/
Artikel Terbaru
Artikel Terbaru ...

Serial Murabbi Wirianingsih: (2) Jatuh Hati Pada Tarbiyah

Published On: 11.49.00 By : Admin In : , ,

Serial Murabbi Wirianingsih: (2) Jatuh Hati Pada Tarbiyah, Pada Pandangan Pertama

SekolahMurabbi.comSaya pindah ke Bandung dengan visi yang masih sama yaitu menjalani pendidikan umum tetapi memiliki wawasan keislaman yang baik. Di Bandung, saya kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD dan Fakultas Hukum UNISBA. Semangat perjuangan ini ternyata baru saya pahami sekarang dan ternyata ada yang keliru. Saya menyesal dulu tidak mempelajari bahasa arab. Kekurangan saya sekarang adalah bahasa, khususnya bahasa Arab.


Saya tidak ingin mengulangi kesalahan saya pada anak-anak saya. Kalau memang ingin fokus di bidang Ulumul Syar’i maka fokuslah disitu. Alhamdulillah, dua orang anak saya sudah bisa menerjemahkan kitab bahasa Arab dan sudah menjadi hafidz dan hafidzah. Mengapa dulu cara pandang saya seperti itu? Karena saya di PII iitu memadukan zikir dan fikir. Yang menjadi tema waktu itu, fikir mengasah intelektual menjadi seorang ilmuan, zikir mengasah ruhiyah. Kita menjadi seorang yang tekun membaca Al-Quran, rajin shalat dan seterusnya. Baru menemukanmanfaatnya kalau saja dulu saya menekuni apa yang menjadi keinginan bapak saya waktu itu untuk masuk IAIN dan belajar bahasa Arab.

Di bandung saya banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh gerakan Masyumi. Hampir setiap hari berinteraksi dengan mereka. Saya ingat sekali pertemuan saya dengan Mang Endang Syaefudin Anshori (anak tokoh pendiri Persis). Juga dengan tokoh-tokoh pergerakan di Bandung lainnya.

Aktivitas saya hanyalah untuk dakwah disamping kuliah. Semua biaya keluar dari kocek sendiri dan saya tidak pernah berpikir tentang imbalannya. Saya melakukan keliling (jaulah) ke wilayah Jawa Barat karena saya sebagai sekretaris umum di Jawa Barat. Hari libur saya adalah hari keliling wilayah. Mulai dari Bogor, Kuningan, Banjar bahkan sampai ke Tasik. Disitulah saya bertemu dangan suami saya , sama-sama dari PII. Karena sudah memiliki latar belakang dakwah yang sama inilah kemudian Allah mempertemukan kami di jalan dakwah. Jadi kita menikah lebih dulu. Setelah itu baru bertemu tarbiyah. Tarbiyah itu sendiri mulai terasa pada sekitar tahun 83. Tetapi mulai gencar tahun 85. Suami saya sudah mulai mengenal lebih dulu tarbiyah. Ketika menikah kuliahnya sudah selesai sedangkan saya masih skripsi. Jadi saya menikah diusia 20 tahun dan mempunyai anak diusia 24 tahun. Sejak memiliki anak pertama saya sudah mulai tarbiyah.

Ketika duduk di kelas 2 SMA saya sudah menelan buku-buku harokah seperti bukunya  Sayyid Qutb. Hal ini dikarenakan di PII itu ada GAS (Gerakan Amal Shaleh) yang merumuskan transformasi dari amalan-amalan ibadah yang dicetuskan oleh Imam Syahid waktu itu. Jadi, fikrah ikhwan sudah terinternalisasi di kepala saya sejak tahun 80-an. Itu semua berkat jasa Dewan Dakwah dalam menterjemahkan buku-buku Ikhwan.

Aktivis PII jika ditarbiyah mudah tersentuh. Disamping itu interaksinya juga mudah. Kita ini orang kampus yang menerima islam bukan hanya dengan hati tapi dengan akal. Jadi saya memadukan konsep fikir dan dzikir. Konteksnya baru terasa sekarang. Anak-anak yang hafidz Qur’an tapi kuliah di ITB. Di samping menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris juga menguasai ilmu dunia dan ulumul srar’i. contoh ini juga dapat kita lihat pada diri seorang Doktor Hidayat Nurwahid. Beliau seorang politisi namun juga menguasai ulumul syar’i.

Mulailah saya merasakan mendalami Islam menjadi lebih sempurna setelah saya bertemu dengan tarbiyah yaitu pada saat anak kedua saya lahir. Perbedaan yang saya rasakan pada saat mengikuti pergerakan dulu sebelum saya mengenal tarbiyah adalah masalah juzi’iyah (parsialisasi). 

Kami meiliki semangat tinggi tapi kurang dapat pembinaan akhlak. Bahkan dapat dikatakan tidak ada.  Pergerakan islam itu hanya membangkitkan semangat pembelaan terhadap Islam tapi penerapan kepada aspek pribadi tidak ada. Kalaupun itu ada tapi tidak sistemik. Di tarbiyah kita mengenal istilah mutabaah yaumiyah yang meliputi aspek tilawah, hafalan Qur’an, shalat Qiyamul Lail, Shalat Dhuha dan lainnya. Semua itu mengacu pada muwashafat standar yaitu akidah, ibadah, akhlak. Jika belum mencapai muwashafat standar (primer) ini, maka berarti ia belum mencapai pribadi yang syakhsiyah Islamiyah.

Seperti kita ketahui bahwa model pembinaan tarbiyah memiliki beberapa sarana diantaranya halaqah, usrah, rihlah, mabit, seminar, penugasan dan lainnya. Menurut saya, rihah itu juga penting. Saya memahami mengapa rihlah itu penting karena disaat rihlah kita dapat sekaligus menanamkan pada anak-anak kita nilai-nilai Islam secara aplikatif. Bahwasanya yang menggunakan jilbab bukan hanya ibunya saja, tapi orang lain juga. Begitu juga yang menghafal qur’an bukan hanya ibunya tapi yang lain juga. Jika kita tidak mengenal tarbiyah, mungkin kita tidak pernah hafal qur’an. Hal ini karena tidak ada dorongan dan motivasi . di tarbiyah kita sering dievaluasi (mutabaah). Kita dipaksa untuk menghafal quran. Walau pada akhirnya itu bisa menjadi terinternalisasi dalam diri kita.


*Diambil dari buku 'Kisah Para Murabbi Sukses'. Penerbit Quantum Media Publishing. Penulis Rahayu Ningsih dan YR. Rasio.

Tentang Penulis

Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com