Apa yang membuat manusia terlalu memuliakan diri? Bila ia
tercipta dari unsur yang—kata iblis—bermutu lebih rendah dari api?
Ya, kita, manusia ini, hanyalah seonggok tanah. Begitulah,
postur yang tegap ini, wajah yang rupawan ini, tangan yang kekar ini, tenaga
yang perkasa ini sebenarnya hanyalah tanah. Maka di mana mulianya? Berhentilah membanggakan
diri.
Tapi Kawan, mari kita sejenak bercerita tentang tanah. Tanah
adalah muasal kita, manusia yang hina-dina. Begitulah sejarah, api asal mula iblis, cahaya menjelma malaikat, tanah membentuk manusia. Dan logika kita tak bisa menolak,
bahwa nur malaikat dan nar iblis jauh lebih mulia. Tapi Allah,
Tuhan kita, punya standar lain menilai hamba-Nya. “Sungguh, yang paling mulia
adalah yang paling taqwa.” Maka hilanglah segala takaran kehormatan berdasarkan
unsur asal cipta. Begitu Iblis menolak sujud pada Adam, kakek buyut kita, Allah
langsung murka. Terusirlah makhluk yang mengaku lebih terhormat itu dari surga.
Kawan, tanah adalah kehidupan kita, manusia tanpa daya. Dalam
ketiadaberdayaan, iblis menggoda Adam untuk melanggar titah Allah Ta'ala. Terusir jualah lelaki itu dan pasangannya ke dunia, ke tempat mana tanah berada. Dalam ketiadaberdayaan itu, Allah anugerahi manusia kemampuan bertahan hidup dari tanah. Mendirikan bangunan
dengan pondasi terhunjam ke dalam tanah. Memakan buah-buahan yang saripatinya
diserap akar langsung dari tanah. Menghirup oksigen yang dikeluarkan tumbuhan
yang tumbuh di tanah. Maka jadilah kita sebagai tanah yang hidup di atas tanah.
Kawan, tanah adalah kehidupan kita, manusia tanpa daya. Di atas
tanah, kita tiba-tiba merasa paling kuasa. Kita lupa—atau pura-pura lupa—bahwa keburukan
akan dibalas meski sekecil dzarrah. Kita juga lupa bahwa tanah adalah
amanah, dan kita adalah khalifah. Maka merajalelalah hingga malaikat maut
bertandang ke rumah.
Kawan, tanah adalah tempat kembali kita, manusia makhluk
fana. Setelah malaikat maut memisahkan tubuh dan nyawa, maka kita hanyalah
seonggok tanah tua. Setelah dibalut beberapa helai kain, maka ucapkan selamat
tinggal pada dunia. Kini, kita hanya tanah yang ditimbun tanah. Menanti masa
panjang sampai malaikat meniup sangkakala. Dalam penantian panjang itu, tanah yang
perkasa menghimpit jasad kita yang lemah tak kuasa, lalu meremukkan tulang
belulang hingga nyaris tak bersisa.
Kawan, tanah adalah tempat dari mana kita kembali
dibangkitkan. Tak lagi ke dunia, tapi ke kehidupan setelahnya. Ke kehidupan
yang sebenarnya. “Minha khalaqnakum, wa fiha nu’idukum, wa minha nukhrijukum
taratan ukhra.” Di kehidupan kedua itu, kita akan terima balasan atas amal
dunia. Yang baik beroleh surga, yang jahat dibenam ke dalam neraka. Yang baik
akan berseri-seri menghadap Tuhannya, yang jahat akan menangis sesal menghadap
azab derita.
Maka sebelum kembali ke tanah, mari persiapkan diri agar tak
ada ratap-tangis saat kita dibangkitkan dari tanah. Agar tak muncul kata penuh iba, “Wahai
Tuhanku, kembalikan aku ke dunia meski hanya setapak langkah.” Agar tak terucap
kalimat penuh sesal, “Sekiranya aku hanyalah tanah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar