Senad Hadzick, pria Bosnia yang berjalan kaki ke Mekkah sejauh 7.500 km (Sumber gambar: kabarmakkah.com) |
SekolahMurabbi.com - Ketika
jiwa-jiwa terpanggil, kadang suasananya terlihat aneh. Bahkan bagi mereka yang
tak merasa terpanggil, ini lebih tepat dikatakan konyol.
Lihatlah
Hanzhalah, pengantin baru yang baru saja menikmati malam pertamanya. Ia bahkan
tak sempat menyucikan diri dari janabah ketika panggilan untuk bertempur di
Uhud datang. Perang!
Lihatlah mereka yang meninggalkan hangatnya selimut dan menerobos dinginnya malam
untuk bermesra dengan Rabb mereka. Sekejap saja, mereka sudah larut dalam ayat
demi ayat, doa demi doa dan bulir demi bulir air mata.
Lihatlah hujaj,
mereka yang berbondong-bondong menunaikan rukun Islam yang kelima. Ada banyak
pengorbanan yang mereka tempuh demi memenuhi panggilan ini. Ada pemulung yang
rela menabung bertahun-tahun. Di negara kita, jamaah rela mengantri sampai 10
tahun lebih sebab kuota yang terbatas. Masya Allah!
Di antara
sekian banyak kisah menakjubkan seputar haji, mari kita ambil satu saja. Muhammad
Zafar Quadri namanya. Ia menyedot perhatian dunia pada 2001 lalu ketika menempuh
perjalanan sejauh 18.000 km untuk menunaikan haji. Lelaki tua itu melakukannya
dengan berjalan kaki selama hampir dua tahun!
Betapa aneh
fenomena ini. Betapa yang dilakukan oleh jiwa-jiwa yang memenuhi panggilan itu tidak
logis, pilihan yang—mungkin terlihat—bodoh dan merugi. Hanzhalah bin Abu Amir
melepaskan dekapan istri yang hangat untuk menyambut kematian di medan perang.
Zafar Quadri menghabiskan 4.000 dolar Amerika, bertarung dengan garangnya
gurun, liarnya hutan, dan galaknya petugas perbatasan negara untuk sekedar
menunaikan haji—dan setelah itu ‘tidak’ mendapat apa-apa. Mereka yang
“lambungnya jauh dari tempat tidur” rela memutus mimpi dan tidur yang nikmat
untuk kemudian ‘hanya’ bermunajat di atas selembar sajadah.
Betapa
membingungkan apa yang mereka lakukan!
Tapi mari
menengok ke sisi lain dari dunia ini. Kita sering menemukan pendaki-pendaki
gunung yang menghabiskan banyak energi dan waktu demi berhasil menaklukkan
puncak gunung. Everest, puncak tertinggi Himalaya, telah lama menjadi destinasi
favorit para pendaki. Tak sedikit yang mengorbankan nyawa untuk itu.
Atau para
miliarder yang rela menawar sebuah lukisan antik dengan harga tertinggi. Atau
pesta kembang api pembuka tahun yang meriah menghabiskan dana yang tak sedikit.
Dan banyak lagi.
Apa yang
dicapai setelah itu? Kepuasan yang susah digambarkan dengan kata-kata.
Setelah membandingkan
kejadian-kejadian di atas dengan tiga fenomena di awal tulisan, maka seakan
kita menemukan secuil jawabannya. Secuil saja sebab motivasi spiritual yang
menggerakkan jiwa-jiwa mukmin jauh lebih dahsyat. Ada kepuasan yang lebih tak
tergambarkan, kepuasan yang jauh melampaui kata-kata, daripada sekedar berdiri di puncak gunung, menatap lukisan seni
antik nan estetis atau menikmati gemerlapnya letusan kembang api di udara. Percayalah! (yf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar