SekolahMurabbi.com -Setiap tahun ajaran baru, dunia
pendidikan di negara kita tercinta ini selalu dihadapkan pada sebuah fenomena bernama
Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek). Kegiatan serupa juga dilakukan di
sekolah-sekolah menengah dengan nama Masa Orientasi Sekolah (MOS). Dilihat dari
nama, sebenarnya tidak ada masalah dengan kegiatan ini. Jika merujuk pada KBBI,
orientasi berarti peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat,
dsb) yang tepat dan benar. Mengacu pada makna tersebut, maka definisi yang
tepat untuk masa orientasi (ospek/MOS)—lebih kurang—adalah masa bagi
mahasiswa/siswa baru meninjau/mengenali kampus/sekolah untuk menentukan rencana
dan target dalam rangka menyelesaikan studi dengan baik. Indah sekali, bukan?
Sayangnya, beberapa tahun belakangan
definisi itu mengalami peyorasi atau penurunan makna. Kata OSPEK yang
semula memiliki definisi yang agung berubah menjadi diksi yang menakutkan bagi
mahasiswa baru. Semua itu lantaran buruknya perilaku senior (mahasiswa lama)
yang sangat jauh dari kata “memperkenalkan kampus” apalagi mendidik selama masa
orientasi.
Berdalih alasan-alasan yang tak
masuk akal, mereka memaksa junior-juniornya untuk melakukan hal-hal yang tak
jarang berada di luar kewajaran. Misalnya, mengharuskan para freshmen
(mahasiswa baru) mengenakan
aksesoris yang ‘tidak biasa’ (misalnya memakai topi yang terbuat dari sarang
burung, dasi terbuat dari kertas dilipat, mengenakan kaus kaki dua warna, memakai kalung dari permen merk
tertentu dan membawa karung bukan ransel). Mereka yang tidak melengkapi semua persyaratan Ospek
akan dihukum, seringkali hukuman fisik. Bahkan, hukuman fisik
yang ‘tidak wajar’ seringkali menyebabkan beberapa kasus kematian. Masih lekat di ingatan kita, kasus
tewasnya mahasiswa baru ITN, Fikri, pada tahun 2013 silam. Kita juga mendengar
para senior yang melakukan tindakan asusila terhadap ‘pendatang baru’. Juga, pelecehan verbal yang berlebihan seperti
berteriak kepada juniornya dan
menyuruh mereka menamai diri dengan nama-nama yang tak elok didengar.
Menurut
psikolog, masa orientasi sering digunakan sebagai ajang balas dendam yang
dilakukan oleh penyelenggara untuk apa yang telah mereka alami dari para senior
terdahulunya. Jadilah budaya
ini sebagai warisan turun-temurun di setiap generasi. Sungguh miris!
Lalu apa kaitannya dengan fenomena
buta Alquran remaja Aceh?
Kita semua tentu masih ingat
pernyataan mengejutkan yang disampaikan oleh Rektor Unsyiah, Prof. Dr. Ir.
Samsul Rizal, M.Eng pada kegiatan silaturahmi Ikatan
Keluarga Alumni (IKA) Unsyiah di Gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam, Banda
Aceh, Senin (27/7).
“Hanya 18
persen yang bisa membaca Alquran dengan baik atau lulus Iqra’ 6,” kata pak rektor seperti dikutip Serambi
Indonesia. Bahkan, “Saya bisa tunjukkan kabupaten mana yang lulus
(baca quran) kurang dari 10 persen.”
Ini tentu sebuah fenomena yang tak
kalah memiriskan mengingat penduduk Aceh mayoritas beragama Islam.
Di sini saya hanya ingin menawarkan sebuah
solusi sekaligus peluang. Akan banyak dampak positif jika rencana ini mau
dijalankan oleh para senior kampus. Dua di antaranya adalah: pertama, ini menjadi
peluang bagi petinggi BEM untuk memperbaiki citra ospek yang kadung dicap negatif
oleh masyarakat. Kedua, saya melihat ini sebagai langkah awal untuk mengatasi
kenyataan memiriskan yang disampaikan pak rektor.
Maka tawaran saya adalah: bagaimana untuk
orientasi kali ini, senior-senior kampus mengajarkan baca Alquran selama tiga
hari untuk mahasiswa-mahasiswa baru?
Sanggup?
Saya rasa bukan masalah. Jika anak
SMA saja sanggup mengajak adik-adiknya melaksanakan shalat Dhuha, masak
mahasiswa tak sanggup mengajarkan Alquran?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar