SekolahMurabbi.com - Al-arwahu junudun mujannadah. Ruh-ruh itu layaknya tentara yang dibariskan. Yang saling kenal akan dengan mudah menyatu. Yang tidak mengenal akan mudah bercerai-berai.
Begitulah tabiat ruh yang digariskan
Rasulullah saw.
Bicara cinta, pada hakikatnya kita
sedang membicarakan ruh. Bagaimana menjadikan dua ruh saling kenal untuk
kemudian menjadi padu. Kesalingkenalan inilah yang sedikit lebih kompleks dari
yang semula kita bayangkan.
Saling kenal dalam cinta tidak
terbatas pada unsur-unsur materi semata. Sebab cinta pada batas definisi ini
seringkali lahir akibat dorongan nafsu manusiawi. Sifatnya temporer dan meluap
seiring pudarnya pesona fisik yang kasat mata.
Konon, seseorang mengabari Rabi’atul
Adawiyah bahwa ada laki-laki yang jatuh cinta padanya. Sang sufi menanyakan
sebabnya. Orang itu mengatakan, “Binar mata Rabi’ah tak bisa kulupakan.”
Rabi’ah lalu mencongkel bola matanya, menaruhnya dalam nampan, dan memberikan
pada lelaki itu.”Inikah yang kauinginkan?”
Terlepas dari benar atau tidaknya
kisah di atas, cinta bukan sebatas urusan fisik. Entah itu mata yang berbinar,
senyum yang menawan, atau wajah yang rupawan. Lihatlah, betapa sekarang begitu
banyak insan yang terjebak dalam lingkaran ini. Cinta yang awalnya
berbunga-bunga perlahan-lahan menyusut lalu sirna seiring hilangnya kecantikan,
harta, pamor, popularitas, pekerjaan dan kedudukan.
Sekali lagi, definisi cinta bukan terletak
pada apa-apa yang bisa ditangkap mata. Ia jauh lebih luas, lebih dalam dan
lebih agung. Ia adalah tentang bagaimana menemukan titik temu antara dua ruh. Saling
kenal adalah urusan mencocokkan tabiat sepasang jiwa dan menyatukan visi
keduanya. Di situlah kita menemukan cinta bukan perkara remeh-temeh. Ia perkara
agung, perkara membangun peradaban.
Mencocokkan tabiat adalah syarat
wajib agar sebuah visi bersama tercipta. Anis Matta, dalam Serial Cinta-nya,
menggambarkan upaya itu sebagai “kesamaan atau kegenapan atau keseimbangan dua
karakter”. Seperti dua sungai besar yang bertemu dalam satu samudera lalu
menciptakan gelombang yang dahsyat. Seperti air bening yang mengaliri lahan
yang subur lalu melahirkan sebuah taman yang indah. Seperti air yang
menyala-nyala lalu dipadamkan oleh air yang sejuk.
Kesamaan visi, selanjutnya,
menghasilkan chemistry (keterikatan batin) yang menjadi bahasa
komunikasi khusus keduanya. Ini adalah bahasa yang unik sebab hanya dimengerti
oleh mereka saja. Dalam level tinggi, jarak dan waktu gagal menghalang sepasang
jiwa itu berkomunikasi.
Saya pernah mendengar sebuah kisah
yang menakjubkan tentang sepasang suami istri yang memiliki keterikatan batin
yang tinggi. Mereka rajin tahajjud bersama. Sang suami menderita urtikaria (alergi
dingin) akut. Musibah itu tiba ketika ia
diculik oleh sebuah gerakan separatis dengan alasan yang tak jelas. Tengah
malam, istrinya yang tak tenang bangun menunaikan tahajjud. Ia tahu separatis
itu takkan peduli sanderanya bisa mati karena serangan udara pegunungan yang
menggigil. Karena itu, seusai tahajjud ia berdoa agar alergi itu dipindahkan ke
tubuhnya saja. hanya beberapa saat kemudian, kulitnya terasa gatal-gatal dan
kemerahan. Setelah sang suami dibebaskan, ia bercerita keanehan yang
dirasakannya sampai-sampai ia menduga alerginya sudah sembuh. Masya Allah.
Kesamaan visi juga menjadikan cinta
tahan lama, tak terpengaruh oleh usia dan faktor-faktor fisik lainnya. Tapi tak
banyak yang bisa menjaga visinya tetap sama. Dalam perjalanan, godaan dan bujuk
rayu seringkali menggoyahkan cita-cita cinta.
Karena itu, kesamaan visi yang
mantap hanya lahir dari pemahaman yang kuat terhadap agama. Maka di titik ini
kita menemukan kebenaran wasiat Rasulullah saw, bahwa hal utama yang harus
diperhatikan dalam memilih jodoh adalah agamanya.
Jadi, temukan visi cintamu lalu
carilah “dia” yang bervisi sama. Lalu, ajaklah dia menggapai cita-cita itu.
Tentu saja dengan cara-cara yang terhormat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar