/
Artikel Terbaru
Artikel Terbaru ...

Menasi-hati

Published On: 14.42.00 By : Unknown In :

SekolahMurabbi.com - “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan debatilah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl : 125)
 
Salah satu cara mengajak orang kepada kebaikan adalah dengan perdebatan. Sayyid Quthb dalam tafsirnya, Fi Zhilalil Quran, menjelaskan bahwa cara yang baik dalam berdebat adalah tidak menzalimi, meremehkan dan mencela orang dan pendapat yang berseberangan. Sebab hakikatnya, mendebat bukan untuk membenarkan diri dan mengalahkan orang lain tapi untuk menyampaikan kebenaran yang hakiki.

Ahmad Deedat dan muridnya, Zakir Naik, mungkin adalah dua dari sekian banyak penyeru kebaikan yang memilih jalan ini. Keduanya, kita tahu, berhasil memperkenalkan Islam kepada jutaan orang hingga tak sedikit yang hadir di seminar mereka memutuskan untuk menjadi muslim. Mengapa Ahmad Deedat dan Zakir Naik begitu sukses di dakwah jidal? Jawabannya adalah allati hiya ahsan, menggunakan cara atau metode yang baik.

Dalam video Dr. Zakir Naik yang disebar viral di YouTube, kita tak menemukan sekalipun ia marah terhadap berbagai argumen kacau yang ditujukan nonmuslim tentang Islam. Malah, Naik lebih sering tersenyum dan memuji pertanyaan audiennya. Naik pernah mengakui ketertarikannya berdiskusi dengan seorang atheis. “Sebab kalian paling mirip dengan Islam dibanding agama lain. Kalian mengakui tidak ada tuhan. Jika bersedia menambahkan ‘selain Allah’, maka kalian sudah menjadi orang Islam,” katanya disambut gemuruh tawa tangan hadirin.

Itulah ahsan. Sekalipun ada di pihak yang benar, kita tak perlu mencak-mencak. Kebenaran akan lebih menawan apabila diikuti oleh sikap ramah dan lemah-lembut.

Tapi cukupkah itu? Dari Zakir Naik kita belajar setidaknya ahsan itu adalah ramah sikapnya, santun bahasanya, jelas kalimatnya, terang analoginya, dan kuat argumennya.

Lalu apa hubungannya dengan kalimat di awal tulisan? Ini yang hendak saya sampaikan.

Nasihat adalah ekspresi cinta seorang muslim terhadap muslim lainnya. Sebab sejatinya, menasihati berarti peduli sedangkan peduli adalah tanda cinta. Dalam prakteknya, ada kaidah yang harus diperhatikan agar nasihat sebagai wujud cinta tak diterima dengan penuh benci; agar nasihat yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati juga.

Saudaraku, jika berdebat saja Allah perintahkan untuk menggunakan cara-cara yang baik, mengapa kita tak menggunakan cara-cara yang lebih baik ketika bernasihat? Janganlah maksud mulia menasehati malah melukai karena disampaikan dengan cara-cara yang menyakitkan.

Apa saja cara yang tidak baik itu? Di antaranya adalah merasa benar, tidak berhati-hati memilih kata dan menasehati di tengah keramaian.
 
Sikap merasa benar tidak pernah melahirkan nasihat yang tulus. Ia hanyalah wajah lain dari penyakit suka menghakimi. Penasihat yang tidak berhati-hati memilih kata mungkin saja memiliki niat yang tulus tapi yang dinasihati akan mudah tersinggung. Akibatnya, nasihat diberikan tapi tak pernah diterima.
Sedang mengenai keramaian, Imam Syafi’i pernah berpesan, “Nasihati aku di kala sendiri sebab nasihat di keramaian seperti hinaan yang melukai hati.”

Harap dicatat, keramaian di zaman ini tidak mesti sekumpulan orang yang duduk di satu tempat dalam satu waktu. Di media sosial, keramaian bisa berupa grup obrolan, beranda Facebook, kolom komentar dan berbagai fitur yang memungkinkan banyak orang yang tak berkepentingan bisa mengaksesnya.

Kita tutup tulisan ini dengan sebuah kisah indah. Suatu malam, Imam Ahmad ibn Hanbal mengetuk pintu rumah salah satu muridnya, Harun ibn ‘Abdillah Al-Baghdadi. Begitu masuk, Imam Ahmad berjalan menjinjit hingga tak terdengar langkah kakinya. Harun terheran-heran mengapa gurunya mendatanginya tengah malam.

“Ada urusan penting apa sehingga tuan guru berkenan mengunjungiku tengah malam ini?” tanyanya penasaran.

Imam Ahmad tersenyum lalu menjawab, “Maafkan aku duhai Harun. Aku tahu kebiasaanmu tengah malam terjaga untuk menghafal hadits, karenanya aku mendatangimu.” Suara beliau pelan sekali seakan tak ingin didengar oleh selain Harun.

“Ada yang mengganjal ketika aku melihat majelismu tadi siang. Saat kau menerangkan hadits kepada murid-muridmu, mereka duduk di bawah terik sementara engkau bernaung di bawah pohon. Lain kali, jangan begitu. Duduklah sebagaimana muridmu duduk.”

Setelah memberi nasihat itu, Imam Ahmad pamit pulang dengan tetap berjingkat. Masya Allah, seorang guru yang ingin menasihati muridnya memilih waktu tengah malam agar tak seorangpun tahu. Betapa indahnya menasihati seperti ini.

Semoga Allah memperbagus akhlak kita. Semoga Allah senantiasa menghidayahi kita untuk saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran agar tak tergolong ke dalam orang-orang yang merugi.(yf)

Tentang Penulis

Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekolahmurabbi.com

Sekolahmurabbi.com adalah Media Informasi Keislaman yang dikelola oleh anak-anak muda.
Sekolahmurabbi.com menyajikan artikel dan informasi dasar-dasar keislaman yang dibutuhkan bagi para murabbi dan mutarabbi.

© | About Us | Kirim Tulisan | The Team | Contact Us | Privacy Policy | Disclaimer
Design by Hasugi.com