/
Artikel Terbaru
Artikel Terbaru ...

Sudah Seperempat Abad, Sang Imam Tak Kunjung Juga

Published On: 09.32.00 By : Admin In : , ,

SekolahMurabbi.com - Aku mengenalnya, awalnya biasa saja, hanya kakak kelas di Fakultas tempat aku menuntut ilmu. Beliau 5 tahun diatasku, usianya 28 saat itu. Tidak ada yang spesial, biasa saja. Namun, sejak aku tergabung dalam forum kajian islam dan aku mendapati diriku menjadi anggota dalam lingkaran yang dibina oleh kakak kelas tersebut, perlahan aku mulai mengetahui cerita hidupnya.

Menurutku, dia akhwat yang tangguh, berasal dari tempat yang jauh merantau hingga Surabaya seorang diri. Semangat dakwahnya tinggi, pun semangat menuntut ilmunya. Sekalipun disambi dengan bekerja ini itu untuk membayar biaya perkuliahan secara mandiri, ia tak pernah sekalipun mengeluh, betapapun padat merayap jadwal kesehariannya. Mulai dari kuliah, bekerja dan dakwah.

Hingga kelulusannya ia masih sendiri dan semangat mengumpulkan pundi-pundi pahala. Aku berpikir, usia 28 tahun saat itu seharusnya ia sudah menikah ketika teman-teman seangkatannya sudah mulai menyebar undangan sejak awal kelulusan. Mulai mengontrak rumah kecil bersama suaminya dan kemana-mana diantar jemput oleh suami, bukan lagi naik sepeda motor sendiri.

Namun, nyatanya akhwat tersebut ada dihadapanku dengan senyumnya yang paling sumringah, bercerita tentang banyak impian yang ia rencanakan dengan idealisme yang tak boleh runtuh sekalipun ia sudah dihadapkan pada gerbang pernikahan. Karena menurutnya – saat itu – banyak  akhwat yang semangat dakwahnya justru menurun setelah menikah, dengan dalih sibuk mengurus suami lah, sibuk mengurus rumah tangga lah, padahal bukankah menikah yang diinginkan untuk makin menyemangati, bukan malah membuat kualitas diri menurun? Ah, mbak… engkau mengajarkan banyak hal padaku, mempertahankan idealisme perjuangan dakwah.

Ada pula akhwat tangguh yang lainnya. Akhwat itu kukenal ketika aku sudah mulai bekerja. Umurnya sudah 39 saat itu. Cantik. Semangat menghafal Al Quran tinggi. Tidak pernah melupakan dhuha. Paling tidak itu yang kulihat setiap pagi di pojok mushola kantor. Selalu mengingatkan pada kebaikan. Lalu… pertanyaan yang belum bisa terjawab, apa yang kurang dari akhwat tersebut? Apakah tidak ada ikhwan yang pantas untuk mendampingi mereka?

Ah, walaupun janji Allah pasti, dan bukankah jika jodoh terbaik tak ditemukan di dunia, Allah akan menggantikannya dengan yang jauh lebih baik di akhirat kelak? Namun, begitu lamakah perjuangan mereka menanti atas satu janji kebahagiaan dalam kata pernikahan.

Aku masih ingat salah satu dari mereka pernah berkata padaku, “Saya tidak takut akan pertambahan usia, Allah akan memberikan saya sesuatu yang tepat pada masanya. Mungkin kehidupan semacam inilah yang pas untuk saya saat ini.” Hingga akhirnya, beberapa waktu lalu aku mendengar kabar pernikahan dari kakak kelasku di usianya yang menginjak 34 tahun, dan kemarin baru saja mendapat undangan dari akhwat teman kantor yang akhirnya melangkah di jenjang pernikahan pada usianya menginjak 44 tahun. Mereka mendapat pasangan yang sangat sesuai sekali dengan keinginan masing-masing, mungkin itulah buah kesabaran yang berbalas barokah.

Mendengar kabar tersebut, saya bersyukur sekaligus takjub akan kebesaran Allah. Apa yang terjadi di kehidupannya saat ini bagai puzzle yang jatuh pas pada tempatnya. Semua sesuai, cocok. Dan saya tak mengingkari sedikitpun bahwa memang sudah selayaknya mereka mendapat apa yang didapatkan sekarang dan menikah dengan orang yang tepat. Allah tak pernah mengingkari janjinya pada orang yang bekerja keras dan bersabar. Segala puji bagi-Nya.

Aku merenungi perjalanan hidup mereka, pun merenungi perjalanan hidupku. Sungguh begitu panjang perjalanan yang harus ditempuh untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dan Allah, sangat tahu ujian yang paling menohok hamba-Nya, sehingga mampu menunjukkan kualitas keimanan seseorang yang sebenarnya, apakah ia memang seorang yang benar-benar beriman dan pantas untuk mendapatkan apa yang diinginkan, atau tidak.

“Ah, dunia… jika saja tidak dengan melaluimu, aku bisa langsung ke surga untuk bertemu dengan-Nya.” Nyatanya, tidak semudah itu perjalanan di dunia. Begitu seringnya kegagalan yang ditemui (dalam hal apapun) harusnya tak membuat hati surut melangkah, tak pernah jemu untuk mencoba dan mencoba lagi.

Beberapa pekan lagi, jatah seperempat abad usia akan ku lalui, tiba-tiba aku malu, merasa sangat malu mengingat tingkahku beberapa waktu terakhir, meratapi kegagalan beberapa waktu terakhir, bahkan tahun kemarin aku merasa menjadi orang yang paling terpuruk, tertinggal dan paling menyedihkan.

Menyesali kenaifan selama ini, ke-PD-an yang teramat tinggi dengan percaya bahkan Allah akan segera memberikan sekarang saat ini juga, ternyata hanya menjadi keinginan belaka, belum menjadi nyata. Menangisi mimpi-mimpi yang sesungguhnya sederhana namun serasa bagai fatamorgana, serasa bagai sesuatu yang mahal dan aku tak pantas untuk mendapatkannya. Hingga akhirnya aku memilih diam, menghilangkan keinginan, bersikap tak peduli terhadap apa yang terjadi, tidak terlalu exciting dengan kebahagiaan teman, atau kesedihan teman.

Akupun merasa takut, melewati ambang batas penghujung usia seperempat abad. Aku telah – hampir – memutuskan untuk berhenti berharap sehingga tak ada lagi kata kecewa, Tapi begitukah?

Bukankah beberapa teman baru memulai ketika usia sudah lebih dari seperempat abad.

Bukankah masih banyak akhwat di luar sana yang menikah di atas usia seperempat abad.

Bukankah saat ini aku telah banyak berusaha, hingga menyematkan semangat “never ending ikhtiar” ketika jawaban dari Allah adalah tidak.

Bukankah, sudah banyak jaringan yang dibangun untuk meminta bantuan dan tempat berbagi ketika merasa diri sedang jatuh.

Lalu mengapakah aku harus berhenti, padahal aku sudah jauh meninggalkan tepi, dan tak mungkin kembali. Pertanyaan selanjutnya yang mungkin akan sulit terjawab adalah memangnya aku mau berhenti dan kembali di titik mana?

Maka kenapa harus terpikir untuk berhenti, jika yang dimaksud berhenti sama dengan mati? Bukankah membesarkan hati, memupuk sabar diri dan tetap teguh untuk melanjutkan langkah jauh lebih baik, daripada harus meratapi sepanjang perjalanan. Meskipun aku harus gagal lagi atau mati nanti, paling tidak aku telah mencoba. Dan aku tahu kini, pilihan yang tepat adalah! harus bangkit dan melangkah lagi!

Persiapkan perbekalan agar terus bernapas panjang. Tak ada kata mundur berhenti atau kembali, kecuali mati. Bersabarlah, bukan usia yang menentukan. Semua akan datang tepat pada waktunya. Rezeki dan jodoh tak kan tertukar. Itu janji-Nya.

*Dihyan An Nayyara memakna rasa di pojok Surabaya. Ketika waktu sudah di penghujung seperempat abad 01/06/15

Tentang Penulis

Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com