/
Artikel Terbaru
Artikel Terbaru ...

Sekiranya Aku Hanyalah Tanah

Published On: 23.25.00 By : Unknown In :



Apa yang membuat manusia terlalu memuliakan diri? Bila ia tercipta dari unsur yang—kata iblis—bermutu lebih rendah dari api?

Ya, kita, manusia ini, hanyalah seonggok tanah. Begitulah, postur yang tegap ini, wajah yang rupawan ini, tangan yang kekar ini, tenaga yang perkasa ini sebenarnya hanyalah tanah. Maka di mana mulianya? Berhentilah membanggakan diri.

Tapi Kawan, mari kita sejenak bercerita tentang tanah. Tanah adalah muasal kita, manusia yang hina-dina. Begitulah sejarah, api asal mula iblis, cahaya menjelma malaikat, tanah membentuk manusia. Dan logika kita tak bisa menolak, bahwa nur malaikat dan nar iblis jauh lebih mulia. Tapi Allah, Tuhan kita, punya standar lain menilai hamba-Nya. “Sungguh, yang paling mulia adalah yang paling taqwa.” Maka hilanglah segala takaran kehormatan berdasarkan unsur asal cipta. Begitu Iblis menolak sujud pada Adam, kakek buyut kita, Allah langsung murka. Terusirlah makhluk yang mengaku lebih terhormat itu dari surga.

Kawan, tanah adalah kehidupan kita, manusia tanpa daya. Dalam ketiadaberdayaan, iblis menggoda Adam untuk melanggar titah Allah Ta'ala. Terusir jualah lelaki itu dan pasangannya ke dunia, ke tempat mana tanah berada. Dalam ketiadaberdayaan itu, Allah anugerahi manusia kemampuan bertahan hidup dari tanah. Mendirikan bangunan dengan pondasi terhunjam ke dalam tanah. Memakan buah-buahan yang saripatinya diserap akar langsung dari tanah. Menghirup oksigen yang dikeluarkan tumbuhan yang tumbuh di tanah. Maka jadilah kita sebagai tanah yang hidup di atas tanah.

Kawan, tanah adalah kehidupan kita, manusia tanpa daya. Di atas tanah, kita tiba-tiba merasa paling kuasa. Kita lupa—atau pura-pura lupa—bahwa keburukan akan dibalas meski sekecil dzarrah. Kita juga lupa bahwa tanah adalah amanah, dan kita adalah khalifah. Maka merajalelalah hingga malaikat maut bertandang ke rumah.

Kawan, tanah adalah tempat kembali kita, manusia makhluk fana. Setelah malaikat maut memisahkan tubuh dan nyawa, maka kita hanyalah seonggok tanah tua. Setelah dibalut beberapa helai kain, maka ucapkan selamat tinggal pada dunia. Kini, kita hanya tanah yang ditimbun tanah. Menanti masa panjang sampai malaikat meniup sangkakala. Dalam penantian panjang itu, tanah yang perkasa menghimpit jasad kita yang lemah tak kuasa, lalu meremukkan tulang belulang hingga nyaris tak bersisa. 

Kawan, tanah adalah tempat dari mana kita kembali dibangkitkan. Tak lagi ke dunia, tapi ke kehidupan setelahnya. Ke kehidupan yang sebenarnya. “Minha khalaqnakum, wa fiha nu’idukum, wa minha nukhrijukum taratan ukhra.” Di kehidupan kedua itu, kita akan terima balasan atas amal dunia. Yang baik beroleh surga, yang jahat dibenam ke dalam neraka. Yang baik akan berseri-seri menghadap Tuhannya, yang jahat akan menangis sesal menghadap azab derita.

Maka sebelum kembali ke tanah, mari persiapkan diri agar tak ada ratap-tangis saat kita dibangkitkan  dari tanah. Agar tak muncul kata penuh iba, “Wahai Tuhanku, kembalikan aku ke dunia meski hanya setapak langkah.” Agar tak terucap kalimat penuh sesal, “Sekiranya aku hanyalah tanah.”

Tentang Penulis

Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com