Oleh: M. Shafwan Husein Ellomboki
"Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamulah yang sempit, bukan dunianya." (Ar-Rafi'i)
Biduk kebersamaan kita terua berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Adakah di antara yang tersayat atau terluka? Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti. Kita tak pernah berhenti karena menderita oleh keadaan seperti ini. Di jalan ini, "rasa sakit telah menjadi kenikmatan, pengorbanan menjadi indah dan jiwa menjadi tidak berharga."
Saudaraku,
Dalam perjalanan panjang seperti ini, kita memerlukan satu bekal, yaitu sikap lapang dada, nafas panjang, dan mudah memaafkan. Seperti Rasulullah SAW yang tak merasa tertekan dengan penghinaan atau cacian orang-orang sekitarnya dalam menjalani misi kenabian.
Saudaraku,
Sungguh luar biasa sikap orang-orang shalih dalam memandang dan mengukur penghinaan orang lain terhadap dirinya. Ibrahim An-Nakha'i, suatu hari berjalan bersama sahabatnya, seorang buta. Setelah beberapa menyusuri jalan, orang buta itu mengatakan, "Ya Ibrahim, orang-orang yang melihat kita mengatakan, "Itu orang buta dan pincang...itu orang buta dan pincang."Ibrahim dengan tenang lalu mengatakan, "Kenapa engkau begitu terbebani memikirkannya? Jika mereka berdosa karena menghina kita sedangkan kita mendapat pahala, lalu kenapa?
Fudhail bin Iyadh, tokoh utama yang terkenal ketaqwaannya di zaman generasi tabi'in bercerita bahwa suatu ketika, saat berada di Masjidil Haram, ia didatangi seseorang yang menangis. Fudhail bertanya, "Kenapa engkau menangis? "Orang itu menjawab, "Aku kehilangan beberapa dinar dan aku tau ternyata uangku dicuri. "Fudhail mengatakan, "Apakah engkau menangis hanya karena dinar?" Sungguh mengejutkan jawaban orang itu. Ia menjawab, "Tidak, aku menangis karena aku tahu bahwa kelak aku akan berada di hadapan Allah dengan pencuri itu. Aku kasihan dengan pencuri itu, itulah yang menyebabkan aku menangis."
Saudaraku,
Mereka yang dirahmati Allah itu, menyikapi berbagai persoalan dengan lapang dada. Mungkin saja mereka berduka, bersedih, kecewa, atau barangkali tersulut sedikit kemarahannya. Tetapi mereka berhasil menguasai hatinya kembali. Hati mereka tetap ridha, mata mereka tetap teduh, ketenangan mereka tetap tidak terusik. Betapa indahnya.
Saudaraku,
Jika kita tidak lapang dada dan tidak mudah bersabar, kita pasti menjadi orang yang paling menderita di dunia ini. Sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat mnghadapi sesuatu yang yang sebenarnya remeh. Penderitaan paling berbahaya adalah ketika tujuan hidup kita yang demikian agung, terbentur oleh keadaan yang sesungguhnya sepele. Persoalan remeh, yang kita lihat secara keliru, kemudian mengakibatkan sempitnya dada, nafas tersengal, kesal hati, murung wajah, hati yang bergemuruh duka cita, bahkan air mata dan dendam. Hingga istirahat terganggu, pikiran tidak arah.
Jika itu yang terjadi, takkan ada amal-amal besar yang bisa dilakukan. Lantaran amal-amal besar itu, hanya lahir dari jiwa-jiwa yang tenang, hati yang lapang, penuh ridha, pikiran yang jernih.
Saudaraku,
Apa rahasia lapang dada yang dimiliki para salafushalih itu? Kenapa mereka tetap memiliki bashirah (penglihatan) yang terang dalam menghadapi persoalan hidup? Salah satunya adalah karena wawasan ilmunya yang luas. Orang yang sempit wawasan adalah orang yang takut dengan perkara-perkara kecil, sangat takut dengan peristiwa yang remeh dan mudah marah dengan kata-kata yang tidak berkenan di hatinya. Seseorang bahkan bisa sampai terbakar puncak kemarahannya disebabkan peristiwa yang sebenarnya bisa dilewati dengan memejamkan mata. Bahkan bisa dilewati dengan senyum bila dibarengi dengan sedikit lapang dada.
Itulah yang dikatakan Ar-Raf'i dalam Wahyul Qalam, "Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan banyak memperoleh kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamulah yang sempit, bukan dunianya." (Wahyul Qalam, 1/50)
Saudaraku dalam perjalanan,
Kita bisa seperti mereka. Jika kita tahu dan sadar, ada sasaran besar dan tujuan maha agung yang akan kita capai bersama di ujung jalan ini. Ada yang maha penting dari peristiwa-peristiwa apa pun di jalan ini. Ada yg maha mulia dari berbagai kejadian-kejadian apa pun di jalan ini.
Saudaraku,
Tak ada artinya aral apa pun di jalan ini. Karena, kita sedang berjuang menuju Allah.
Disadur dari buku Berjuang di Dunia, Berharap Pertemuan di Surga. Muhammad Nursani. Tarbawi Press.
@GrupMANIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar