SekolahMurabbi.com - Aku mengenalnya, awalnya biasa saja, hanya kakak kelas di Fakultas tempat aku menuntut ilmu. Beliau 5 tahun diatasku, usianya 28 saat itu. Tidak ada yang spesial, biasa saja. Namun, sejak aku tergabung dalam forum kajian islam dan aku mendapati diriku menjadi anggota dalam lingkaran yang dibina oleh kakak kelas tersebut, perlahan aku mulai mengetahui cerita hidupnya.
Menurutku, dia akhwat yang tangguh, berasal dari tempat yang
jauh merantau hingga Surabaya seorang diri. Semangat dakwahnya tinggi, pun
semangat menuntut ilmunya. Sekalipun disambi dengan bekerja ini itu untuk
membayar biaya perkuliahan secara mandiri, ia tak pernah sekalipun mengeluh,
betapapun padat merayap jadwal kesehariannya. Mulai dari kuliah, bekerja dan
dakwah.
Hingga kelulusannya ia masih sendiri dan semangat
mengumpulkan pundi-pundi pahala. Aku berpikir, usia 28 tahun saat itu
seharusnya ia sudah menikah ketika teman-teman seangkatannya sudah mulai
menyebar undangan sejak awal kelulusan. Mulai mengontrak rumah kecil bersama
suaminya dan kemana-mana diantar jemput oleh suami, bukan lagi naik sepeda
motor sendiri.
Namun, nyatanya akhwat tersebut ada dihadapanku dengan
senyumnya yang paling sumringah, bercerita tentang banyak impian yang ia
rencanakan dengan idealisme yang tak boleh runtuh sekalipun ia sudah dihadapkan
pada gerbang pernikahan. Karena menurutnya – saat itu – banyak akhwat yang semangat dakwahnya justru menurun
setelah menikah, dengan dalih sibuk mengurus suami lah, sibuk mengurus rumah
tangga lah, padahal bukankah menikah yang diinginkan untuk makin menyemangati,
bukan malah membuat kualitas diri menurun? Ah, mbak… engkau mengajarkan banyak
hal padaku, mempertahankan idealisme perjuangan dakwah.
Ada pula akhwat tangguh yang lainnya. Akhwat itu kukenal
ketika aku sudah mulai bekerja. Umurnya sudah 39 saat itu. Cantik. Semangat
menghafal Al Quran tinggi. Tidak pernah melupakan dhuha. Paling tidak itu yang
kulihat setiap pagi di pojok mushola kantor. Selalu mengingatkan pada kebaikan.
Lalu… pertanyaan yang belum bisa terjawab, apa yang kurang dari akhwat
tersebut? Apakah tidak ada ikhwan yang pantas untuk mendampingi mereka?
Ah, walaupun janji Allah pasti, dan bukankah jika jodoh
terbaik tak ditemukan di dunia, Allah akan menggantikannya dengan yang jauh lebih
baik di akhirat kelak? Namun, begitu lamakah perjuangan mereka menanti atas
satu janji kebahagiaan dalam kata pernikahan.
Aku masih ingat salah satu dari mereka pernah berkata
padaku, “Saya tidak takut akan pertambahan usia, Allah akan memberikan saya
sesuatu yang tepat pada masanya. Mungkin kehidupan semacam inilah yang pas
untuk saya saat ini.” Hingga akhirnya, beberapa waktu lalu aku mendengar kabar
pernikahan dari kakak kelasku di usianya yang menginjak 34 tahun, dan kemarin
baru saja mendapat undangan dari akhwat teman kantor yang akhirnya melangkah di
jenjang pernikahan pada usianya menginjak 44 tahun. Mereka mendapat pasangan
yang sangat sesuai sekali dengan keinginan masing-masing, mungkin itulah buah
kesabaran yang berbalas barokah.
Mendengar kabar tersebut, saya bersyukur sekaligus takjub
akan kebesaran Allah. Apa yang terjadi di kehidupannya saat ini bagai puzzle
yang jatuh pas pada tempatnya. Semua sesuai, cocok. Dan saya tak mengingkari
sedikitpun bahwa memang sudah selayaknya mereka mendapat apa yang didapatkan
sekarang dan menikah dengan orang yang tepat. Allah tak pernah mengingkari
janjinya pada orang yang bekerja keras dan bersabar. Segala puji bagi-Nya.
Aku merenungi perjalanan hidup mereka, pun merenungi
perjalanan hidupku. Sungguh begitu panjang perjalanan yang harus ditempuh untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Dan Allah, sangat tahu ujian yang paling
menohok hamba-Nya, sehingga mampu menunjukkan kualitas keimanan seseorang yang
sebenarnya, apakah ia memang seorang yang benar-benar beriman dan pantas untuk
mendapatkan apa yang diinginkan, atau tidak.
“Ah, dunia… jika saja tidak dengan melaluimu, aku bisa
langsung ke surga untuk bertemu dengan-Nya.” Nyatanya, tidak semudah itu
perjalanan di dunia. Begitu seringnya kegagalan yang ditemui (dalam hal apapun)
harusnya tak membuat hati surut melangkah, tak pernah jemu untuk mencoba dan
mencoba lagi.
Beberapa pekan lagi, jatah seperempat abad usia akan ku
lalui, tiba-tiba aku malu, merasa sangat malu mengingat tingkahku beberapa
waktu terakhir, meratapi kegagalan beberapa waktu terakhir, bahkan tahun kemarin
aku merasa menjadi orang yang paling terpuruk, tertinggal dan paling
menyedihkan.
Menyesali kenaifan selama ini, ke-PD-an yang teramat tinggi
dengan percaya bahkan Allah akan segera memberikan sekarang saat ini juga,
ternyata hanya menjadi keinginan belaka, belum menjadi nyata. Menangisi
mimpi-mimpi yang sesungguhnya sederhana namun serasa bagai fatamorgana, serasa
bagai sesuatu yang mahal dan aku tak pantas untuk mendapatkannya. Hingga
akhirnya aku memilih diam, menghilangkan keinginan, bersikap tak peduli
terhadap apa yang terjadi, tidak terlalu exciting dengan kebahagiaan teman,
atau kesedihan teman.
Akupun merasa takut, melewati ambang batas penghujung usia
seperempat abad. Aku telah – hampir – memutuskan untuk berhenti berharap
sehingga tak ada lagi kata kecewa, Tapi begitukah?
Bukankah beberapa teman baru memulai ketika usia sudah lebih
dari seperempat abad.
Bukankah masih banyak akhwat di luar sana yang menikah di
atas usia seperempat abad.
Bukankah saat ini aku telah banyak berusaha, hingga menyematkan
semangat “never ending ikhtiar” ketika jawaban dari Allah adalah tidak.
Bukankah, sudah banyak jaringan yang dibangun untuk meminta
bantuan dan tempat berbagi ketika merasa diri sedang jatuh.
Lalu mengapakah aku harus berhenti, padahal aku sudah jauh
meninggalkan tepi, dan tak mungkin kembali. Pertanyaan selanjutnya yang mungkin
akan sulit terjawab adalah memangnya aku mau berhenti dan kembali di titik
mana?
Maka kenapa harus terpikir untuk berhenti, jika yang
dimaksud berhenti sama dengan mati? Bukankah membesarkan hati, memupuk sabar
diri dan tetap teguh untuk melanjutkan langkah jauh lebih baik, daripada harus
meratapi sepanjang perjalanan. Meskipun aku harus gagal lagi atau mati nanti, paling
tidak aku telah mencoba. Dan aku tahu kini, pilihan yang tepat adalah! harus
bangkit dan melangkah lagi!
Persiapkan perbekalan agar terus bernapas panjang. Tak ada
kata mundur berhenti atau kembali, kecuali mati. Bersabarlah, bukan usia yang
menentukan. Semua akan datang tepat pada waktunya. Rezeki dan jodoh tak kan
tertukar. Itu janji-Nya.
*Dihyan An Nayyara memakna rasa di pojok Surabaya. Ketika
waktu sudah di penghujung seperempat abad 01/06/15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar