Salah satu adegan dalam film "The Titanic" yang berkisah tentang tenggelamnya kapal pesiar termewah di abad 20. (Sumber gambar: waktudahulu.blogspot.com) |
SekolahMurabbi.com - Sombong hanyalah awal cerita kaum Sodom yang menolak ketika diingatkan Luth sang Nabi. “Berhentilah mengingatkan kami, kalian itu hanya orang-orang yang sok suci.”
Sombong hanyalah awal cerita Fir’aun
yang dengan nada mengejek meminta Haman membangun gedung tinggi. “Agar aku
dapat naik menemui Tuhan Musa, sebab kuyakin ia kali ini benar-benar berdusta.”
Sombong juga hanya awal cerita
Titanic di permulaan abad 20, kapal laut besar mahakarya White Star Line yang memiliki
julukan nan angkuh, “The Unsinkable”.
Kesudahan ketiga cerita menjadi pengingat
bagi kita bahwa tak ada siapapun makhluk melata yang perkasa.
Sodom, misalnya. Ketika kemaksiatan
menjadi mayoritas dan hanya tersisa Nabi Luth as. dan anak-anaknya saja,
ingatlah kebenaran senantiasa bukan urusan jumlah.
Pendaku Tuhan dari lembah Nil, sang
Fir’aun yang ‘agung’, sungguh tak perlu membangun gedung melambung untuk
menemui Tuhan Musa. Sebab tenggelam di Laut Merah sudah cukup untuk mengirimnya
ke neraka. Jabatan tinggi dan balatentara yang banyak tak ada apa-apanya jika
digunakan untuk menentang kebenaran.
Titanic! Nasibnya sama sekali
berbeda dengan Olympic, kembarannya yang diluncurkan lebih dulu. Sumber sejarah
menyebut Titanic adalah kapal pesiar paling mewah. Dengan dimensi 269 x 28
meter, kapal uap ini mampu menampung 3.000 orang lebih dengan fasilitas yang wah.
Kemegahan menakjubkan, sampai-sampai memunculkan istilah, “Tuhanpun tak akan
sanggup menenggelamkannya.” Berlayarlah ia untuk pertama sekaligus terakhir
kalinya.
Akhir-akhir ini, betapa kita melihat
banyak sejarah terulang terjadinya di dekat kita. Di dunia maya—dunia bentukan
teknologi manusia—ada pasukan yang kelihatannya begitu besar menggaungkan
berbagai isu untuk mendukung kebijakan tokohnya. Sekalipun kebijakan itu sama
sekali tak berpihak pada rakyat kecil. Isu-isu mereka gerakkan dengan aktif
seakan suara dari rakyat jelata—rakyat yang mungkin tidak pernah tahu ada yang
namanya dunia maya.
Mereka sepakat menyetujui proyek
reklamasi yang katanya menguntungkan rakyat tak peduli ada berapa banyak
rakyat pesisir yang menjadi pengangguran. Mereka setuju dengan isu relokasi
yang katanya memodernkan rakyat tak peduli berapa banyak rakyat yang semakin
jauh dari mata pencaharian. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Betapa pula dengan sombongnya mereka
baru-baru ini menantang Sang Pemilik Alam. “Hujan sudah berhari-hari, kok
kota ini tidak banjir-banjir ya?” Seolah ketiadaan banjir adalah bukti
keberhasilan tokoh junjungan. Mereka angkuh. Mereka sombong. Mereka lupa tak
punya daya untuk mengatur kekuatan alam.
Mereka lupa kaum Sodom kalah melawan
Nuh seorang sebab Nuh berkebenaran. Mereka lupa—atau pura-pura lupa—bahwa balatentara
Fir’aun tak berdaya menghadapi serdadu Pemilik Kebenaran. Mereka lupa Titanic
tamat riwayat hanya karena bongkahan es di lautan.
Sombong hanyalah awal cerita. Binasa
adalah kesudahan. (yf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar