Oleh: Burhan Shadiq
SekolahMurabbi.com - Polemik soal syiah menyeruak lagi. Kali ini menyoal seorang tokoh yang
memang sudah lama terindikasi syiah. Tapi karena sang tokoh nampak
humanis dan sangat humble, maka ke-syiah-annya menjadi diterima.
“Dia syiah, tapi dia baik sama saya.” Kalimat ini akan menjadi sihir yang luar biasa, kalau diucapkan seorang selebriti islami.
Memang bicara syiah hari ini di negeri ini sangat dilema. Satu sisi umat
harus tahu bahaya syiah. Tapi di sisi lain banyak pula Sunni yang
membela syiah.
Di satu sisi, banyak akademisi sudah mencoba membongkar ancaman syiah.
Tapi di sisi lain, banyak Sunni yang hidup di ketiak tokoh syiah.
Sehingga indikator ummat menjadi susah. Dia syiah, bahaya. Tapi di sisi
lain banyak tokoh Sunni mengagumi mereka.
Sebenarnya sederhana. Kita hanya butuh furqon. Alat pembeda yang tegas.
Jika seseorang syiah, berarti kita harus menyikapi tegas.
Akan menjadi dilema, jika orang Sunni sudah mulai merasa kepotangan budi sama orang syiah. Dia susah bersikap pada akhirnya.
Jika orang Sunninya orang biasa, saya pikir tidak masalah. Tapi jika
orang sunninya tokoh panutan, maka bahaya sikap lunaknya terhadap syiah
ini. Dia merasa benar dengan sikap lunak terhadap syiah. Lalu pada
akhirnya susah diberitahu bahwa orang yang dikagumi itu seorang syiah.
Sebaik apapun seseorang, jika dia syiah, maka perlu ada catatan khusus,
syiah yang seperti apa, bagaimana pemikirannya dan lain-lain. Kita jadi
terbelalak. Karena tokoh-tokoh panutan yang “okay” selama ini ternyata
beberapanya tidak bsia bersikap tegas kepada syiah.
Ibaratnya kita mengatakan, “Mas itu singa loh.” Tapi karena dia sudah
lama diberi makan Singa maka dia bilang, “Tapi dia singa yang baik kok.
Dia kasih makan saya.”
Humanis, ramah dan baik hati, menjadi sebuah alat yang menyusahkan bagi
seorang Sunni menyikapi syiah. Ahlus Sunnah sebaiknya belajar dari
Yaman. syiah yang lembut, pada akhirnya bisa menghisap leher leher
mereka.
Saya tidak sedang menebar kebencian. Karena memang sikap tegas harus
kita miliki. Sejarah sudah cukup sebagai bukti. Sudah banyak ulama ulama
Indonesia yang berdiri di bagian depan melawan syiah.
Dan perang dingin sudah dimulai. Bentrok horizontal juga sudah terjadi.
Tokoh tokohnya juga sudah dipetakan secara jelas. Siapa syiah di negeri
ini sudah rada gamblang.
Artinya kita tahu seseorang itu syiah tidak perlu menunggu dia deklarasi
dia syiah. Penelitian ahli dan diamnya mereka soal tuduhan sudah jadi
bukti syiahnya mereka. Sebab syiah itu bukan seperti liberalis yang
bangga menyebutkan identitasnya. Mereka memiliki konsep taqiyyah yang
licin.
Di negeri ini setidaknya ada syiah yang pede, ada setengah syiah yang
abu abu, dan ada yang ter-syiah-kan tanpa sadar. Syiah pede yang sengaja
dia bilang SAYA SYIAH. Jelas tanpa tedeng aling2. Syiah abu abu adalah
syiah yang masih taqiyah. Dia syiah tapi tidak mau mengaku kalau syiah.
Padahal bukti sudah banyak. Sementara yang ter-syiah-kan tanpa sadar
adalah yang membela syiah mati-matian padahal dia Ahlusunnah.
Kajian-kajian soal syiah sudah sangat marak. Para ustad sudah
berkali-kali ceramah. Di media semacam youtube juga sudah banyak. Semua
bisa diakses. Ahlusunnah Indonesia juga sudah memberi peringatan sama
NKRI soal ambisi politik syiah. Tapi belum ada respon yang memuaskan.
Jika respon NKRI telat, maka gurita syiah bisa sangat berbahaya.
Tokohnya sudah merajalela. Mereka sudah berhasil membuat tokoh2
ahlusunnah melunak. “Okelah ana syiah, tapi ana baik kan sama ente?”
Ahlusunnah pun mengangguk.
Inilah yang sedang berjalan. Sebuah penggiringan opini. “Mending syiah tapi lembut, daripada ahlusunnah tapi kasar.”
Atau ungkapan seperti ini, “Kalau toh dia syiah, dia dah kasih banyak hal sama saya. Daripada anda ahlus sunnah sukanya nuduh.”
Kemarin di Solo, seorang Mubaligh bilang, syiah ada yang sengaja keras
dan militan. Ada pula yang disetting lembut. Syiah yang militan sengaja
dipasang badan jika mereka diserang. Siap dengan opini opini tajam.
Sementara syiah yang lembut, disetting untuk buat opini ke massa, jangan
sampai kalian memusuhi syiah. Target minimal, massa netral sama syiah.
Maka syiah lembut mensetting dirinya dengan kajian kajian kitab ahlusunnah tapi dengan penjelasan ulama syiah. Wah…
Jika Islam melawan dan mulai kritis, mereka guyur Islam dengan kalimat
humanis. “Semua sayang mahluk tuhan.” Tapi jika orang kafir bantai umat
Islam, mereka diam.
Jika umat Islam cerdas dan mulai puritan, mereka beri kotak dengan label
aneh-aneh. Tapi jika islam pluralis saja, mereka sayang-sayangi.
Syiah berhasil tampil lembut dan nampak santun. Sementara Ahlusunnah
tidak bisa sesantun dan selembut itu. Syiah masuk di lini dakwah budaya.
Sementara puritan Ahlusunnah seolah-olah anti budaya.
Mending syiah tapi gelar doktor daripada Ahlussunah anti sama gelar dan kampus. This is what has happened.
Maka teman, bersiaplah kecewa jika tokoh favorit anda mendadak membela
syiah mati matian. Bersikap adillah, lihatlah al haq pada hakekat al
haq-nya, bukan pada tokohnya. Jika tokoh itu salah, maka jangan diikuti.
Maka mungkin kita kaget, “Loh kok sekelas dia bisa beropini gitu. Loh
kok dia sama syiah gitu.” Siap siap kaget. Mungkin lama-lama terbiasa.
Maka ikhwan akhwat ahlussunah. Giatkanlah lagi mengajinya, kajian-kajian
manhaj. Agar kita paham siapa lawan siapa kawan.
Tidak semua yang berkilau itu keren. Sebab kilau cahaya akan membuat buta jika terlalu lama menatapnya.
Jadi sebaiknya pembinaan mulai fokus. Kajian-kajian juga mulai masuk
pada tema tema manhaj. Siap-siap tarung di ranah sastra juga.
Melawan syiah ini, sudah mulai muncul aksi terbelah. Jelas melawan syiah
tdak populer. Maka bergabunglah pada mereka yang konsisten terhadap
manhaj Ahlussunnah. Mereka pegang manhaj ini sampai mati. Sebab ada
kalanya lidah kita kelu jika bersikap terhadap syiah. Takut jika
pengikut kita hilang. Suara kita berkurang. Banyaklah minta jawaban sama
Ulama, jangan bergerak sendiri.
Sumber: Arrahmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar