Dikisahkan setelah Nabi Musa as. wafat, para pemuka Bani Israil meminta kepada seorang nabi—yang namanya tidak disebutkan—agar mengangkat seorang pemimpin untuk mereka yang kelak memimpin peperangan. Bani Israil menginginkan perang lantaran mereka terusir dari kampung halaman sendiri dan anak-anak mereka ditawan (ayat 246).
Sang nabi
menunjuk Thalut sebagai raja. Bani Israil protes sebab Thalut tidak kaya. Nabi
menjelaskan bahwa kekuatan fisik dan kecerdasanlah yang menjadi kelebihan
Thalut hingga layak dijadikan pemimpin (ayat 247). Selain itu, Tabut, peti
tempat menyimpan Taurat, juga menjadi tanda kerajaannya (ayat 248).
Seorang pemimpin hendaknya tidak terpukau dengan emosi dan semangat jundi yang menyala-nyala. Ia tetap harus berpikir logis dan hendaknya menguasai kejiwaan pasukannya.
Maka setelah
terpilih, berangkatlah Thalut ke medan perang bersama pasukannya. Di
perjalanan, ia mengingatkan bala tentaranya bahwa Allah akan menguji mereka
dengan sungai yang berair segar. Ia menguji kesetiaan pasukannya dengan
mengatakan bahwa yang meminum air sungai seciduk tangan sajalah yang akan
berperang. Sedangkan yang meminum banyak air kemudian beralasan tidak kuat lagi
untuk berperang (ayat 249).
Berperanglah
pasukan yang sedikit itu melawan armada perang Jalut sembari berdoa agar Allah
menolong mereka (ayat 250). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh pasukan Thalut
di mana Dawud as. berhasil membunuh Jalut (ayat 251).
Mari kita lihat
hikmah dari epos nan heroik ini.
Pertama, pentingnya
filtrasi pasukan. Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menuliskan
bahwa hendaknya seorang pemimpin melakukan seleksi terhadap semangat lahiriah
dan emosi yang menyala-nyala. Inilah yang dilakukan oleh Nabi dari Bani Israil
ketika kaumnya memintanya untuk mengangkat seorang pemimpin perang.
“Jangan-jangan setelah perang diwajibkan, kalian justru tidak berperang.”
Kedua, seleksi
tidak cukup sekali. Thalut yang dilantik menjadi pemimpin menguji semangat
pasukannya beberapa kali. Setelah seleksi pertama, banyak dari Bani Israil yang
tidak berperang. Hanya sebagian kecil saja yang ikut. Itupun tersaring lagi
ketika diuji dengan air sungai sehingga semakin sedikit. Dari pasukan yang
tinggal sedikit itu, tak semuanya berhasil menghadapi ancaman hidup ketika
melihat banyaknya pasukan musuh.
Ketiga, pelajaran
untuk pemimpin dakwah. Seorang pemimpin hendaknya tidak terpukau dengan
emosi dan semangat jundi yang menyala-nyala. Ia tetap harus berpikir logis dan
hendaknya menguasai kejiwaan pasukannya. Semangat-semangat itu harus diuji
ketaatan dan kesungguhannya agar tampak siapa saja yang berdakwah betul-betul
karena Allah. Kemudian, jika banyak yang tak mampu melewati ujian yang
diberikan, seorang pemimpin dakwah harus tetap mampu optimis menjayakan dakwah,
seberapa sedikitpun orang-orang yang bergabung bersamanya.
Keempat, pentingnya
keterikatan hati kepada Allah. Pasukan yang berhasil melewati semua tahapan
ujian itu adalah pasukan terbaik. Karenanya, tak peduli seberapa sedikitpun
mereka, dengan izin Allah pasti akan menang. Kemenangan dicapai karena setiap
hati merasa yakin akan pertolongan Allah. Bacalah doa yang dilantunkan mereka
(ayat 250), kita akan temukan keyakinan yang mendalam kepada Allah. Jika hati
sudah terikat dengan Allah, rasa takut, kecut dan inferioritas hilang berganti
dengan keberanian, kerinduan akan perjumpaan dengan Allah serta keyakinan akan
pertolongan-Nya. Jika sudah demikian, “Berapa banyak terjadi pasukan yang
kecil mengalahkan pasukan yang besar dengan izin Allah.”
Dakwatuna
Dakwatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar