/
Artikel Terbaru
Artikel Terbaru ...

Ya (Mu)Rabbi

Published On: 19.29.00 By : Unknown In : ,

SekolahMurabbi.com - Waktu telah menjadi kawan setia yang menghantarku ke depan pintu gerbang keimanan yang mempesona. Dahulu, saat masa jahiliyah masih membelenggu hidupku, aku tidak perduli akan apapun, apalagi jika berbicara masalah iman. Sudah melaksanakan shalat lima waktu saja aku sudah merasa bangga. Padahal jika berkaca pada masa itu, aku tidak dapat menjamin bahwa apa yang aku lakukan akan membuahkan hasil di mata-Nya
Catatan: Artikel ini adalah karya peserta pada lomba menulis inspiratif Sekolah Murabbi beberapa waktu lalu.

Saat itu kebebasan masih menjadi hal mutlak. Hal yang tidak bisa ditawar, apalagi direbut keberadaannya dariku. Tetapi apa aku bahagia dengan kebebasan itu? apa sebenarnya yang aku cari? Berbagai pertanyaan mulai menghampiri. Hingga pada akhirnya, dimensi waktu, terlebih takdir, telah membawaku sampai pada detik ini. Detik dimana aku mulai menemukan arti kebebasan yang sebenarnya. Detik, dimana aku mulai merasakan manisnya sebuah cinta dibalik jalan-Nya. 


Sabtu malam telah tiba. Kami adalah pemuda yang selalu merindukan malam ini. Membentuk sebuah lingkaran kecil di sudut negeri, untuk sekadar mengkaji kalam ilahi serta membahas masalah-masalah yang dirasa sangat mengusik hati. Kulirik wajah mereka satu persatu. Sungguh, aku merindukan wajah-wajah ini. Wajah-wajah yang memberikanku keteduhan, yang memancarkan kedamaian, serta selalu haus akan ilmu agama dari sang Murabbi.


Ya Murabbi. Sosoknya begitu familiar, berkedudukan tinggi namun tetap bersahaja. Mengapa sosok seperti itu bisa perduli terhadap orang-orang seperti aku? Justru itu yang membuatku semakin terikat ke dalam dunianya. Dunia yang penuh dengan nasehat-nasehat iman dan takwa. Malam itu juga tak kalah seru, sebuah pembahasan yang menurutku menjadi topik yang cukup bisa membuat siapa saja berfokus memasang mata, telinga dan pikiran sepenuhnya.


“Topik ini yang aku suka.” Bisik Angga.


Bibirku langsung membentuk lengkungan yang sempurna. Menyiratkan makna yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Angga adalah satu-satunya anggota yang sering mengantuk saat waktu dan keadaan mulai tidak kondusif baginya. Tetapi, jika membahas masalah yang satu ini, dia menjadi orang yang paling bersemangat dan banyak pertanyaan.


“Jodoh itu tidak perlu dipikirkan. Karena yang menjadi fokus utama kita saat ini adalah bagaimana caranya agar bisa menjadi seseorang yang sukses namun tetap menjalankan kewajiban sebagai khalifah. Apalagi harus sampai pacaran. Alih-alih menjadi solusi, pacaran bahkan menjadi tabungan dosa sampai mati.” Jelas Ustaz.


“Tetapi Ustaz, bukankah itu juga sebagian dari ikhtiar ataupun usaha kita? Sama seperti halnya rezeki, dia tidak mungkin datang sendiri bila tidak dicari.” Tanya Deni.


Ustaz tersenyum mendengar pertanyaan dari Deni. “Ikhtiar yang seperti apa yang antum maksud? Bukan ikhtiar namanya jika masih melanggar hukum Allah. Apa yang kita inginkan dari sebuah proses pacaran? Saling mengenal dengan cara berdua-duaan? Mendalami satu sama lain dengan cara berboncengan dan berpegangan tangan? Apa mungkin seorang anak SMA yang pacaran juga sudah memikirkan hingga pada tahap untuk saling mendalami dan memikirkan masa depan mereka? Pernikahan misalnya.” tanya Ustaz


Suasana hening sejenak. Kami berusaha mencerna baik-baik perkataan yang baru saja Ustaz ucapkan. Beliau memandangi wajah kami satu persatu. Senyumnya masih tetap melengkung sempurna. Terlihat ikhlas dan lembut.


“Wajah kalian tampan-tampan, kok.” Ujar Ustaz kembali. Kami saling melirik satu sama lain. “Lalu, apa yang kalian takutkan? Kalian takut kalau orang yang kalian taksir, tidak akan kalian miliki? Apakah itu cinta, atau hanya nafsu belaka?”


Kecanggungan terlihat jelas di wajah Deni, terlebih aku. Aku selalu merasa aneh setiap kali membahas cinta dan nafsu. Entah itu karena aku masih menganggapnya hal yang tabu, atau karena hal lain. Aku tidak tahu.


“Belajarlah dari kisah tauladan saidina Ali yang berusaha menjaga kerahasiaan cinta, hingga pada akhirnya ia mendapatkan jodoh yang sejak lama didamba. Seorang wanita yang cantik parasnya, kuat jiwanya, apalagi ibadahnya.. Bukan malah menjadikan kisah Romeo dan Juliet sebagai rujukan yang dianggap fenomenal.” Jelas Ustaz tertawa kecil.


“Lalu, bagaimana dengan pacaran yang islami Ustaz? Sekarang, banyak anak muda yang pacaran mengatasnamakan agama.” Tanya Angga.


“Tidak ada yang namanya pacaran islami. Itu hanya sebuah cara bagi mereka yang ingin melegalkan pacaran meskipun dengan melecehkan agama. Pacaran itu adalah pintu terbesar menuju zina. Rasul pernah bersabda, ditusuk kepala dengan besi panas itu lebih baik daripada menyentuh yang bukan mahramnya. Dari hadis ini, jelas sudah bahwa tidak ada alasan bagi siapapun untuk menghalalkan pacaran. Hmm... kalian tahu apa bedanya makan malam dengan berbuka puasa?” Tanya Ustaz.


“Buka puasa itu lebih nikmat ustaz, setelah seharian menahan lapar dan haus. Berbeda dengan makan malam yang sudah menjadi rutinitas biasa.” Jawab Deni.


“Nah, begitu pula nikmatnya menikah tanpa pacaran.” Sambung ustaz.


Kami tertawa kecil mendengar perumpamaan dari ustaz. Aku mengangguk. Batinku berkata, “Ternyata Allah masih melindungiku dari kejahatan zaman ini. Zaman di mana yang tidak pacaran dianggap kuno. Dan zaman di mana pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah tidak ada batasannya. Meskipun aku pernah mencicipi kejahiliyahan, setidaknya aku belum terjerumus dalam hubungan yang disebut pacaran.”


 “Ustaz, katanya setiap orang memiliki jodohnya masing-masing. Lalu bagaimana dengan orang yang belum menikah hingga akhir hayatnya?” Tanyaku.


Ustaz mengangguk. Dalam menjelaskan, beliau terlihat sangat berhati-hati. Diam sesaat, baru setelah itu berkata dengan pilihan kata yang tepat. “Jika itu yang terjadi, mungkin saja jodohnya tidak di dunia, melainkan ada di surga. Wallahu’alam.” Jelasnya.


Di akhir dari pertemuan itu, Ustaz memberikan kesimpulan bahwa belum tentu orang yang kau sebut namanya disepertiga malammu, yang kau sebut di dalam doa-doamu atau bahkan yang kau sebut di dalam sujud terakhirmu, adalah jodohmu. Jodoh itu adalah kembaran dari keluarga yang berbeda. Jika kamu ingin jodoh yang baik, maka perbaiki dulu dirimu. Bagaimana mungkin kau mengharapkan jodoh yang hafidzah, sementara dirimu sendiri belum menjadi hafidzh? Kini aku mengerti.


Sosok itu telah menjadi bagian penting dalam cerita perjalanan kehidupanku. Dia yang pertama kali mencengkram lenganku dari derasnya pergaulan bebas. Menyelamatkanku dari berbagai persepsi yang membuat para pemuda terbuai dalam nikmatnya lingkaran syaitan. Budaya barat mengalir begitu dahsyat, sehingga membuat siapa saja terpikat. Tetapi berkat kehadirannya, aku menjadi lebih tahu makna kehidupan di dunia yang hanya sementara. Aku jadi tahu apa tujuan yang seharusnya menjadi fokus utama. Tanpa dia, mungkin sekarang aku masih menjadi buih di lautan. Terombang-ambing dan pecah oleh deburan ombak yang menantang. Tanpa dia, mungkin saja aku masih bergumul dengan kebebasan dan kejahiliyahan yang kuanggap menyenangkan tanpa menyadari bahwa sebenarnya terdapat banyak kemudharatan yang membentang.


Ini hanya satu dari sekian banyak kisah yang telah kulalui bersamanya. Bahkan bukan hanya satu orang yang membawaku ke jalan dakwah ini, tetapi ada beberapa, datang silih berganti. Aku memilih kisah ini karena ambruknya moral pemuda-pemudi masa kini. Salah satu penyebabnya adalah pacaran yang seolah membudaya. Gerah dirasa hati melihat kelakuan mereka yang seolah tidak mengerti. Terkadang, aku hanya bisa membenci sikap mereka dalam hati, ketika tangan dan lidah tak lagi sanggup untuk mencegah. Namun bukan berarti aku yang paling baik di sini. Aku juga bukan manusia suci. Melainkan orang yang tengah memperbaiki diri.


Semoga kita terus bersemangat mengemban jalan dakwah. Menjadi penerus para murabbi untuk membentuk generasi madani. Semoga Allah membantu kita untuk selalu istiqomah sampai mendapat gelar khusnul khotimah. Dan juga menjaga semangat dakwah agar tidak luntur dan terputus di tangan kita.  


Akhir kata...

Kuucapkan kesyukuran dan berjuta syukran pada Allah, Yang telah mengirimmu sebagai hidayah, Yang bersedia memungutku dari lembah jahiliyah, Yang membawaku menuju jalan dakwah, Yang tak pernah jemu memberiku petuah, Kau tak hanya sekedar indah, Tetapi lebih dari itu, kau juga merekah, Seperti zaitun di puncak marwah.  

Untukmu... Murabbi/Murabbiah

*Riky Ramadhani

Tentang Penulis

Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com