Hamasah (semangat) perjuangan pada waktu itu belum muncul. Alhamdulillah setelah kelahiran saya, ayah saya terlibat dalam aktivitas di Persis. Hal ini menghantarkan pemahaman ayah saya kepada Islam sehingga semakin baik dan mendalam. Setelah itu mulailah terjadi kristalisasi pemahaman tentang Islam dan pergerakan. Ketika saya kecil, saya sudah dikondisikan dengan lingkungan pengajian anak-anak. Di rumah saya setiap hari menampung sekitar seratus orang anak. Rumah keluarga orangtua saya yang sangat sederhana itu menjadi pusat pengajian dan pembinaan anak-anak di sekitar tempat tinggal saya.
Pemandangan pembinaan generasi penerus atau anak-anak
sudah lazim saya saksikan sejak saya masih dibawah balita. Memasuki masa usia
SD, orangtua saya mendirikan yayasan Islam dan Majelis Taklim pertama di
Jakarta. Namanya Raudhatunnisa. Ibu saya adalah ketuanya. Ini diawal tahun
70-an. Waktu itu masih belum ada majelis taklimnya Ibu Tuti Alawiyah. Rumah
orangtua saya kerap menjadi markas pertemuan tokoh-tokoh Islam. Setiap hari Jum’at
ada pengajian. Saya membantu para Ustadzah menyediakan minum dan keperluan
lainnya. Jadi, ini barangkali tarbiyah yang diberikan Allah Secara langsung
kepada saya.
Sejak kecil, ketika mulai mengkristalnya pemahaman
ayah saya terhadap Islam, kepada saya sudah ditanamkan kewajiban untuk menutup
aurat. Bapak saya selalu menanamkan agar anak-anaknya kelak ada yang menjadi
seorang ustadzah. Maka digiringlah saya masuk ke sekolah Islam. Sejak SD sudah
mempelajari bahasa Arab. Saya juga pernah mengikuti perlombaan Musbaqah
Tilawatil Qur’an. Sampailah saya akhirnya di masukkan ke PGA.
Hingga kelak bercita-cita ingin memiliki suami yang juga memahami perjuangan dakwah. Saya selalu berdo’a agar suami saya kelak adalah orang yang sangat memahami dakwah dan juga kontribusi saya dalam dakwah. Itulah do’a saya. Sampai akhirnya saya menemukan suami sesuai dengan permintaan. Alhamdulillah, itu semua nikmat dari Allah.
Tiga tahun kemudian, saya mengalami lompatan berpikir.
Ketika itu, meskipun saya masih remaja tetapi sudah terpola dikepala saya
bagaimana untuk menjadi seorang pejuang. Memiliki latar belakang pengetahuan
umum tapi memiliki wawasan keislaman yang kaffah.
Mengapa saya berpikir seperti itu? Karena sejak kelas 1 dan 2 SMP saya sudah
aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII). Jadi, diusia yang masih sangat belia
sekali (12 tahun) saya sudah menjadi utusan konferensi. Sudah mulai terbangun
semangat dan cita-cita (himmah) perjuangan untuk melakukan perubahan kepada
ummat. Sudah terbentuk waktu itu. Motivasi inilah yang selalu memberikan
semangat kepada saya sampai sekarang. Hingga kelak bercita-cita ingin memiliki
suami yang juga memahami perjuangan dakwah. Saya selalu berdo’a agar suami saya
kelak adalah orang yang sangat memahami dakwah dan juga kontribusi saya dalam
dakwah. Itulah do’a saya. Sampai akhirnya saya menemukan suami sesuai dengan
permintaan. Alhamdulillah, itu semua nikmat dari Allah.
Ketika akhir SMP dan mulai masuk SMA (SMAN 13)
semangat dakwah sudah muncul. Saya melakukan rekrutmen besar-besaran di SMA. Saya
bisa merekrut 100 orang siswa untuk mengikuti pelatihan anggota PII. Kehadiran saya
bisa diterima oleh mereka diseluruh aktivitas saya. Saya menjadi pengurus ROHIS
waktu itu. Rumah saya sudah menjadi markas. Saya mulai memahaminya sekarang
ketika kita sudah memiliki manhaj Thulaby.
Itu sedah saya lakukan dulu. Sekarang sudah disusun yang lebih manhaji. Dahulu itu
berjalan begitu saja (Intuitif) tanpa manhaj.
Keluarga Mutammimul Ula dan Wirianingsih |
Rumah saya sejak dulu sudah menjadi markas berkumpulnya
anak-anak muda yang punya prestasi tapi tidak pernah meninggalkan shalat. Mereka
juga menjadi panitia zakat. Waktu itu belum ada gerakan kebangkitan islam
dengan simbol kebangkitan Iran tahun 78-79. Jadi, jilbab belum menjadi sebuah
fenomena. Nah, ketika saya kelas 3 SMA, mulailah ada kebangkitan Islam. Isu
jilbab menjadi isu sentral. Saya termasuk orang yang pertama menggunakan jilbab
di Jakarta Utara (tahun 80-an). Oleh karenanya saya sempat disebut Islam Jamaah
Indonesia. Jadi, islamisasi sudah ada diawal 80-an.
*Diambil dari buku 'Kisah Para Murabbi Sukses'. Penerbit Quantum Media Publishing. Penulis Rahayu Ningsih dan YR. Rasio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar