SekolahMurabbi.com - Di sebuah ruang perkuliahan. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Sarah, seorang perempuan cerdas dengan gamis birunya merapikan buku dan melangkah mendekati seorang perempuan berkacamata. Umurnya sekitar 30-an. Berpakaian rapi dengan sebuah laptop mini yang terletak di depan meja kerjanya.
“Bu,
saya boleh bertanya sesuatu terkait pelajaran kita hari ini?" Tanyanya
malu-malu. Sungguh, ini kali pertama ia memberanikan diri untuk menanyakan
masalahnya kepada seseorang yang tidak memiliki attachment (kedekatan) dengannya. Ia sadar, selama ini seseorang
yang berada di depannya adalah sosok yang tegas dan disiplin keras. Tapi, ia
tidak peduli dengan hal itu. Ia yakin, seseorang yang saat ini berada
di depannya tidak seburuk apa yang ia pikirkan.
“Ia,
ada apa Sarah? Kamu duduk di samping saya saja ya. Sebentar saya selesaikan
tugas saya sedikit lagi. Perempuan tersebut terus merapikan dan menyelesaikan
tugas-ugasnya. Wajahnya terlihat teduh dan “welcome” dengan siapapun. Beberapa
menit kemudian, ia membetulkan posisi duduknya tepat di depan Sarah.
“Saya
ingin cerita bu. Saya harap, saya bisa mendapatkan solusi dari ibu,” Sarah
memulai pembicaraanya dengan wajah yang tampak gugup. Kali ini, ia merasa
seperti mau diinterview kerja, namun
lebih tepatnya ini adalah sesi konseling (konsultasi psikologis). Pandangannya
menyebar ke seluruh ruangan. Tangannya mengetuk-ngetuk meja secara berulang.
Kakinya juga turut ia gerakkan. Ia ragu, apakah masalah ini harus ia ceritakan?
“Begini
bu, hmmm…,” Sarah menarik nafas panjang. “Saya dibesarkan dari latar belakang
keluarga yang tidak utuh. Orang tua saya telah berpisah 15 tahun yang lalu.
Kejadian tersebut berdampak pada diri saya hingga saat ini. Saya merasa seperti
kurangnya kasih sayang, emosi saya tidak stabil dan saya selalu menyalahkan
kedua orang tua atas apa yang terjadi
pada saya saat ini. Bahkan, suatu hari saya pernah memutuskan untuk tidak ingin
menikah karena rasa kesal saya pada sosok yang berlabel 'Laki-laki'. Saya ingin
orang tua saya kembali berdamai. Menurut ibu, apa yang harus saya lakukan?” Tanyanya penuh harap.
“Begini
Sarah. Banyak faktor yang membuat sepasang suami-istri memutuskan untuk
berpisah. Mungkin ketidakcocokan, perbedaan visi misi atau ada yang disebut
dengan “Bounder”. Bounder itu adalah
masalah kecil yang tidak diselesaikan, terus ditumpuk dan ketika masalah
masalah lain muncul, maka akan meledaklah emosi antar pasangan sehingga
lahirlah perceraian tersebut. Saat ini, Sarah hanya butuh komunikasi dengan
orang tua. Sampaikan pada mereka dengan sopan dan baik. Selesikanlah dulu
masalah tersebut dengan “menerima”. Masalah itu perlu kita hadapi bukan
dihindari. Dalam islam, disebut dengan “Ikhlas”. Kita tidak pernah tau hikmah
apa yang Allah sampaikan pada setiap masalah yang Ia berikan. Saya dulu juga
sempat gagal menikah," Sang ibu berhenti dan menelan ludah.
"Saya bersyukur. Seandainya saya jadi menikah dengan dia,
saya tidak tahu masa depan saya akan seperti apa. Belakangan saya ketahui,
bahwa ia adalah laki-laki yang jahat. Memang, kita butuh waktu untuk sampai pada
tahap Healing (penyembuhan). Tidak mungkin, semua kita dapatkan dengan
instan. Tapi, satu hal yang saya ingin sampaikan adalah ketenangan hati akan
kita dapatkan dari Allah. Curhat dengan manusia mungkin akan terasa lega, tapi
bagaimana dengan hati? Apakah kita mendapatkan ketenangan? Cobalah mengadu
padaNya disepertiga malam. Meminta padaNya pada sujud dhuha yang panjang.
Barengi dengan sedekah, puasa dan membaca Al Quran. Kamu tahu? Obat dari segala
masalah adalah Al-quran. Tahap pertama yang harus kamu jalani adalah acceptance. Terima. Ikhlaskan. Hadapi. Jauhi bertanya dengan kata-kata
mengapa harus saya ya Allah? Apa salah saya? Toh, saya sudah shalat, sudah
puasa, sudah mengaji juga. Padahal jauh disana, Allah ingin menaikkan derajatmu
dengan cobaan yang ia berikan. Ia ingin yang terbaik buat kamu, meski kamu
tidak mengetahui hikmahnya saat ini. Allah gak butuh kita. Kita yag butuh
Allah. Kita masuk syurga bukan karena ibadah kita, tapi karena ridho nya Allah,
kan?”
Sarah
mengangguk pelan. Tanpa bisa dicegah, air mata jatuh perlahan dari sudut matanya.
Ia sadar, sabar dan ikhlas adalah kunci utama dari setiap masalah. Hanya saja,
dalam penerapannya masih belum sempurna. Sarah kembali memperhatikan wajah
teduh itu. Prasangka orang terhadap perempuan di depannya kini telah lenyap dari
fikiran.
“Setelah
ikhtiar, maka jalan terakhir adalah tawakkal. Meski banyak teori yang
mengatakan seperti ini, tapi tetap tumpuan terakhir kita adalah Allah. Jalankan
shalat wajib tepat waktu, maka Allah akan mengatur urusan hidupmu. Percayalah,” Pesan perempuan itu menutup pembicaraan.
Sebelum
ia membereskan bukunya dan beranjak pergi, ia kembali berpesan pada Sarah.
“Sarah,
suatu saat nanti, jika kamu sudah acceptance
dengan semua masalah kamu. Kamu perlu konseling lanjutan untuk memodifikasi
prilakumu dan mengubah pola pikirmu yang salah. Jadikan masa lalu sebagai
pelajaran untuk masa depan yang lebih baik lagi. Saya yakin, kamu mampu,” Bu
Ika, seorang psikolog konseling keluarga dan perkawinan, pergi meninggalkan
ruang kelas sembari mengucapkan salam pada Sarah dan dua orang teman
disampingnya. Sarah tersenyum.
Kini,
ia mendapatkan insight (pencerahan/
hidayah) dari masalah yang selama ini ia hadapi. Hanya ada dua kata, ikhlas dan
sabar, kuncinya. Kembalikan semua masalah pada Allah. Biarkan Allah yang
mengatur hidupnya. Jangan lupa ikhtiar dan tawakkal. Tanpa keduanya, hidup
serasa kurang sempurna.
***
NB : Jika anda merasa punya masalah seperti
Sarah atau masalah apapun terkait dengan kehidupan anda, anda bisa mengunjungi
UPKPT (Unit Pelayanan Konseling dan Psikologi Terpadu). Disana akan ada
pelayanan konseling, terapi, tes psikologi dan penyuluhan yang langsung
ditangani oleh psikolog ahli. InsyaAllah. Bagi mahasiswa dan akademisi lingkup
Unsyiah tidak dipungut biaya. UPKPT berada di Prodi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala lantai dua. Jika ada yang kurang jelas, bisa
menghubungi saya di 0852 7580 3544 (Farah Febriani). Ikhtiar dan tawakkal
adalah kunci dari masalah yang kita hadapi. Selamat berjuang!Farah Febriani.
Mahasiswi jurusan Psikologi FK Unsyiah. Hobi membaca,
menulis, MC dan traveling. Saat ini sedang merampungkan novel yang berjudul
“Diantara Istikharah Cinta”. Beberapa cerpen dan puisi telah diterbitkan dalam
buku antologi. Alumni sekolah murabbi angkatan ke-2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar