SekolahMurabbi.com - “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan debatilah
mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl : 125)
Salah satu
cara mengajak orang kepada kebaikan adalah dengan perdebatan. Sayyid Quthb
dalam tafsirnya, Fi Zhilalil Quran, menjelaskan bahwa cara yang baik
dalam berdebat adalah tidak menzalimi, meremehkan dan mencela orang dan
pendapat yang berseberangan. Sebab hakikatnya, mendebat bukan untuk membenarkan
diri dan mengalahkan orang lain tapi untuk menyampaikan kebenaran yang hakiki.
Ahmad
Deedat dan muridnya, Zakir Naik, mungkin adalah dua dari sekian banyak penyeru
kebaikan yang memilih jalan ini. Keduanya, kita tahu, berhasil memperkenalkan
Islam kepada jutaan orang hingga tak sedikit yang hadir di seminar mereka
memutuskan untuk menjadi muslim. Mengapa Ahmad Deedat dan Zakir Naik begitu
sukses di dakwah jidal? Jawabannya adalah allati hiya ahsan,
menggunakan cara atau metode yang baik.
Dalam video
Dr. Zakir Naik yang disebar viral di YouTube, kita tak menemukan sekalipun ia
marah terhadap berbagai argumen kacau yang ditujukan nonmuslim tentang Islam.
Malah, Naik lebih sering tersenyum dan memuji pertanyaan audiennya. Naik pernah
mengakui ketertarikannya berdiskusi dengan seorang atheis. “Sebab kalian paling
mirip dengan Islam dibanding agama lain. Kalian mengakui tidak ada tuhan. Jika
bersedia menambahkan ‘selain Allah’, maka kalian sudah menjadi orang Islam,”
katanya disambut gemuruh tawa tangan hadirin.
Itulah ahsan.
Sekalipun ada di pihak yang benar, kita tak perlu mencak-mencak. Kebenaran akan
lebih menawan apabila diikuti oleh sikap ramah dan lemah-lembut.
Tapi
cukupkah itu? Dari Zakir Naik kita belajar setidaknya ahsan itu adalah
ramah sikapnya, santun bahasanya, jelas kalimatnya, terang analoginya, dan kuat
argumennya.
Lalu apa
hubungannya dengan kalimat di awal tulisan? Ini yang hendak saya sampaikan.
Nasihat
adalah ekspresi cinta seorang muslim terhadap muslim lainnya. Sebab sejatinya,
menasihati berarti peduli sedangkan peduli adalah tanda cinta. Dalam
prakteknya, ada kaidah yang harus diperhatikan agar nasihat sebagai wujud cinta
tak diterima dengan penuh benci; agar nasihat yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati juga.
Saudaraku, jika
berdebat saja Allah perintahkan untuk menggunakan cara-cara yang baik, mengapa
kita tak menggunakan cara-cara yang lebih baik ketika bernasihat? Janganlah
maksud mulia menasehati malah melukai karena disampaikan dengan cara-cara yang menyakitkan.
Apa saja
cara yang tidak baik itu? Di antaranya adalah merasa benar, tidak berhati-hati
memilih kata dan menasehati di tengah keramaian.
Sikap merasa
benar tidak pernah melahirkan nasihat yang tulus. Ia hanyalah wajah lain dari penyakit
suka menghakimi. Penasihat yang tidak berhati-hati memilih kata mungkin saja
memiliki niat yang tulus tapi yang dinasihati akan mudah tersinggung. Akibatnya,
nasihat diberikan tapi tak pernah diterima.
Sedang mengenai
keramaian, Imam Syafi’i pernah berpesan, “Nasihati aku di kala sendiri sebab
nasihat di keramaian seperti hinaan yang melukai hati.”
Harap dicatat,
keramaian di zaman ini tidak mesti sekumpulan orang yang duduk di satu tempat
dalam satu waktu. Di media sosial, keramaian bisa berupa grup obrolan, beranda Facebook,
kolom komentar dan berbagai fitur yang memungkinkan banyak orang yang tak
berkepentingan bisa mengaksesnya.
Kita tutup
tulisan ini dengan sebuah kisah indah. Suatu malam, Imam Ahmad ibn Hanbal mengetuk
pintu rumah salah satu muridnya, Harun ibn ‘Abdillah Al-Baghdadi. Begitu masuk,
Imam Ahmad berjalan menjinjit hingga tak terdengar langkah kakinya. Harun
terheran-heran mengapa gurunya mendatanginya tengah malam.
“Ada urusan
penting apa sehingga tuan guru berkenan mengunjungiku tengah malam ini?”
tanyanya penasaran.
Imam Ahmad
tersenyum lalu menjawab, “Maafkan aku duhai Harun. Aku tahu kebiasaanmu tengah
malam terjaga untuk menghafal hadits, karenanya aku mendatangimu.” Suara beliau
pelan sekali seakan tak ingin didengar oleh selain Harun.
“Ada yang
mengganjal ketika aku melihat majelismu tadi siang. Saat kau menerangkan hadits
kepada murid-muridmu, mereka duduk di bawah terik sementara engkau bernaung di
bawah pohon. Lain kali, jangan begitu. Duduklah sebagaimana muridmu duduk.”
Setelah
memberi nasihat itu, Imam Ahmad pamit pulang dengan tetap berjingkat. Masya
Allah, seorang guru yang ingin menasihati muridnya memilih waktu tengah malam
agar tak seorangpun tahu. Betapa indahnya menasihati seperti ini.
Semoga
Allah memperbagus akhlak kita. Semoga Allah senantiasa menghidayahi kita untuk
saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran agar tak tergolong ke dalam
orang-orang yang merugi.(yf)