SekolahMurabbi.com - Dilihat dari sikap ulama terhadap status bid'ahnya suatu amalan, maka bid'ah terbagi menjadi dua kategori yaitu:
1. Bid’ah yang Disepakati (muttafaq ‘alaih)
Ini adalah bid’ah yang disepakati para imam kaum muslimin. Seperti bid’ah
dalam masalah aqidah, ideology, dan pemikiran yang membawa pelakunya kepada
dosa besar bahkan kafir.
Juga termasuk di dalamnya, adalah amalan ibadah yang sama sekali tidak ada
dasarnya dalam semua dasar-dasar agama, baik Al Quran, As Sunnah, dan ijma’.
Contohnya adalah tawaf di kubur, menambah jumlah rakaat shalat secara sengaja,
merubah arah kiblat secara sengaja dengan tanpa uzur syar’i, mempelajari ilmu
hitam (sihir dan perdukunan), berdoa meminta kepada mayat, dan yang semisalnya.
Sikap terhadap bid’ah yang disepakati ini adalah harus tegas dan iqamatul
hujjah (menegakkan hujjah) agar pelakunya bertobat dan penyebarannya
terhenti. Tentu dilakukan dengan cara hikmah agar tidak melahirkan kerusakan
yang lebih besar.
2. Bid’ah yang Diperselisihkan (mukhtalaf fih)
Jenis ini sangat banyak, yaitu amal yang dianggap bid’ah oleh sekelompok
ulama dengan hujjah mereka, namun dianggap boleh bahkan sunah oleh ulama lain
dengan hujjah yang mereka punya juga. Walhasil, bagian ini sebagaimana
jenis khilafiyah ijtihadiyah para ulama (baik dalam ibadah dan muamalah),
maka sikap kita adalah toleran dan tidak bertindak keras dalam
mengingkarinya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf, dan
ditegaskan oleh para ulama muta’akhirin seperti Imam As Suyuthi, Imam An
Nawawi, dan lainnya.
Contoh:
- Qunut
Shubuh
Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan sunah, sementara Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bid’ah.
Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin Rahimahullah
sebagai berikut:
فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض
“ Adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar
(subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang
berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua
ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan
kebencian antara satu dengan yang lainnya.” (Syaikh
Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam) Inilah
bijaknya Imam Ahmad bin Hambal.
- Membaca
Taswid (Sayyidina) Dalam Shalat
Sebagian ulama membolehkannya, bahkan menilainya sebagai sunah dan adab
terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti Imam
Syihabuddin Ar Ramli (lihat kitab Nihayatul Muhtaj, 4/329. Mawqi’ Al
Islam) , Imam Ibnu ‘Abidin (lihat kitab Hasyiyah Radd Al Muhtar,
1/26. Darul Fikr), Imam Al Hashfaki (lihat kitab Ad Durrul Mukhtar
1/553. Darul Fikr), Imam Al Haththab dan Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam (lihat
kitab Mawahib Al Jalil, 1/70. Mawqi’ Al Islam), dan lainnya.
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa membaca sayyidina dalam shalat (ketika
shalawat pada tasyahud) adalah tidak disyariatkan.
- Berdzikir
Dengan Biji tasbih (sub-hah)
Sebagian besar ulama membolehkannya bahkan ada yang mengatakan baik dan
sunah, tetapi mereka juga menyatakan bahwa menghitung dzikir dengan ruas jari
kanan adalah lebih utama.
- Ritual
Nishfu Sya’ban
Sebagian ada yang membolehkan, yakni para tabi’in seperti Khalid bin
Mi’dan, Makhul, dan Ishaq bin Rahawaih. Mereka memakai pakain bagus,
wangi-wangian, lalu menghidupkan malam nishfu sya’ban ke masjid dan shalat
berjamaah. (Al Qasthalani, Al Mawahib Al Laduniyah, 2/259)
Namun, kebanyakan ulama memakruhkan dan membid’ahkan, Mereka adalah
para imam di hijaz, yakni Imam ‘Atha, Imam Ibnu Abi Malikah, para ahli
fiqih Madinah (sahabatnya Imam Malik dan pengikutnya), Imam Al Auza’i (imamnya
penduduk Syam). (Fatawa Al Azhar, 10/131) juga Syaikh bin
Baz. (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’,
4/281)
Bahkan Imam An Nawawi menyebutnya sebagai bid’ah munkar yang buruk .(Al
Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/379. Dar ‘Alim Al Kitab)
- Peringatan
Maulid
Sebagian ulama ada yang membolehkannya, selama tidak diisi dengan cara yang
munkar, tidak melalaikan shalat, dan tidak campur baur laki dan wanita. Bahkan
mereka menamakannya dengan bid’ah hasanah, yakni Imam As Suyuthi (dia
mengatakan maulid sebagai min ahsani maa ubtudi’a/termasuk bid’ah yang
terbaik, beliau menyusun kitab Husnul Maqshud fi ‘Amalil Maulud),
Imam Ibnu Hajar, Imam Abu Syamah, Syaikh ‘Athiyah Shaqr, Syaikh Yusuf Al
Qaradhawi, dan lainnya. Tetapi, pembolehan mereka ini hanya sebatas pemanfaatan
momen maulid untuk menapaktilasi dan mengkaji kehidupan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Bukan acara ritual khusus, bacaan-bacaan khusus, yang
jika tidak dilakukan maka maulidnya kurang afdhal. Tidak demikian.
Sedangkan ulama lain, seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Al Haj, para
ulama Saudi, dan lain-lain membid’ahkan peringatan maulid, apa pun bentuknya.
- Membaca
Al Quran (Yasin atau lainnya) Untuk Mayit, Baik Sebelum Atau Sesudah di
Kubur
Sebagian ulama memakruhkan dan membid’ahkannya karena hal ini tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan salafush shalih, mereka adalah
seperti Imam Malik dan sebagian pengikutnya (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyah, 16/8. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah, lihat juga Syarh
Mukhtashar Khalil, 5 /467), Imam Abu Hanifah (Fatawa Al Azhar,
7/458).
Dari madzhab Hambali, yaitu Imam Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad,
1/527. Muasasah Ar Risalah), Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (Al Bayan
Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, Hal. 171. Mawqi’ Ruh Al Islam), Syaikh
Shalih Fauzan (lihat Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/296-297. Mawqi’ Ruh Al
Islam), Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr (Syaikh Abdul Muhsin Al
‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No. 363. Maktabah Misykat), dan
lainnya.
Sedangkan Imam As Syafi’i ada dua riwayat tentang beliau, yakni beliau
menganjurkan membaca Al Quran di sisi kubur, bahkan jika sampai khatam itu
bagus. (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 117. Mawqi’ Al
Warraq)
Tetapi, dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Asy Syafi’i menyatakan
bahwa pahala bacaan Al Quran kepada mayit tidaklah sampai. (Imam Ibnu
Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah Lin
Nasyr wat Tauzi’. Cet. 2, 1999M-1420H) dan ini menjadi pendapat mayoritas
madzhab Asy Syafi’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar