SekolahMurabbi.com - Ketika kita mencoba mengait-ngaitkan batu dengan manusia, maka yang paling sering kita temukan adalah sejumlah konotasi negatif. Siapa yang tak hafal legenda Malin Kundang? Ia dikutuk oleh ibunda karena kedurhakaannya. Konon, Malin berubah menjadi batu.
Para
sejarawan menggambarkan zaman batu sebagai zaman yang terbelakang. Mereka masih
tinggal di gua-gua, belum mengenal pertanian dan berburu dengan senjata batu. Kala
itu, sama sekali belum ada tulisan. Ketiadaan tulisan menjadi salah satu alasan
kuat untuk mengambil kesimpulan: manusia yang hidup di zaman batu memiliki IQ
yang sangat rendah.
Di
kehidupan sehari-hari, kita menemukan istilah ‘kepala batu’ dialamatkan kepada
orang yang tidak mau diatur, maunya buat aturan sendiri. Pemimpin yang masa
bodoh dengan kesejahteraan rakyatnya dicap sebagai pemimpin ‘berhati batu’.
Orang yang sangat pelit dijuluki ‘ketam batu’. Dan seterusnya. Tak sedikit pula
nama penyakit yang dikaitkan dengan batu: batu karang, jerawat batu, pekak
batu.
Di bagian
awal Al-Baqarah, Allah mendeskripsikan kekerasan hati Bani Israil seperti batu
atau bahkan lebi keras. Ini disebabkan tabiat mereka yang banyak tanya dan
banyak minta. Nama surah Al-Baqarah sendiri diambil dari salah satu kisah
banyak-tanya mereka ketika Nabi Musa as. menyuruh kaumnya itu menyembelih sapi
betina.
"Kemudian
setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih
keras.”
***
Tapi mari
kita lihat dua kisah yang mencengangkan ini. Keduanya masih dalam topik yang
sama: batu dan manusia.
“Lalu apa
yang kau masak itu?” tanya Amirul Mukminin.
“Itu hanya
batu. Kulakukan untuk menenangkan hati anakku yang kelaparan.”
Ini kisah
nyata. Terjadi ketika paceklik melanda kota di zaman pemerintahan ‘Umar ibn
Khaththab ra. Waktu itu sang khalifah sedang ‘blusukan’, kebiasaannya yang
dilakukan diam-diam di gelap malam. Ketika mendengar tangisan anak kecil yang
kelaparan, beliau menyambangi rumah itu. Terjadilah percakapan di atas.
Khalifah yang menyaru sebagai rakyat jelata bertanya kepada sang ibu, apa sebab
anaknya menangis. Wanita itu menjawab bahwa ia tak lagi punya persediaan
makanan untuk dimasak, karenanya anaknya kelaparan. Terpaksa ia mengibuli buah
hatinya dengan menanak batu dalam periuk hingga anaknya tertidur.
Batu-batu
itu seketika membuat ‘Umar ketakutan. Ia takut tak mampu mengemban amanah
dengan baik. Ia takut Allah akan mengazabnya karena telah membiarkan seorang
rakyatnya kelaparan. Malam itu juga, ‘Umar menunggang kudanya ke Baitul Mal,
mengambil sejumlah cadangan makanan lalu mengantarnya sendiri ke kediaman
wanita tadi.
Beberapa
dasawarsa sebelumnya, Mekkah gaduh ketika Quraisy merenovasi Ka’bah. Setiap
kabilah merasa paling berhak untuk memindahkan sebuah batu yang telah bergeser
dari tempatnya semula. Ini berlanjut sampai empat-lima hari bahkan hampir
terjadi pertumpahan darah karenanya. Hingga akhirnya Abu Umayyah ibn
Al-Mughirah mengusulkan siapa yang pertama kali datang esok paginya ke tempat
tersebut menjadi orang yang paling berhak untuk meletakkan batu ke posisinya.
Esoknya,
ada seorang pemuda yang datang pertama kali ke situ. Sesuai perjanjian, dialah
yang berhak memindahkan batu. Namun ia tak serta-merta melakukannya. Pemuda
itu, yang memang terkenal dengan keindahan akhlaknya, merentangkan sehelai selendang
lalu meletakkan batu di atasnya. Ia memanggil setiap pemuka kabilah untuk
memegang di ujung selendang dan bersama-sama mengangkatnya ke dekat tempat
semula. Pemuda itu lalu mengambil batu tersebut, Hajarul Aswad, dan
meletakkannya di tempat semula. Nama pemuda itu adalah Muhammad saw.
Kisah
pertama berbicara tentang tanggung jawab. ‘Umar yang bertemparen keras ternyata
tak memiliki hati batu. Beliau paham betul arti amanah dan tanggung jawab.
Hatinya dilanda takut kepada Allah. Lihatlah bagaimana ia menebus rasa
bersalahnya karena telah ‘membiarkan’ anak kecil menangis kelaparan.
Kisah
kedua, yang sudah tak asing lagi bagi kita, sepenuhnya pesona tentang akhlak.
Rasulullah tak memilih memenangkan ego ‘batu’, mengangkat sendiri Hajarul
Aswad, padahal beliau sangat mungkin dan boleh melakukannya. Apa yang beliau
lakukan kemudian justru membuatnya semakin dikagumi umat manusia.
***
Cerita
tentang batu tidak berhenti di situ. Di zaman modern ini, anak-anak Palestina
masih terus menjadikan batu sebagai senjata untuk melawan penjajah Israel yang
kepala dan hatinya terbuat dari batu.
Mungkin
karena sejarah yang panjang, arus modernitaspun gagal membendung pesona batu di
mata manusia. Sampai saat ini, masih saja ada manusia yang mengkeramatkan batu
akik dan giok di jemarinya.
Tapi memang
sudah demikian takdirnya. Batu akan terus mengiringi sejarah hidup manusia,
terutama mereka yang ingkar kepada Tuhannya.
“Wahai
orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar