SekolahMurabbi.com - Di sebuah lingkup organisasi. Sang akhwat baru saja hendak beranjak pulang, setelah mengerjakan beberapa amanah yang dititipkan. Ia mengambil tas dan berjalan perlahan menuju area parkiran. Lima menit kemudian, ia terlihat sedang mengayuh sepedanya keluar dari area kampus. Karena jarak rumah yang cukup jauh, ia memutuskan untuk berhenti di sebuah mesjid sembari melaksanakan shalat maghrib.
Beberapa meter dari jaraknya berdiri, telah hadir seorang ikhwan berbaju kemeja yang juga sedang bersiap-siap melaksanakan shalat maghrib berjama’ah. Ia baru saja menyelesaikan perkuliahannya. Mereka saling mengenal, namun tidak saling menyapa.
Setelah shalat maghrib usai, sang akhwat segera beranjak pulang dengan sepedanya. Malam pun telah tiba. Namun, jalanan masih diterangi lampu-lampu kota yang bersinar bagai kunang kunang. Ia mempercepat kayuhannya. Sejenak, ia berhenti untuk meletakkan tas hitamnya dikeranjang depan.
Tiba-tiba saja, ia mendengar suara asing menegurnya dari arah belakang,
”Ukhti, kenapa? Ada yang bisa ana bantu?” Sang akhwat terkejut mendengar suara tersebut. Perlahan ia melihat dengan seksama sosok yang berada di belakangnya dengan sebuah sepeda motor yang bermerek 'Honda'.
“Tidak apa-apa. Ana hanya ingin pulang. Akhi duluan saja,” Jawabnya singkat, namun tegas.
“Yakin tidak apa-apa? Lebih baik ukhti jalan didepan, biar saya yang mengikuti dari belakang. Saya khawatir dan tidak tega melihat ukhti berjalan sendirian malam-malam begini,” Sang ikhwan menawarkan bantuan.
“Afwan akhi. Ana tidak sedang berjalan. Ana sedang mengendarai sepeda. Ana sudah terbiasa mengendarainya. Rumah ana tidak jauh lagi dari sini. Diseberang jalan dan jalanannya ramai,” Sang akhwat mencoba untuk menolak.
“Ok. Baiklah kalau begitu. Ana duluan ya. Hati-hati dijalan. Assalamu’alaikum,” Sang ikhwan pergi berlalu meninggalkan sang akhwat.
“Wa’alaikumuusalam,” Jawab sang akhwat datar.
Dalam hati sang akhwat bergumam, ya Allah, baik sekali ikhwan tadi. Ia sosok yang perhatian, pengertian dan berjiwa pelindung. Agamanya juga baik. Pemimpin yang amanah, lagi. Seandainya saja imam saya adalah beliau. Mungkin saya akan bahagia dunia akhirat.
Setelah kejadian tersebut, sang akhwat mulai memendam rasa yang dalam. Sedalam lautan, seluas samudera. Lima tahun kemudia mereka bertemu kembali. Namun, sang akhwat harus menerima takdir bahwasanya sang ikhwan telah menikah dengan teman sekampusnya. Apalah daya, kini ia hanya bisa menangis seorang diri. Rasa yang berawal dari sebuah kejadian tersebut, ternyata tidak berakhir “Happy Ending”, seperti dalam novel-novel religi yang pernah ia baca.
Ikhwah rahimakumullah…
Fitrahnya wanita adalah merasa. Fitrahnya pria adalah menggunakan logika. Maka tak jarang, jika kita bertanya kepada seorang akhwat tentang suatu masalah, maka mereka akan menjawab,” Saya rasa hal ini…”. Lalu, jika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada ikhwan, maka sebagian besar mereka akan menjawab,” Saya fikir hal ini…”.
Dari kisah diatas kita dapat mengambil hikmah. Wahai para akhwat, jagalah hati untuk tidak terlalu baper (bawa perasaan) dalam setiap kejadian. Bisa jadi niat sang ikhwan hanya ingin menolong. Menolong adalah karakter dan kebiasaan yang ia dapatkan dari lingkungannya. Bagi para ikhwan, jagalah diri untuk tidak terlalu memberi perhatian kepada sang akhwat, jika kalian melihat sang akhwat bisa dan biasa mengerjakan tugasnya sendiri. Ketahuilah, hal-hal yang kalian anggap biasa, menjadi hal yang luar biasa dimata mereka. Oleh karena itu, jika kita sama-sama menjaga, maka Insya Allah tidak ada hati yang akan terluka. Hati akan aman dan ibadahpun terasa nyaman. Semoga bermanfaat
(Wallahu a’alam bish shawab).
Farah Febriani
Penulis
bernama Farah Febriani. Mahasiswi jurusan Psikologi FK Unsyiah. Hobi membaca,
menulis, MC dan traveling. Saat ini sedang merampungkan novel yang berjudul
“Diantara Istikharah Cinta”. Beberapa cerpen dan puisi telah diterbitkan dalam
buku antologi. Alumni sekolah murabbi angkatan ke-2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar