SekolahMurabbi.com - Mendengar aduan ini, Khalifah Umar tidak bisa tinggal diam. Dia
merasa perlu untuk cepat menyelesaikan permasalahan yang timbul antara
pejabatnya itu dengan rakyatnya. Umar membuat pertemuan akbar antara Said
sebagai gubernur dan rakyatnya yang siap mengadili gubernur mereka.
“Ya Allah, jangan Engkau kecewakan prasangka baikku selama ini kepadanya (kepada Said),” kata Umar mengawali.
Umar kemudian bertanya di hadapan penduduk.
“Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Ia tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.”
“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?” kata Umar.
Sa'id terdiam sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah, sebenarnya aku tidak ingin menjawab hal itu. Namun, kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu. Maka setiap pagi aku membuat adonan roti, kemudian menunggu sebentar sehingga adonan itu mengembang. Kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk keluargaku, selesai itu aku berwudhu dan baru keluar rumah menemui penduduk.”
"Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar.
Mereka menjawab, “Sesungguhnya, ia tidak menerima tamu pada malam hari.”
“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?”
“Sesungguhnya, Demi Allah, aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga. Aku telah menjadikan waktu siang hari untuk rakyat dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla,” jawab Sa'id.
“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar lagi.
Mereka menjawab, “Sesungguhnya ia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”
“Dan apa ini, wahai Sa’id?”
Sa'id menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan. Dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada sore hari.”
“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Ia sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majelisnya.”
“Dan apa ini, wahai Sa’id?”
Sa'id menjawab, “Aku menyaksikan meninggalnya sohabat Khubaib bin Adi Al-Anshari di Mekah. Kematiannya sangat tragis di tangan orang-orang kafir Quraisy. Mereka menyayat-nyayat dagingnya kemudian menyalibnya di pohon kurma. Orang Quraisy itu meledek, “Khubaib, apakah kamu rela jika Muhammad sekarang yang menggantikanmu untuk disiksa?” Khubaib menjawab, “Demi Allah, kalau saya berada tenang dengan keluarga dan anakku, kemudian Muhammad tertusuk duri sungguh aku tidak rela.” Ketika itu aku masih dalam keadaan kafir dan menyaksikan Khubaib disiksa sedemikian rupa. Dan aku tidak bisa menolongnya. Setiap ingat itu, aku sangat khawatir bahwa Allah tidak mengampuniku untuk selamanya. Jika ingat itu, aku pingsan.”
Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan prasangka baikku kepadanya.”
Kemudian Umar memberikan 1.000 dinar kepada Sa'id. Dan ketika istrinya melihat uang itu, ia berkata kepada Sa'id, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari pekerjaan berat untukmu. Belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu."
“Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?” tanya Sa'id pada istrinya.
“Apa itu?”
“Kita berikan dinar itu kepada yang akan mendatangkannya kembali kepada kita pada saat kita lebih membutuhkannya.”
“Bagaimana maksudnya?”
“Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik,” kata Sa'id.
Istrinya berkata, “Benar, dan semoga kau mendapat balasan kebaikan.”
“Berikanlah ini kepada jandanya fulan, kepada anak-anak yatimnya fulan, kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan," kata Sa'id.
Mudah-mudahan Allah meridhai Sa’id bin Amir Al-Jumahi, karena ia termasuk orang-orang yang mendahulukan orang lain atas dirinya, walaupun dirinya sangat membutuhkan. ( ROL)
“Ya Allah, jangan Engkau kecewakan prasangka baikku selama ini kepadanya (kepada Said),” kata Umar mengawali.
Umar kemudian bertanya di hadapan penduduk.
“Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Ia tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.”
“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?” kata Umar.
Sa'id terdiam sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah, sebenarnya aku tidak ingin menjawab hal itu. Namun, kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai pembantu. Maka setiap pagi aku membuat adonan roti, kemudian menunggu sebentar sehingga adonan itu mengembang. Kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk keluargaku, selesai itu aku berwudhu dan baru keluar rumah menemui penduduk.”
"Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar.
Mereka menjawab, “Sesungguhnya, ia tidak menerima tamu pada malam hari.”
“Apa jawabmu tentang hal itu, wahai Sa’id?”
“Sesungguhnya, Demi Allah, aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga. Aku telah menjadikan waktu siang hari untuk rakyat dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla,” jawab Sa'id.
“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” tanya Umar lagi.
Mereka menjawab, “Sesungguhnya ia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”
“Dan apa ini, wahai Sa’id?”
Sa'id menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan. Dan aku menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada sore hari.”
“Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Ia sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majelisnya.”
“Dan apa ini, wahai Sa’id?”
Sa'id menjawab, “Aku menyaksikan meninggalnya sohabat Khubaib bin Adi Al-Anshari di Mekah. Kematiannya sangat tragis di tangan orang-orang kafir Quraisy. Mereka menyayat-nyayat dagingnya kemudian menyalibnya di pohon kurma. Orang Quraisy itu meledek, “Khubaib, apakah kamu rela jika Muhammad sekarang yang menggantikanmu untuk disiksa?” Khubaib menjawab, “Demi Allah, kalau saya berada tenang dengan keluarga dan anakku, kemudian Muhammad tertusuk duri sungguh aku tidak rela.” Ketika itu aku masih dalam keadaan kafir dan menyaksikan Khubaib disiksa sedemikian rupa. Dan aku tidak bisa menolongnya. Setiap ingat itu, aku sangat khawatir bahwa Allah tidak mengampuniku untuk selamanya. Jika ingat itu, aku pingsan.”
Seketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakan prasangka baikku kepadanya.”
Kemudian Umar memberikan 1.000 dinar kepada Sa'id. Dan ketika istrinya melihat uang itu, ia berkata kepada Sa'id, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari pekerjaan berat untukmu. Belilah bahan makanan dan sewalah seorang pembantu."
“Apakah kamu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari itu?” tanya Sa'id pada istrinya.
“Apa itu?”
“Kita berikan dinar itu kepada yang akan mendatangkannya kembali kepada kita pada saat kita lebih membutuhkannya.”
“Bagaimana maksudnya?”
“Kita pinjamkan dinar itu kepada Allah dengan pinjaman yang baik,” kata Sa'id.
Istrinya berkata, “Benar, dan semoga kau mendapat balasan kebaikan.”
“Berikanlah ini kepada jandanya fulan, kepada anak-anak yatimnya fulan, kepada orang-orang miskin keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan," kata Sa'id.
Mudah-mudahan Allah meridhai Sa’id bin Amir Al-Jumahi, karena ia termasuk orang-orang yang mendahulukan orang lain atas dirinya, walaupun dirinya sangat membutuhkan. ( ROL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar