Tingkat kebutuhan kita terhadap nasihat, seringkali
berbanding terbalik dengan rasa suka hati terhadapnya. Bagi penasehat, merasa
diri lebih mulia daripada yang dinasehatinya adalah hijab yang menghalangi
tersampaikannya kebenaran. Baik sangka yang didahulukan, kemaafan yang
berulang, dan nasehat yang tersembunyi adalah kado persaudaraan yang tulus.
Tiap orang punya cara untuk menyampaikan nasehat. Permata
pun bisa dilempar, diulurkan, atau diselip ke saku. Ambillah permatanya. Hawa
nafsu membeci nasihat. Namun nurani mencintai pengingat. Perhatikan kala masukan
datang; hawa atau nuranikah yang menang? Menengertilah, terkadang, luka dihati
orang yang menasihati, lebih dalam dan perih daripada yang dinasihatinya. Kesanggupan
menutup aib saudara dipadu keterampilan menasihati dan ketulusan do’a adalah
daya agung ukhuwah yang kian langka.
Nasihat, kawan sejati bagi nurani; menjaga cinta
dalam ridha-Nya. Ia bermula di isyarat mata, cahaya muka, atau bisik rahasia. Tetapi
apa yang harus dilakukannya, jika tiada perubahan jua? Menangis. Menangis di
hadapan Rabbnya, mengadukan lemahnya diri dan buntunya upaya. Lalu sekali lagi
disampaikannya nasihat - dan lagi – hingga dia tak punya pilihan selain
mengajak para lebih utama untuk curahkan cinta.
Adalah salah, terus saling menasihati tanpa hadirnya hasrat berbenah dan menjadikannya diri lebih indah. Adalah juga keliru, tak saling menasihati hanya sebab berselimut baik sangka pada diri dan saudara. Dan adalah galat, tak bergairah menasihati sebab diri sendiri ingin selalu nyaman berkawan kesalahan. Mari hidup dalam saling menasihati.Salim A. Fillah, dalam Buku "Menyimak Kicau, Merajut Makna"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar