Adalah Rasulullah Muhammad SAW,
kerap mengunjungi dan menghantarkan para sahabatnya yang telah hilang nyawa. Pribadi
mulia ini seperti biasa menyempatkan singgah pada setapak rumah yang dirundung
duka. Sekedar menghibur dan menyapu duka dari dada keluarga almarhum.
”Tidakkah almarhum pernah
mengucapkan sebuah wasiat sebelum wafatnya tiba?” Tanya Nabi pada keluarga. Istri
almarhum mendongak. Berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum malaikat
melakukan suksesi pencabutan nyawa.
”Aku, tidak ada lain kecuali hanya mendengar
semacam dengkur atau gumaman diantara tarikan nafasnya yang tersengal menjelang
ajal, ya Rasul” jawab sang istri dengan suara parau.
”Apa yang dikatakannya?”
”Aku tak yakin ucapan itu bermakna
wasiat. Ataukah ini hanya sekedar suara rintihan yang menyayat atau terdengar
seperti sebuah pekikan karena dahsyatnya sakaratul maut.” Ada air mata yang
tertahan di kelopak mata istri almarhum. Tiap kali ia mengingat perihal suaminya, ia sering terbawa suasana sedih.
”Seperti apa bunyi ucapannya?” Desak
Nabi lagi.
”Suamiku mengatakan, ’Andaikan lebih
panjang lagi, andaikan masih baru,
andaikan semuanya’ Itu saja yang diucapkannya. Kamipun bingung dibuatnya. Ini seperti
sebuah ungkapan yang menggantung.”
Rasulullah pun tersenyum. Ada yang
segera ingin dikabarkannya pada keluarga almarhum tentang maksud dari ucapan
itu.
”Suamimu tidak berkata keliru,” Ujar
Nabi. ”Kisahnya begini. Saat suatu hari
Suamimu beranjak pergi ke Masjid untuk menunaikan shalat jumat ia berjumpa
orang buta dengan maksud dan tujuan yang sama dengan dirinya. Pandangan yang
gelap membuat si buta berjalan tersaruk-saruk. Suamimu menuntunnya dengan
sepenuh hati. Maka disaat nyawanya nyaris tercerabut, ia menyaksikan pahala
mengalir untuknya akibat dari amal sholehnya itu, lantas iapun berkata ’Andaikan
lebih panjang lagi’. Artinya, andaikan sewaktu itu jalan menuju Masjid lebih
panjang lagi. Pastilah pahala lebih besar yang akan didapat.”
”Bagaimana
dengan ucapan lainnya, ya Rasul?” Wajah sang istri kini mulai bersinar. Ada
detak bahagia yang terpancar.
”Adapun
ucapan yang kedua itu muncul karena suatu pagi di lain hari suamimu pergi
menuju Masjid. Waktu itu cuaca dingin sekali. Ditengah jalan didapati seseorang
lelaki tua yang tubuhnya tergulung karena dingin yang menusuk. Digigil tubuhnya
yang renta bisa saja tetiba kedinginan
menjadi takdir kematiannya. Kebetulan suamimu membawa baju mantel yang baru. Diberikannya
pada lelaki tua baju mantel yang lama sedang baju mantel yang baru digunakannya. Terbebaslah lelaki tua dari ancaman kematian dingin yang
menggigil. Menjelang wafatnya suamimu melihat balasan amal kebajikannya. Ia menyesal
dan berkata, ’Andaikan masih baru’ yang berarti jika seandainya ia memberikan
mantelnya yang baru tentulah pahalanya akan lebih besar lagi.”
”Lalu
ucapan yang ketiga apa maksudnya, ya Rasul?” Tanya sang istri memburu. Dengan sabar
nabi menjawabnya,
”Masihkah
kau ingat saat suamimu pulang sedang perutnya dalam keadaan lapar lantas ia
meminta untuk disediakan makanan? Kaupun menghidangkannya sepotong roti yang
telah dicampur daging. Namun, tatkala suamimu hendak memakannya, tiba-tiba
muncul seorang musafir yang mengetuk-ngetuk pintu rumahmu dan meminta makanan. Saat itu
suamimu langsung membagi dua roti miliknya. Sebagian diberikan pada musafir dan
sebagian lagi ia makan. Setelah ia melihat pada saat sakaratul maut pahala yang
Allah tampakkan atas amalnya itu. Suamimu berujar, ’Andaikan semuanya.' Maksudnya
jika semua roti itu ia berikan pada musafir tentulah akan lebih banyak pahala
yang akan diraihnya. Sebab pada hakikatnya jika kita berbuat baik, itu bukanlah
hanya untuk orang lain. Itu sejatinya akan kembali pada dirinya sendiri.”
Mendengar kisah ini kita teringat akan janji Allah yang tak pernah dusta.
"Kalau
kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu
berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula." (QS. Surat Al Isra': 7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar