Sumber gambar: sastralangit.wordpress.com |
Mari
berhenti sejenak dari rutinitas kesibukan yang seakan tiada habisnya. Mari
menutup mata kepala yang melihat dunia untuk membuka mata hati yang menatap
jauh ke dalam jiwa. Kepadanya, mari kita bertanya.
Sebenarnya
apa yang kita kejar di dunia ini? Pertanyaan ini selalu layak kita letakkan di
urutan teratas pada setiap kali kontemplasi. Mungkin salah satu alasannya
adalah karena keterbatasan waktu luang kita sementara tugas demi tugas terus
menumpuk seperti batu yang tak henti ditimpukkan di atas kepala kita.
Ya, apa
yang kita kejar? Karir yang cemerlang? Popularitas yang melambung? Tercukupkan
segala kebutuhan materi? Atau kisah asmara nan penuh romantika?
Anggap saja
kita berhasil. Apa yang kita kejar tercapai—meski sebenarnya selalu ada batas
yang bias; secemerlang mana, sepopuler siapa, setercukupkan bagaimana,
seromantis apa—lalu setelah itu apa? Apa lagi yang kita kejar?
Jika boleh
jujur, ini pertanyaan yang pelik. Beruntungnya kita, sejarah menjawab
pertanyaan ini melalui salah satu tokohnya yang cemerlang. ‘Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz nama tokoh itu. Seorang pemuda tampan rupawan, cerdas dan bangsawan. Ketampanannya
membuat para gadis Madinah tergila-gila. Tingkah, tutur dan tampilnya yang stylish
menjadi model panutan. Kecerdasannya sudah tak diragukan lagi sebab ia
diasuh langsung oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Khaththab, salah satu perawi
hadits terbanyak. Kebangsawanannya adalah sebab ia putera ‘Abdul ‘Aziz ibn
Marwan, adik dari khalifah ‘Abdul Malik ibn Marwan.
Tumbuh
sebagai anak gubernur Madinah—jabatan paling bergengsi saat itu—membuat ‘Umar
memiliki cita-cita yang unik. Di masa lajangnya, ia bercita-cita untuk bisa
menaklukkan hati Fathimah binti ‘Abdul Malik, puteri jelita sang khalifah
sekaligus sepupunya. ‘Umarpun berjuang mengejar cita-citanya. Kesungguhannya
tak sia-sia. Setelah kematian ayahnya, khalifah ‘Abdul Malik memanggilnya ke
Damaskus dan menikahkannya dengan Fathimah.
‘Umar
memiliki cita-cita lain di bidang karir. Cita-cita yang tidak kalah berat
dibanding cita-cita cintanya. Ia berkeinginan untuk menjadi gubernur Madinah.
Oleh sebab itu, ‘Umar mempersiapkan diri secara moral dan keilmuan jauh-jauh
hari. Usahanya itupun membuahkan hasil. Ketika khalifah ‘Abdul Malik, ayah
mertuanya, meninggal dan digantikan oleh Al-Walid I, khalifah baru segera
menunjuknya untuk menjadi gubernur Madinah.
Di Madinah,
karirnya cemerlang. Ia membentuk dewan khusus yang membahas permasalahan
provinsi sehingga keluhan-keluhan ke Damaskus, pusat pemerintahan Islam kala
itu, berkurang. Ini membuat banyak orang tertarik untuk pindah ke sana,
termasuk warga Irak yang kurang suka dengan pemimpin mereka, Al-Hajjaj ibn
Yusuf Ats-Tsaqafi. Dampaknya, reputasi Ibnu ‘Abdul ‘Aziz semakin baik di mata
masyarakat sekalipun kemudian khalifah memecatnya atas permintaan Al-Hajjaj
yang tidak senang dengan perlakuan warganya.
Berhentikah
‘Umar? Tidak, cita-cita duniawi takkan pernah tercukupi. Begitulah, ia kemudian
berkeinginan untuk menjadi khalifah. Lagi-lagi ambisi yang tidak gampang sebab
ia sama sekali bukan keturunan ‘Abdul Malik. Tradisi kala itu, khalifah
haruslah keturunan dari khalifah sebelumnya. Tapi ‘Umar lagi-lagi berhasil
meraih cita-citanya, meski dalam kondisi ia sudah tak menginginkannya lagi.
Allah menghidayahinya untuk meninggalkan kehidupan glamour duniawi dan kemudian
memilih hidup zuhud berkesederhanaan.
Di sini,
ketika ia memilih Allah dan akhirat sebagai orientasi, segala pretensi
duniawinya menjadi tak berharga. Sebab cita-citanya jauh lebih mulia dan abadi.
Tapi bukan berarti karirnya meredup dan sirna. Sejarah mencatat keajaiban
sosial hanya pernah terjadi di masa pemerintahannya, di mana kala itu tidak ada
lagi orang yang berhak menerima zakat sebab semuanya hidup berkecukupan. Tabarakallah,
benarlah ketika manusia mengejar dunia, akhirat meninggalkannya. Tapi ketika
orientasinya akhirat, dunia tak punya pilihan lain selain mengikutinya.
Semoga ada
yang bisa kita pelajari dari cicit khalifah kedua kita ini. (yf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar