SekolahMurabbi.com - Lisan para pendakwah sama vitalnya dengan senjata para mujahid perang. Ia harus tajam agar mampu menusuk dalam-dalam. Dari sini kita melihat pelatihan-pelatihan da’i, simulasi khutbah, jidal yang ahsan dan sejenisnya menemukan fungsi yang sebenarnya. Melatih lisan agar menghasilkan perkataan yang bernas.
Mengatur kata-kata memang bukan
urusan yang mudah. Ini selalu menjadi alasan utama ilmu dan kebenaran tidak
tersampaikan. Sebagai pendakwah, kita dituntut untuk menyamakan ’frekuensi’
dengan para pendengar. Kalau bahasa Alquran, para pendakwah dituntut untuk
menyampaikan risalah dengan lisanu qawmih, bahasa kaumnya.
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. (QS. Ibrahim: 4)
Ayat ini menegaskan kepada kita
bahwa ‘bahasa kaum’ menjadi syarat penting agar penjelasan tersampaikan dan
dipahami.
Dalam definisinya yang lebih luas,
bahasa kaum tidak berarti sekedar kesamaan bahasa semata. Sebab Rasulullah saw.
mengajarkan kita untuk mendakwahi orang sesuai kemampuan pemahamannya. Ini
mengisyaratkan bahwa kemampuan pemahaman juga merupakan bagian dari bahasa kaum
yang harus dipahami oleh setiap pendakwah.Contohnya, bahasa yang kita gunakan untuk
mendakwahi akademisi berbeda dengan bahasa untuk mendakwahi buruh bangunan,
misalnya. Sekalipun keduanya sama-sama berbahasa Indonesia.
Kendala para pendakwah yang kita
sebutkan tadi adalah ketidakmampuan untuk menyamakan ‘frekuensi’ dengan
berbagai kaum (kalangan) objek dakwah. Kadang ada da’i yang lihai di depan
kalangan akademisi tapi kesulitan ketika diminta berbicara di depan masyarakat
pedalaman. Atau sebaliknya. Lisannya masih terbelenggu. Ilmu dan kebenaran di
dada tertahan di lidah lalu gagal menjadi kata-kata.
Ini tantangan. Dan harus dijawab
oleh setiap pendakwah. Sebab waktu tidak menunggu kita siap. Entah takdir akan
membawa kita ke mana suatu saat. Maka banyak-banyaklah berdoa seperti Nabi Musa
as. Nabi yang diutus untuk mendakwahi ayah angkatnya.
Rabbi-syrah li shadri, wa yassir li amri, wahlul ‘uqdatan min lisani, yafqahu qawli.
Aamiin ya Rabb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar