SekolahMurabbi.com - Dalam rubrik tanya jawab di sebuah media online berbahasa arab, seorang aktivis dakwah menanyakan sebuah fenomena yang menurutnya telah terjadi perubahan dalam sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah sehingga membuat banyak kader dakwah tidak tsiqoh lagi kepada mereka. Dalam jawabannya yang panjang lebar, pengasuh rubrik tersebut menyelipkan sebuah pertanyaan untuk membantu penanya merenung dan menemukan jawaban dengan mengajaknya melihat masalah tersebut dari sudut pandang berbeda; “Apakah ketidaktsiqohan kader tersebut disebabkan karena para qiyadah yang sudah berubah atau disebabkan kapasitas keilmuan para kader yang terbatas dan tidak mampu memahami sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah?”
Untuk dapat
memahami perkembangan dakwah dan problematikanya saat ini, menuntut adanya
kredibilitas keilmuan. Kredibilitas tersebut tidak cukup hanya mengandalkan
keilmuan yang bersumber dari literatur saja, tetapi juga keilmuan yang didapat
dari interaksi langsung dengan realita dakwah, keilmuan yang berasal dari
interaksi langsung dengan dinamika kehidupan.
Seorang
kader yang berkiprah langsung dalam dunia dakwah siyasiyah akan sangat
memahami betapa sangat strategisnya kekuatan politik untuk melakukan perubahan
dalam masyarakat. Sebaliknya,
bagi kader yang melihat dunia dakwah siyasiyah dari kejauhan, akan
cenderung menyoroti sisi kemubadziran proses politik yang memerlukan biaya
mahal, cenderung hanya melihat dari sisi dampak negatif yang mungkin timbul,
dan karenanya mengajak kita meninggalkan dunia politik, cenderung mengikuti
pikiran pribadinya dan menyeru agar kita tidak memaksakan diri terlibat dalam
dunia pemilu atau pilkada, meskipun kebijakan tersebut diambil melalui proses
syuro yang panjang.
Agar kita
mampu menimbang masalah ini dengan timbangan yang benar, penting bagi kita
untuk menyimak hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut, “Orang
mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan (dampak negatif)
mereka, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak
bersabar atas gangguan mereka”. (HR Tirmidzi, Ibnu Majah).
Bila ada
kader yang gelisah dan bingung dalam memahami perkembangan dakwah dan sepak
terjang aktivisnya, gelisah karena ijtihad, qiyas dan maslahat dijadikan dasar
dalam mengambil sikap atau kebijakan dakwah dan mengatakan: “Terkadang untuk
menjustifikasi tindakan-tindakan itu, digunakanlah kaidah-kaidah fiqh secara
berani dan tidak proporsional…. Sementara di zaman sekarang, anak-anak muda
menjawab dengan berani terhadap masalah apa saja yang diajukan kepada mereka
dengan dalih ijtihad dan maslahat”, ternyata kegelisahan dan kebingungan
yang diungkapkan dengan kata-kata yang sama telah dinukil oleh Muhammad Ahmad
Ar Rasyid dalam
bukunya “Manhajiyatul Ifta’ wal Ijtihad”. Namun beliau menepis
kebingungan tersebut setelah menemukan ungkapan Imam Ali Bin Abi Tholib,
كلُّ قَوْمٍ
عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَصْلَحَةٍ مِنْ أَنْفُسِهِمْ : يُزْرُونَ
عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ ، ويُعرَفُ الْحَقُّ بِالْمُقَايَسَةِ عِنْدَ ذَوِي
الْأَلْبَابِ
“Setiap
kaum, merekalah yang paling mengetahui urusan mereka dan paling memahami apa
yang bisa memberikan maslahah kepada diri mereka, mereka berhak mencibir orang
lain yang tidak memahami mereka, kebenaran dapat diketahui dengan qiyas bagi
mereka yang memiliki akal” (Lihat: I’lamul Muwaqqi’in, 1/203)
Ali bin Abi
Thalib telah menjelaskan dengan gamblang bahwa menggunakan qiyas dan maslahat
dalam mengambil kebijakan politik, kebijakan dakwah dan muamalah merupakan
manhaj yang benar. Hal ini akan menghilangkan keraguan dalam berijtihad dan
bahkan mendorong untuk berani berijtihad, tentunya dalam masalah-masalah fiqh
dakwah, politik dan muamalah.
Dari
pemaparan masalah diatas ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi,
- Pentingnya meningkatkan
kredibilitas dan kapasitas keilmuan untuk bisa memahami, menyikapi bahkan
mengelola dakwah di mihwar muassasi. Peningkatan kredibilitas dan
kapasitas keilmuan bukan hanya dengan menguasai ilmu alat yang didapat
dari belajar dan membaca buku, tetapi juga dengan berinteraksi langsung
dengan realita kehidupan sehingga kita dapat memahami dan menyikapi suatu
fenomena atau problema dakwah dengan benar, dapat mengelola kerja-kerja
dakwah ini dengan produktifitas yang tinggi.
- Kredibilitas keilmuan menuntut
adanya kredibilitas dan integritas personal. Kredibilitas dan integritas
personal inilah yang akan menghadirkan keikhlasan dalam berbicara dan
bertindak, dalam mengkritik dan menilai, mendorong kita menjadi orang yang
adil dan obyektif meskipun terhadap diri sendiri, memacu kita untuk dapat
memberikan kontribusi riil yang sebesar-besarnya demi perbaikan dan
pengembangan dakwah ini dan bukan sekedar berbicara, menilai dan
mengkritik. Kalaulah harus menilai dan mengkritik, kita tahu kapan, dimana
dan bagaimana cara mengkritik yang benar. Apalagi bila yang dikritik itu
adalah sebuah kebijakan yang dihasilkan melalui syuro. Bagaimanapun hasil
syuro itu lebih baik dan lebih berkah dari pada pendapat dan pikiran
pribadi.
- Kredibilitas keilmuan menuntut
kita senantiasa memiliki pandangan positif terhadap perbedaan dan
keragaman (sunnatu tanawwu’), apapun perbedaan dan keragaman
tersebut. Dengan adanya sunnatu tanawwu’ kehidupan ini akan semakin
dinamis. Kekurangan yang terjadi pada saudara kita berarti peluang ibadah. Allah memberi
peluang kita untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Kekritisan
saudara kita akan menjadikan kehidupan ini menjadi seimbang. Hanya saja
kekritisan tersebut tidak boleh menjadi faktor yang mempengaruhi soliditas
kehidupan berjama’ah ini, atau bahkan menjadi pintu masuknya pihak-pihak
yang ingin memporak-porandakan keutuhan shaf kita.
Wallahu
a’lam..
Sumber: Al-Intima’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar