SekolahMurabbi.com - Apa yang kaulakukan ketika angklung diklaim Malaysia sebagai warisan budaya negaranya? Bisa jadi kau marah, menggelar demonstrasi atau sekedar memelintirkan nama negara jiran itu menjadi Malingsia. Intinya, kau tidak senang, Kawan. Aku juga sama. Ketika kita ditanya kenapa begitu ngotot mempertahankan angklung, jawabannya adalah karena angklung warisan budaya Indonesia turun-temurun. Selaku generasi kesekian dari bangsa ini, salah satu tugas kita adalah melestarikan peninggalan budaya.
Jawaban yang luar biasa.
Tapi ada pertanyaan lain, Kawan. Apa yang kaulakukan ketika budaya bangsamu justru dirusak oleh dirimu sendiri? Mungkin kau tidak segera menjawab, malah sambil mengernyitkan dahi mengajukan pertanyaan balik. Mana budaya bangsa yang saya rusak?
Baiklah, mari kita diskusi, Kawan. Definisi
budaya menurut KBBI kita adalah adat istiadat, sedang adat istiadat berarti “tata
kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke
generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola
perilaku masyarakat”.
Negara kita adalah negara timur,
negara yang dikenal santun dan kokoh pada prinsip-prinsip ketimurannya. Atau
boleh juga kita katakan, negara kita memiliki budaya yang santun dan ketimuran.
Dua hal ini lantas tercermin dalam berbagai aktivitas, salah satunya adalah
perayaan tahun baru masehi. Dulu, nenek moyang kita memperingati tahun baru
dengan gaya timurnya yang santun. Masuknya tahun baru dijadikan momentum untuk
bersyukur atas nikmat Tuhan.
Lho, ini kok jadi bahas tahun baru? Iya,
sebab bagaimana sebuah bangsa menyambut tahun baru adalah budaya. Dan budaya
kita adalah bersyukur, bukan membakar kembang api, petasan, mercon, meniup
terompet atau membunyikan klakson kendaraan di jalan. Para pendahulu kita tidak
mewariskan budaya aneh semacam itu.
Tapi seluruh dunia merayakan dengan
cara yang sama. Siapa bilang? Arab Saudi yang kental dengan keislamannya
biasa-biasa saja. Tidak ada ritual mubazir itu di sana. Okelah, mungkin kau
akan berdalih dengan Islam-nya. Jepang, negara kecil di Asia Timur, penduduknya
beragama Shinto, justru tidur lebih awal di malam tahun baru. Mereka lebih
senang merayakan tahun baru di pagi harinya dengan pergi ke kuil seraya
memanjatkan doa. Jadi siapa bilang seluruh dunia merayakan tahun baru dengan
cara yang sama?
Hanya bangsa yang tidak memiliki
identitas saja, atau bangsa yang malu dengan jati dirinya saja, yang suka
ikut-ikutan menjiplak identitas bangsa lain.
Ayolah, kita buka mata dari
sekarang. Rasanya sudah terlalu lelah melihat pemimpin-pemimpin kita menjadi
pengekor setia negara-negara adikuasa. Padahal mereka, negara-negara adikuasa
itu, tak pernah menjamin kesejahteraan bagi pengikutnya. Cukup sudah
ikut-ikutan tak berdasar itu. Kenapa kita tak henti-hentinya mengkritik
kebijakan pemerintah padahal diri sendiri juga melakukan hal yang sama? Siapa yang
kita ikuti ketika merayakan tahun baru dengan petasan, kembang api dan
sebagainya itu?
Maka mulai sekarang, mari menjadi
generasi yang tak setengah-setengah melestarikan budaya. Generasi yang tak
senang jika budayanya dijiplak tapi juga tak suka memiliki budaya menjiplak. Mari
merasa bangga dengan budaya timur kita yang tak suka pemborosan dan perbuatan
sia-sia. Saatnya kita munculkan jati diri bangsa kita yang sesungguhnya. Jati diri
yang akan membuat bangsa kita dikenal di mata dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar