Serial Murabbi Wirianingsih: (2) Jatuh Hati Pada Tarbiyah, Pada Pandangan Pertama
Saya tidak ingin mengulangi kesalahan saya pada
anak-anak saya. Kalau memang ingin fokus di bidang Ulumul Syar’i maka fokuslah
disitu. Alhamdulillah, dua orang anak saya sudah bisa menerjemahkan kitab
bahasa Arab dan sudah menjadi hafidz dan hafidzah. Mengapa dulu cara pandang
saya seperti itu? Karena saya di PII iitu memadukan zikir dan fikir. Yang menjadi
tema waktu itu, fikir mengasah intelektual menjadi seorang ilmuan, zikir
mengasah ruhiyah. Kita menjadi seorang yang tekun membaca Al-Quran, rajin
shalat dan seterusnya. Baru menemukanmanfaatnya kalau saja dulu saya menekuni
apa yang menjadi keinginan bapak saya waktu itu untuk masuk IAIN dan belajar
bahasa Arab.
Di bandung saya banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh
gerakan Masyumi. Hampir setiap hari berinteraksi dengan mereka. Saya ingat
sekali pertemuan saya dengan Mang Endang Syaefudin Anshori (anak tokoh pendiri
Persis). Juga dengan tokoh-tokoh pergerakan di Bandung lainnya.
Aktivitas saya hanyalah untuk dakwah disamping kuliah.
Semua biaya keluar dari kocek sendiri
dan saya tidak pernah berpikir tentang imbalannya. Saya melakukan keliling (jaulah) ke wilayah Jawa Barat karena
saya sebagai sekretaris umum di Jawa Barat. Hari libur saya adalah hari
keliling wilayah. Mulai dari Bogor, Kuningan, Banjar bahkan sampai ke Tasik. Disitulah
saya bertemu dangan suami saya , sama-sama dari PII. Karena sudah memiliki
latar belakang dakwah yang sama inilah kemudian Allah mempertemukan kami di
jalan dakwah. Jadi kita menikah lebih dulu. Setelah itu baru bertemu tarbiyah. Tarbiyah
itu sendiri mulai terasa pada sekitar tahun 83. Tetapi mulai gencar tahun 85. Suami
saya sudah mulai mengenal lebih dulu tarbiyah. Ketika menikah kuliahnya sudah
selesai sedangkan saya masih skripsi. Jadi saya menikah diusia 20 tahun dan
mempunyai anak diusia 24 tahun. Sejak memiliki anak pertama saya sudah mulai
tarbiyah.
Ketika duduk di kelas 2 SMA saya sudah menelan
buku-buku harokah seperti bukunya Sayyid
Qutb. Hal ini dikarenakan di PII itu ada GAS (Gerakan Amal Shaleh) yang
merumuskan transformasi dari amalan-amalan ibadah yang dicetuskan oleh Imam
Syahid waktu itu. Jadi, fikrah ikhwan sudah terinternalisasi di kepala saya
sejak tahun 80-an. Itu semua berkat jasa Dewan Dakwah dalam menterjemahkan
buku-buku Ikhwan.
Aktivis PII jika ditarbiyah mudah tersentuh. Disamping
itu interaksinya juga mudah. Kita ini orang kampus yang menerima islam bukan
hanya dengan hati tapi dengan akal. Jadi saya memadukan konsep fikir dan
dzikir. Konteksnya baru terasa sekarang. Anak-anak yang hafidz Qur’an tapi
kuliah di ITB. Di samping menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris juga
menguasai ilmu dunia dan ulumul srar’i. contoh ini juga dapat kita lihat pada
diri seorang Doktor Hidayat Nurwahid. Beliau seorang politisi namun juga
menguasai ulumul syar’i.
Mulailah saya merasakan mendalami Islam menjadi lebih
sempurna setelah saya bertemu dengan tarbiyah yaitu pada saat anak kedua saya
lahir. Perbedaan yang saya rasakan pada saat mengikuti pergerakan dulu sebelum
saya mengenal tarbiyah adalah masalah juzi’iyah
(parsialisasi).
Kami meiliki semangat tinggi tapi kurang dapat pembinaan
akhlak. Bahkan dapat dikatakan tidak ada.
Pergerakan islam itu hanya membangkitkan semangat pembelaan terhadap
Islam tapi penerapan kepada aspek pribadi tidak ada. Kalaupun itu ada tapi
tidak sistemik. Di tarbiyah kita mengenal istilah mutabaah yaumiyah yang meliputi aspek tilawah, hafalan Qur’an,
shalat Qiyamul Lail, Shalat Dhuha dan lainnya. Semua itu mengacu pada muwashafat standar yaitu akidah, ibadah,
akhlak. Jika belum mencapai muwashafat
standar (primer) ini, maka berarti ia belum mencapai pribadi yang syakhsiyah Islamiyah.
Seperti kita ketahui bahwa model pembinaan tarbiyah
memiliki beberapa sarana diantaranya halaqah, usrah, rihlah, mabit, seminar,
penugasan dan lainnya. Menurut saya, rihah itu juga penting. Saya memahami
mengapa rihlah itu penting karena disaat rihlah kita dapat sekaligus menanamkan
pada anak-anak kita nilai-nilai Islam secara aplikatif. Bahwasanya yang
menggunakan jilbab bukan hanya ibunya saja, tapi orang lain juga. Begitu juga
yang menghafal qur’an bukan hanya ibunya tapi yang lain juga. Jika kita tidak
mengenal tarbiyah, mungkin kita tidak pernah hafal qur’an. Hal ini karena tidak
ada dorongan dan motivasi . di tarbiyah kita sering dievaluasi (mutabaah). Kita dipaksa untuk menghafal
quran. Walau pada akhirnya itu bisa menjadi terinternalisasi dalam diri kita.
*Diambil dari buku 'Kisah Para Murabbi Sukses'. Penerbit Quantum Media Publishing. Penulis Rahayu Ningsih dan YR. Rasio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar