SekolahMurabbi.com - Di sela-sela mengajar suatu hari, saya iseng bertanya kepada anak-anak: “Bagaimana rasanya hidup di asrama?” Saya mengajar di sebuah sekolah berasrama di Aceh Besar.
Seperti yang saya duga sebelumnya, hanya
ada satu jawaban yang muncul: “Tidak enak”. Di balik itu, ada berbagai alasan
untuk membenarkan. Jauh dari orang tua, makanan tidak enak, sedikit waktu
bermain, hampir semua dikerjakan sendiri, dan sebagainya.
Saya lalu bertanya lagi, “Terus yang
enaknya seperti apa?”
Jawabannya mulai beragam.
“Asal setiap hari bisa bertemu orang
tua,” kata salah satu dari mereka.
“Yang penting makanannya kayak di
rumah. Enak!” celetuk yang lain.
“Maunya jadwal tidak padat kayak
gini,” timpal yang lain lagi.
Yang duduk dekat dinding menambahi,
“Ada mesin cuci, biar tidak capek cuci baju sendiri.” Seisi kelas berderai
tawa.
“Penting tidak bertemu orang tua
tiap hari?” tanya saya lagi.
“Penting, penting,” jawab mereka hampir
kompak. Tapi tiba-tiba yang duduk di dekat dinding tadi nyeletuk telat, “Kayaknya
gak juga. Gak penting-penting sekali.”
Teman di sampingnya menyahut, “Iya.
Mengapa harus tiap hari?”
Kelas mulai gaduh. Mereka
mempertahankan pendapat masing-masing.
“Anak-anak, itulah namanya manusia.”
Pernyataan saya membuat mereka terdiam.
Setelah kelas cukup tenang, saya
melanjutkan, “Setiap manusia punya standar hidup ‘enak’ masing-masing. Ada yang
menganggap hidup ini ‘enak’ asal tiap hari bisa bertemu orang tua. Tapi ada
juga yang tidak mempermasalahkan itu.”
“Kalian lihat pengemis di
lampu-lampu merah? Standar ‘enak’ mereka adalah bisa makan sehari sekali. Tak
peduli makanan itu enak atau basi. Asal masih bisa dimakan, itu sudah cukup.”
Mereka serius memperhatikan.
Beberapa saya lihat mengangguk-angguk.
“Kalau kalian pernah bertemu dengan saudara-saudara
kita yang putus sekolah, mungkin standar ‘enak’ dalam hidup mereka adalah bisa
bersekolah. Bandingkan dengan kalian. Apa yang kalian katakan tidak enak
sekarang ternyata adalah hidup enak yang diinginkan orang lain, bukan?”
Kali ini beberapa mulai menunduk.
Saya sengaja jeda beberapa detik untuk memberi mereka waktu berpikir.
“Jadi,” lanjut saya, “kalau mau
hidup di asrama terasa enak dan nyaman, turunkan standar hidup kalian. Jadilah
pribadi yang tidak cengeng, jadilah pribadi yang tangguh, jadilah pribadi yang
tidak sebentar-sebentar ingat orang tua. Merantau adalah resiko penuntut ilmu.
Ia terasa pahit tapi yakinlah, kelak buahnya akan manis.”
“Kalau kalian mau menerjemahkan
‘enak’ secara sederhana, itu tak hanya membuat kalian bisa menikmati hidup,
tapi juga wujud dari bentuk syukur kepada Allah. Bayangkan, kapan kalian
bersyukur jika setiap hari mengeluhkan makanan asrama yang tidak enak?
Bayangkan pula betapa nikmatnya hidup di asrama kalau kalian menyadari bahwa di
luar sana masih banyak saudara kita yang hanya bisa makan sekali sehari?”
“Anak-anakku, jika kalian terbiasa
dengan standar ‘enak’ yang tinggi kelak kalian akan mudah susah, rapuh, galau,
lemah ketika standar itu tidak kalian capai. Coba kalian pikir kalau Kurikulum
2013 ini KKM-nya 95. Yang naik kelas tiap tahun bisa dihitung jari. Bisa-bisa
tidak ada. Betul?”
Setelah mereka mengangguk, saya
lanjutkan lagi, “Tapi kalau kalian biasa dengan standar ’enak’ yang rendah,
kalian akan tumbuh tahan banting, pekerja keras, dan tidak cengeng.”
“Hebatnya lagi, standar hidup itu
bisa kita ciptakan masing-masing.”
Saya melihat ada yang berubah dari
wajah-wajah mereka. Ah, semoga itu semangat perubahan. Semoga itu keinginan
menurunkan standar ‘enak’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar