novel. Tentu
aku memilah-milah jenis karangan fiksi. Untuk anak remaja seusiaku aku lebih
senang membaca cerita yang ringan dengan bahasa yang sederhana dan meremaja.
Agar
tak salah baca. Akupun sering meminta rekomendasi buku novel kepada ustad
muslim. Termasuk buku KMGP yang benar-benar telah mengubah arah hidupku ini
adalah rekomendasi dari ustad muslim. Pencarian sosok pemuda panutan
itu kutemui dalam buku KMGP yang diwakili oleh tokoh mas gagah. Tokoh Mas Gagah
telah menginternalisasi dan
mengkristal dalam diriku.
Menariknya,
saat teman-teman dekatku tau aku telah berubah. Mereka bukannya menjauh, malah semakin
menggodaku. Secara langsung dan tidak langsung mereka mengatakan salut dan
kagum. Seperti yang disampaikan Rini dan Audi (bukan nama asli). Meski begitu tak
sedikit pula yang tidak suka dengan perubahan sikapku.
Bapak
adalah orang yang paling merasakan perubahan sikapku. Dalam beberapa hal aku
masih terlihat seperti dulu, seperti kebiasaan menggunakan celana jeans, baju
kaos, gaya rambut ala korea, jam tangan segede balok dan gelang metal melingkar
di pergelangan tangan. Tapi bapak benar-benar terkejut melihat aku semakin rajin
shalat berjamaah di samping
rumah.
“Yang
wajib itu tutupin aurat, pak. Bukan pake baju koko, sarung dan kopiah” ujarku
sambil tersenyum saat bapak bilang kalau shalat itu pake baju koko. Sebenarnya aku belum
siap saja merubah penampilanku.
Bapak
senang saja dengan perubahanku. Tapi ia agak risih juga jika seandainya aku
nanti akan berlebihan dalam beragama. Bapak ingin agar aku biasa-biasa saja
dalam beragama. Entahlah, akupun tak paham maksudnya.
Begitulah
sikap bapak melihat perubahanku sampai satu ketika amarahnya pecah. Ia benar
benar marah. Selama ini aku tak pernah melihat bapak marah dengan
sejadi-jadinya seperti ini.
“Susah
ya! Punya anak ulama!” teriak bapak dari bilik kamar tripleknya.
Tak ayal lagi seisi rumah
menjadi senyap. Hanya suara televisi yang masih menyala. Sejenak kak Heni
mematikan TV.
“Braakk!”
bapak menggebrak meja di dalam kamarnya.
Kemarahannya memang sudah
sampai ke ubun-ubun. Pasalnya, bapak memintaku untuk membeli satu pack
rokok kesukaannya. Bertepatan dengan itu kak Heni juga nitip membeli
bahan-bahan menjahit. Nah, yang pertama kubeli adalah pesanan kak Heni.
Ternyata uang kak Heni kurang, jadi sebagian uang yang bapak beri aku pakai untuk membeli pesanan kak
Heni.
Apesnya,
ternyata sisa uang bapak
untuk membeli rokok itu menjadi
kurang.
Sedangkan aku lupa membawa uang barang sepeserpun. Aku tak sampai berani
membeli rokok per bungkus karena pesanan bapak itu satu pack besar.
Aku
pulang ke rumah tanpa pesanan rokok bapak dengan harapan akan kembali lagi ke
warung. Tapi ternyata hujan mengguyur bumi. Hari pun sudah gelap, 15 menit lagi
azan magrib akan menggema.
Melihat
aku tak membawa apa-apa,
tanpa tedeng aling-aling bapak memarahiku. Saat itu aku benar-benar terkejut.
Lidah pun menjadi kelu.
“Sengaja
kamu mau bunuh bapakmu ini ya? Yang merokok kan bapak. Biar bapak yang mati!” Ah… menohok sekali sindiran bapak.
Bapak
memang perokok berat. Akhir-akhir ini aku selalu saja membahas tentang bahaya
rokok dan tentang hukum rokok dalam Islam. Meskipun dulu aku anak yang bergaul
dengan lingkungan yang kurang baik. Tapi Alhamdulillah aku tak terjebak dengan
tuhan sembilan senti itu.
Karena
seringnya aku mengingatkan bahaya rokok pada bapak mungkin membuat bapak
berpikir kejadian yang tak sengaja ini merupakan upayaku untuk mengerjai bapak. Aku masih ingat waktu itu tepatnya di akhir bulan November
tahun 2007 adalah diskusi yang sangat panjang antara aku dan bapak tentang
rokok.
“Buktinya bapak masih hidup, banyak tuh yang enggak
ngerokok tapi matinya cepat. Sakit dan mati itu masalah takdir saja” ujar bapak
membela diri saat kusampaikan merokok bisa menyebabkan kematian.
“Iya, pak. Sakit dan kematian masalah takdir. Makanya
kita berusaha agar takdir kematian kita bukan karena rokok” sulit sekali
menyampaikan kebenaran bahaya rokok kepada perokok berat.
“Lagi pula hukumnya makruh” ucap bapak lirih sekali
terdengar di telingaku.
“Makruh?” tanyaku agresif. Aku harus mengontrol kata-kata
agar tidak terkesan menggurui atau bernada tinggi. Bagaimanapun aku seorang
anak. Aku sangat cinta bapak.
“Pak, setau adek enggak ada satupun ulama rujukan dunia
yang memakruhkan status rokok. Justru keharamannya jelas,” ragu aku mengatakan
ini. Khawatirnya ini bisa jadi salah persepsi. Kulanjutkan lagi,
“Merokok itu dianggap membunuh diri. Sudah tau mengandung
ratusan zat berbahaya bagi tubuh tapi masih tetap dihisap. Sama seperti menenggak
racun. Bedanya merokok membunuh diri secara perlahan. Perihal hukum makruh yang
disampaikan ‘ulama’ di Indonesia. Adek tidak tau mereka mengambil rujukan
darimana” akhirnya semua tuntas kusampaikan.
Beberapa waktu lalu, sebelum diskusi aku memang sudah membaca
banyak rujukan tentang bahaya rokok dan hukumnya dalam pandangan Islam. Ini
kulakukan lagi-lagi hanya karena aku sangat cinta bapak. Aku tidak mau bapak kenapa-kenapa.
Seperti biasa dalam setiap diskusi aku memang tidak
pernah menang. Tapi aku mulai mempengaruhi cara berpikir bapak sedikit banyak.
Bagiku tak perlu menang. Kuharap dalam kesendirian bapak akan berpikir semua
yang kukatakan padanya ada benarnya juga.
Diskusi ini ditutup dengan kata ampuh bapak “Ini pasti
gara-gara Mas Gagah”.
Kuat dugaanku marahnya bapak itu karena teringat diskusi
tentang rokok ini. Aku memang ingin bapak berhenti merokok. Tapi bukan dengan
cara membangkang saat diminta membeli rokok. Ini hanya salah paham. Dan dalam
pada itu bapak sudah tak mau dengar alasan.
Pada akhirnya bapak pergi sendiri ke toko, padahal di luar
hujan sedang deras-derasnya. Suara speaker masjid meraung-raung memperdengarkan
lantunan indah suara Syeikh Mishari Rasyid. Tinggallah aku yang diam seribu
bahasa. Menyesal, sedih, tertekan dan marah bercampur jadi satu mengaduk-aduk
isi hati.
Tak berselang lama kejadian itu, bapak sakit keras dan
harus dirawat di rumah sakit. Hasil foto roentgen
nya menunjukan sebagian dari paru-paru bapak sudah mengalami kerusakan. Penyebab
utamanya dikarenakan rokok yang sering dikonsumsi bapak. Sakit parah bapak ini
menyebabkan bapak harus hidup dengan tabung oksigen berhari-hari di rumah sakit.
Aku benar-benar terpukul sekali. Jika waktu bisa berputar
kembali. Aku akan sengaja menghalangi bapak untuk merokok. Tak perduli bapak memaki-maki
atau bahkan memukuli diriku.
Beberapa minggu lamanya bapak tak bisa bernapas lega. Saat
itu yang paling membuatku terharu adalah saat dimana bapak berkata jujur
padaku. Kata-katanya terdengar seperti penyesalan. Atau mungkin bisa jadi
seperti petuah.
Aku duduk di samping tempat tidur bapak di rumah sakit
dengan baju koko lusuh. Kulihat selang-selang yang entah apa gunanya menghubungkan
antara tubuh bapak dengan mesin-mesin. Kusaksikan ini adalah titik terakhir
dimana bapak memutuskan untuk tidak merokok lagi.
“Sebenarnya bapak percaya adek. Bapak enggak pernah marah
sama adek. Mengenai rokok, bapak percaya itu tidak baik. Cuma bapak tidak bisa
meninggalkannya karena candu.”
Dari bahasa tatapan mata bapak, kudapati kejujuran
penyesalan. Seolah-olah bapak ingin melanjutkan kata-katanya ‘Begitupun dengan semua diskusi kita. Bapak bangga
dengan kamu. Tentang cara berpikir kamu. Tentang perubahan sikapmu.’
Begitulah bapak. Selalu kekurangan bahasa untuk
mengungkapkan cinta pada anaknya. Tapi cukup bagiku bahasa tatapan matanya.
Bapak tersenyum dan menggenggam tanganku lantas berkata,
“O ya. Novel Mas Gagah
masih ada? Bapak mau baca.”
MasyaAllah,,,, Luar Biasa Pak Dede !!! :)
BalasHapuslanjutkan peruangan.
BalasHapus